Kalimantannews.id
Pembatalan Event Harganas 2025 Oleh BKKBN Kalbar: Anggaran Setengah Miliar, Kegiatan Tetap Gagal

Pembatalan Event Harganas 2025 Oleh BKKBN Kalbar: Anggaran Setengah Miliar, Kegiatan Tetap Gagal

Pembatalan Event Harganas 2025 Oleh BKKBN Kalbar: Anggaran Setengah Miliar, Kegiatan Tetap Gagal
Event Harganas 2025 Kalbar: Rp500 Juta Masuk, Puluhan Event Hilang, UMKM Menangis

Harganas Kalimantan Barat 2025 Batal Bro! Dana Rp500 Juta Tetap Masuk, Uang Ada, Event Tiada

Kalimantannews.id, Pontianak - Ironi bergulir di Kalimantan Barat. Bukan dari tambang ilegal, bukan pula dari proyek mangkrak, tapi dari sebuah acara keluarga nasional bernama Harganas.

Alih-alih menjadi pesta rakyat, event ini justru berubah jadi seremoni formal—plus deretan tanda tanya besar.

Siapa sangka, di balik baliho-baliho manis yang terpampang di simpang kota, realitasnya: event dibatalkan, dana tetap cair.

BKKBN Kalimantan Barat resmi membatalkan sebagian besar rangkaian kegiatan Hari Keluarga Nasional ke-32 yang sedianya digelar 18-20 Juli 2025 di Pendopo Gubernur Kalbar. Padahal, sebelumnya 23 kegiatan direncanakan.

Dari lomba mewarnai, bazar UMKM, hingga acara pemecahan rekor MURI permainan terompah panjang. Semua lenyap begitu saja.

Namun, pembatalan ini bukan tanpa cerita. Dana sebesar Rp500 juta, yang menurut panitia berasal dari Ismuhu Yahya, disebut-sebut masuk secara sah. 

Angka setengah miliar ini dikonfirmasi langsung oleh Sekretaris Event Panitia, Indra Risdianto. Ironisnya, dana yang masuk tidak menyelamatkan acara.

Malah membuat masyarakat bertanya: kalau uang ada, kenapa event justru dibatalkan?

"Benar, ada dana Rp500 juta dari Ismuhu Yahya. Ini disampaikan saat rapat panitia di Kantor BKKBN Kalbar," ujar Indra. Pernyataan itu diamini panitia yang hadir.

Lalu ke mana dana itu akan diarahkan? Sebuah misteri yang belum juga terungkap jelas hingga kini.

Yang terang benderang, event Harganas diubah hanya menjadi acara seremonial di Pendopo Gubernur. Bahkan lebih tragis lagi: khitanan massal digeser ke kantor BKKBN.

Padahal, rundown acara sudah dirancang sejak Mei. Bahkan izin penggunaan pendopo gubernur sudah disetujui langsung oleh Gubernur Kalbar.

Sponsor pun sudah disiapkan, dari BUMN hingga swasta. Tapi semua itu runtuh begitu saja. Tidak transparannya komunikasi dari internal BKKBN Kalbar jadi alasan kuat munculnya berbagai spekulasi di balik pembatalan massal ini.

Indra mengungkapkan, di rapat terakhir panitia, semua kegiatan yang sebelumnya direncanakan akhirnya diputuskan batal total.

Hanya seremoni penyambutan Menteri BKKBN yang tetap jalan. Runutan keputusan ini membuat publik semakin sulit berpikir logis. 

Semakin banyak yang bertanya, apakah dana Rp500 juta itu benar-benar untuk acara? Atau hanya sekadar pelicin seremoni?

Sementara masyarakat, terutama pelaku UMKM, hanya bisa pasrah. Karmini, PIC acara sekaligus MC, mengaku kecewa. 

Seluruh perlengkapan pendukung acara dari sound system, tenda, hingga dekorasi yang sudah dibooking sejak lama harus dibatalkan. Bahkan peserta khitanan massal pun terkena imbas.

"Harusnya kalau dibatalkan, jangan jelang acara. Kami semua sudah siap. Bahkan rundown sudah fix sejak awal," ungkap Karmini.

