
Tikala Tambang Atau Teka-Teki Legalitas? Gak Jelas Bosku!
Kalimantannews.id, Toraja Utara - Di negeri +62, kadang aturan hukum itu ibarat sinyal Wi-Fi di kosan—ada, tapi suka ngilang-ngilang. Begitulah cerita tambang galian C di Tikala, Toraja Utara provinsi Sulawesi Selatan.
Kawasan yang katanya sesuai RTRW buat wisata, eh tiba-tiba muncul tambang batu. Serius, ini tambang batu atau tambang misteri?
Cerita ini dibuka oleh Profesor Agus Salim, Rektor UKI Paulus Makassar, yang ngomong di depan publik pakai nada santai tapi isinya nyentil banget.
Katanya, izin tambang di Tikala itu ibarat nonton film tanpa tiket—masuk aja gitu, padahal nggak ada di daftar.
Tikala Bukan Zona Tambang, Tapi Tiba-Tiba Ditambang
Yuk kita baca bareng-bareng, Perda RTRW No. 3 Tahun 2012. Udah jelas tuh, kawasan yang boleh digali itu antara lain Sa'dan, Buntu Papasan, Balusu, Tondon, dan kawan-kawannya. Tapi nama Tikala? Sorry to say, nggak ada di daftar menu.
Jadi, pas ada tambang di Tikala dan CV. BD tiba-tiba dapet izin, yang muncul di kepala cuma satu kata: loh?
Profesor Agus sampe angkat suara, ngasih clue ke aparat penegak hukum, khususnya Kejati Sulsel, buat ngebuka pintu penyelidikan.
Karena ini bukan soal tambang doang, tapi bisa aja aroma suap-suapan udah nyebar kayak aroma mie instan tengah malam.
Arca Batu: Dari Situs Wisata Jadi Situs Galian?
Ceritanya makin absurd pas kita tahu kalau di lokasi tambang itu ada situs budaya bernama Arca Batu dan rumah adat Tongkonan Marimbunna.
Jadi gini, destinasi wisata yang udah disahkan lewat SK Bupati Torut No. 393/XI/2012, malah dilapisi debu tambang. Sedih, kan?
Anehnya lagi, izin tambang bisa keluar kayak SIM C. Padahal kalau mau ngubah status wilayah dari wisata jadi tambang, itu nggak bisa kayak ngedit caption Instagram.
Harus lewat proses panjang, rumit, penuh regulasi, dan melibatkan banyak instansi. Tapi, di Tikala? Fast track, bos!
Legalitas vs Logika: Siapa Yang Menang?
Akademisi UKI Paulus lainnya, Jermias Rarsina, bilang kalau izin tambang tanpa dasar tata ruang yang sah, itu jelas pelanggaran.
Bahkan bisa dikategorikan sebagai kejahatan pertambangan. Serius nih, ini udah kayak main game cheat mode: zonanya wisata, tapi keluarin izin tambang.
Ini juga ngingetin kita pada aturan di UU Nomor 3 Tahun 2020 yang udah di-update jadi UU No. 2 Tahun 2025.
Di situ ditegasin, izin tambang harus punya:
1. Pengakuan hak atas tanah,
2. Kesesuaian tata ruang,
3. Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
Kalau satu aja bolong, maka izinnya cacat hukum. Nah, di Tikala? Fix, 3 dari 3 itu diragukan.
Tambang Bikin Alam Nangis
Masyarakat Tikala juga udah angkat suara. Sawah mereka kena serbuk kapur, air jadi keruh, dan kualitas hidup jadi kayak sinyal HP di basement—nggak stabil.
Ini bukan sekadar soal dokumen, tapi juga soal dampak langsung ke kehidupan warga. Kalau udah begini, masa iya kita masih bisa bilang “nggak papa, itu cuma tambang kecil”?
Halo, ini bukan mainan pasir di pantai, ini aktivitas industri yang ngasih efek domino ke lingkungan dan sosial!
Aksi Nyata Atau Cuma Janji Manis?
Kita nunggu banget langkah konkret dari Kejaksaan, pemerintah daerah, dan kementerian terkait.
Jangan sampe kasus ini cuma jadi bahan seminar dan diskusi warung kopi. Harus ada follow-up serius, audit menyeluruh, dan kalau perlu, cabut izin yang udah dikasih.
Kita nggak anti investasi, tapi please deh, jangan korbankan hukum dan lingkungan demi cuan sesaat.
Kalau arca batu bisa ngomong, mungkin dia udah bilang, “Bro, ini bukan takdir gue!”
Tikala, Cermin Buram Tata Kelola Pertambangan
Kasus ini ngasih kita banyak pelajaran. Bahwa di Indonesia, kadang izin dulu, mikir belakangan. Padahal harusnya perencanaan dulu, izin belakangan.
Kalau begini terus, bisa rusak semua tatanan: dari hukum, lingkungan, sampai kepercayaan masyarakat. Kita juga bisa lihat betapa pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan ruang.
Jangan sampe warga cuma jadi penonton dalam drama legalitas ini, sementara dampaknya mereka yang nanggung.
Tikala, Tambang, dan Tanda Tanya. Jadi, kita simpulkan:
- Tikala bukan zona tambang sesuai RTRW? ✔️
- Ada tambang jalan terus? ✔️
- Ada situs budaya dan wisata di lokasi? ✔️
- Analisis dampak lingkungan diduga dilanggar? ✔️
- Masyarakat protes karena lingkungan rusak? ✔️
- Izin tetap dikeluarkan? ✔️
Checklist udah penuh. Saatnya aparat bergerak. Bukan cuma untuk penegakan hukum, tapi juga untuk nyelamatin warisan budaya, lingkungan, dan martabat birokrasi publik.
Jangan sampe negara ini dipersepsi sebagai tempat di mana tambang bisa muncul kayak warung kopi 24 jam—asal punya koneksi, jalan terus.
Kalau Tikala bisa bersuara, mungkin dia udah bilang: “Ditakdirkan jadi tempat wisata, bukan tempat ekskavator cari cuan.”