
ByteDance, sang induk raksasa dari Beijing, setuju melepaskan kendali atas operasi, algoritma, dan data TikTok di negeri Paman Sam.
Sebuah drama korea yang awalnya digulirkan dengan judul ngeri, “Undang-Undang Perlindungan Warga Amerika dari Aplikasi Dikendalikan Musuh Asing”, HR 7521, resmi melahirkan bayi baru TikTok AS dikunci ketat di bawah pengawasan perusahaan dan pejabat Amerika.
Keputusan ini bukan lahir dari ruang hampa. Tekanan ini uga muncul sejak bulan April 2024 ketika Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang yang mewajibkan aplikasi asing “berdarah musuh” hengkang dari pasar AS.
TikTok, yang lahir sebagai aplikasi hiburan, mendadak berubah jadi isu keamanan nasional di sana tanpa ada hentinya.
Argumen pemerintah Amerika Serikat klise namun tajam, kepemilikan asing dianggap ancaman yang mengintip privasi warganya.
Xi Jinping Lepas, Trump Peluk Erat
Setelah berbulan-bulan banding dan perpanjangan tenggat, pentas politik berpindah ke tangan Presiden AS, Donald John Trump.
Pada 25 September 2025, Trump menandatangani perintah eksekutif yang memperpanjang larangan 120 hari.
Namun perintah itu hanya jembatan untuk kesepakatan besar TikTok boleh tetap hidup, asalkan kendali penuh berpindah ke entitas Amerika.
Presiden Republik Rakyat Tiongkok, Xi Jinping,--pemimpin Tiongkok-China-- yang terkenal keras, memberi lampu hijau.
Inilah juga dinilai sebuah langkah yang menimbulkan tanya, apakah ini wujud kompromi atau strategi licik?
Sebab, Oracle, raksasa teknologi Amerika Serikat, kini jadi pengawas resmi keamanan dan penyimpanan data.
Semua algoritma, kode, dan moderasi konten berpindah ke bawah payung hukum Amerika. ByteDance hanya diberi porsi saham minoritas, tak lebih dari 20 persen.
Sisanya? Dimiliki investor Amerika Serikat yang namanya disembunyikan rapat ironis, mengingat semua drama ini berawal dari isu transparansi.
Data Jadi Politik
Keputusan ini bagai petir di siang bolong, merobek langit media sosial yang dulu cerah tanpa awan terlihat jelas.
TikTok, satu-satunya panggung asing sempat menari bebas di jantung Amerika, kini tercerabut akarnya, digenggam sepenuhnya oleh tangan domestik dingin dan tak kenal ampun.
Bayangkan, segenap jejak tawa dan air mata pengguna, setiap bisik lirih dalam pesan pribadi. Kini terbuka seluas samudra untuk ditelan rakus oleh badan keamanan sekuat NSA.
Mereka bisa menyelam ke dasar data sedalam-dalamnya, seolah seluruh denyut nadi warganet hanyalah tombol.
Inilah nantinya yang siap dipencet sesuka hati, setara kuasanya dengan pengendali raksasa penyedia layanan seluler.
Inilah babak baru yang membuat dada sesak dunia maya kehilangan kebebasan, dan privasi pribadi meleleh.
Ini tanpa sisa tinggal kenangan yang menetes, satu per satu, seperti hujan panjang yang tak kunjung reda.
Lebih pedas lagi, Trump kini berpotensi mengintip algoritma iklan politik TikTok, seolah kampanye digital 2024 belum cukup panas.
Namun di balik gegap gempita politik, terselip kritik pedas apakah ini langkah melindungi warga atau sekadar melegalkan monopoli data?
Divestasi ini menyalakan lampu merah bagi kebebasan digital. Bukan tak mungkin, platform lain akan digiring ke kandang hukum serupa, semua atas nama “keamanan nasional.”
Kekurangan Luka Bisnis
Kesepakatan ini juga bukannya cuma tanpa cacat.
Pertama, privasi pengguna tetap rapuh. Peralihan kendali ke Amerika Serikat tidak otomatis menutup celah pengawasan massal bahkan memperluasnya.
Kedua, inovasi kreator terancam karena algoritma yang dulu lincah kini dikawal ketat Oracle.
Ketiga, nilai bisnis ByteDance menurun tajam di mata investor global. Penjualan paksa semacam ini menorehkan preseden buruk bagi perusahaan teknologi lintas negara hari ini TikTok, besok siapa lagi?
Bagi kreator konten, perubahan ini ibarat hujan deras di tengah pesta. Mereka mungkin tetap menari dan membuat lelucon, tetapi bayang-bayang sensor politik akan selalu hadir.
Sementara itu, para pengiklan besar kini bermain di panggung yang sama, tetapi dengan aturan baru yang bisa diubah kapan saja oleh Washington.
Drama korea TikTok ini membuktikan satu hal, di era digital, data bukan sekadar angka, melainkan mata uang kekuasaan bernama keserakahan.
Amerika Serikat menuduh Tiongkok-China mengintai, lalu menutup mata ketika justru mengambil alih “piring emas” bernama data pengguna.
Presiden Xi Jinping mungkin tersenyum tipis, karena sebagian saham tetap aman sedangkan Presiden Trump bisa tertawa lebar karena berhasil menaklukkan musuh lama tanpa menembakkan satu peluru pun.
Pada akhirnya, dunia menyaksikan bagaimana sebuah aplikasi hiburan remaja berubah menjadi pion geopolitik.
Sementara para pengguna? Mereka cuma hanya ingin sekadar menonton video kucing dan tarian 15 detik saja.
TikTok kini resmi jadi “milik” negara adidaya, Amerika Serikat, tetapi aroma ini masalah menggantung di udara.
Namun, siapa pun yang mengira ini soal melindungi privasi, sebaiknya menonton ulang babak akhir drama ini.
Karena itu, ini data tetap jadi rebutan, dan pengguna hanyalah figuran dalam skenario besar antara dua raksasa dunia.