Ia juga menyebut, animo masyarakat dan UMKM begitu besar. Awalnya, panitia hanya membuka 30 stand bazar. Karena membludak, ditambah jadi 45 stand. 

Sayangnya, mereka semua harus menerima kenyataan pahit. Acara yang mereka tunggu-tunggu itu tak akan pernah berlangsung.

Selvi, salah satu pelaku UMKM dari Kubu Raya, bahkan mengaku telah menyiapkan aneka kuliner untuk bazar tersebut. 

Dengan suara lirih, ia berkata, "Kami sudah daftar. Tapi dibatalkan begitu saja. BKKBN tidak profesional. Ini pembelajaran pahit."

Dari segi komunikasi publik, BKKBN Kalbar memang dinilai gagal total. Sosialisasi yang sudah dilakukan lewat baliho di berbagai titik kota berubah jadi ilusi belaka. 

Terlalu banyak janji, terlalu sedikit transparansi. Bahkan kepala perwakilan BKKBN Kalbar, Nuryamin, saat dikonfirmasi tidak pernah menjawab panggilan.

Ironi ini menunjukkan: uang bisa masuk, event bisa batal. Apakah Rp500 juta terlalu kecil? Atau terlalu besar untuk event sekelas Harganas? Atau memang, ada yang lebih prioritas selain membahagiakan masyarakat?

Jika ditelusuri lebih dalam, pembatalan event ini juga memukul citra BKKBN Kalbar. Di tengah upaya instansi ini menurunkan angka stunting dan mengkampanyekan keluarga sejahtera, langkah pembatalan ini seperti sebuah paradoks. 

Bagaimana bisa institusi yang mengampanyekan pentingnya keluarga malah membatalkan perayaan nasional yang sejatinya jadi simbol pemersatu keluarga?

Publik tak hanya menyorot soal transparansi dana. Namun juga integritas manajemen internal BKKBN Kalbar. 

Terlebih, saat para sponsor yang sudah menyatakan dukungan pun akhirnya ditinggalkan tanpa alasan jelas. Sponsor dari BUMN dan BUMD pun akhirnya harus gigit jari.

Di Mana Wujud Kontribusi Dana Rp500 Juta?

Sementara itu, banyak pihak bertanya, jika acara hanya seremoni menteri, apa manfaat langsung bagi masyarakat? Di mana wujud kontribusi dana Rp500 juta yang katanya untuk mendukung event?

Dalam dunia birokrasi, fenomena seperti ini memang bukan baru. Namun, kisah pembatalan Harganas Kalbar 2025 menjadi cerminan nyata bagaimana program besar nasional bisa terhenti di tengah jalan hanya karena komunikasi yang buruk dan keputusan yang tidak transparan.

Harapan masyarakat kini sederhana. Jika acara sudah batal, maka sebaiknya dana yang ada digunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. 

Misalnya, penguatan program nyata seperti pelayanan KB gratis di pelosok, edukasi stunting, atau bantuan modal bagi UMKM kecil.

BKKBN Kalbar memang telah membatalkan eventnya. Tapi bukan berarti mereka juga membatalkan kewajibannya melayani masyarakat. 

Setidaknya, itu yang diharapkan masyarakat kecil yang dulu percaya pada baliho-baliho penuh janji itu.

Kini, hanya tersisa satu pertanyaan besar di benak publik Kalimantan Barat: kemana sesungguhnya dana Rp500 juta itu mengalir?

Dan sampai jawaban itu hadir, ironi ini akan tetap jadi cerita pahit Harganas 2025 di bumi khatulistiwa.

Ternyata hajatan segede gaban, tidak transparan dalam pengelolaan dana. Gagal komunikasi publik, membuat masyarakat kecewa.

Pembatalan event mendadak tanpa penjelasan konkret. Sponsor dan peserta tidak dihargai. Citra instansi jadi buruk di mata publik.

Sang Pengawal Keadilan Bergeser Tapak: Dedy Irwan Virantama, Dari Bumi Kelapa Sawit Sanggau ke Metropolis Industri Karawang

Sang Pengawal Keadilan Bergeser Tapak: Dedy Irwan Virantama, Dari Bumi Kelapa Sawit Sanggau ke Metropolis Industri Karawang

Sang Pengawal Keadilan Bergeser Tapak Dedy Irwan Virantama, Dari Bumi Kelapa Sawit Sanggau ke Metropolis Industri Karawang
Kalimantannews.id, Sanggau - Langkah pria itu santai, namun sorot matanya menyimpan ketajaman yang tak terbantahkan.

Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah merayakan babak baru dalam lembaran pengabdian.

Dialah Dedy Irwan Virantama, Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau yang belum lama ini mendapat amanah baru, sebuah rotasi jabatan yang digariskan langsung oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.

Perpindahan ini bukan sekadar mutasi biasa, melainkan sebuah narasi menarik tentang dedikasi dan jejak integritas yang patut diurai.

Dari Hamparan Kelapa Sawit Menuju Denyut Industri

Sanggau, sebuah kabupaten di Kalimantan Barat, membentangkan luas wilayahnya, di mana hampir separuhnya adalah hamparan hijau perkebunan kelapa sawit. 

Di sinilah Dedy Irwan Virantama mengukir jejak, menorehkan tinta emas dalam catatan penegakan hukum.

Kini, ia beranjak ke Karawang, sebuah kota industri terbesar di Jawa Barat, yang denyut ekonominya berdegup kencang dengan ribuan pabrik dan hiruk pikuk aktivitas manufaktur.

Kontras yang mencolok ini bukan hanya sekadar perbedaan geografis, melainkan sebuah cerminan tantangan baru yang menanti.

Bagi sebagian orang, mutasi mungkin hanya pergantian tempat kerja. Namun, bagi seorang Dedy Irwan Virantama, ini adalah sebuah panggilan untuk mengabdi di medan berbeda, dengan kompleksitas masalah tak kalah menantang.

Dari rimba sawit memendam potensi kejahatan ekonomi dan agraria, kini ia akan berhadapan dengan labirin hukum di jantung industri.

Tempat isu-isu ketenagakerjaan, persaingan usaha, hingga kejahatan korporasi menjadi santapan sehari-hari.

Sebuah transisi yang menarik untuk dicermati, sekaligus menguji adaptabilitas dan kapabilitas seorang penegak hukum mumpuni.

Kilau Prestasi dalam Keterbatasan Waktu

Kendati menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau dalam waktu yang relatif singkat, nama Dedy Irwan Virantama tak asing di telinga awak media setempat. 

Kedekatannya dengan insan pers menjadi salah satu ciri khasnya, mencerminkan keterbukaan dan transparansi dalam menjalankan tugas.

Namun, bukan hanya itu yang menjadi sorotan. Selama periode singkatnya di Sanggau, Dedy telah mengukir prestasi gemilang, terutama dalam upaya pencegahan dan penindakan kasus tindak pidana korupsi.

Salah satu fokus utamanya adalah pemberantasan korupsi dana Anggaran Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD).

Di tengah masifnya aliran dana ke desa-desa untuk pembangunan, potensi penyalahgunaan tak terhindarkan.

Dedy Irwan Virantama, dengan ketajaman naluri dan komitmen yang kuat, berhasil membongkar sejumlah praktik penyimpangan. 

Penelusuran terhadap kasus-kasus ini membutuhkan kejelian, ketekunan, dan keberanian untuk menghadapi tekanan dari berbagai pihak. 

Keberhasilannya dalam menindak para pelaku korupsi dana desa bukan hanya sekadar penangkapan dan vonis, melainkan juga sebuah pesan tegas bahwa uang rakyat harus digunakan seutuhnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Prestasi ini menjadi bukti nyata dedikasinya. Di wilayah yang luas dan kerap menghadapi tantangan aksesibilitas. 

Upaya pencegahan dilakukan dengan masif melalui sosialisasi dan edukasi. Sementara itu, penindakan dilakukan tanpa pandang bulu, menegakkan keadilan tanpa kompromi. 

Dedy memahami betul bahwa korupsi dana desa adalah kejahatan serius yang merampas hak-hak dasar masyarakat paling bawah, menghambat pembangunan, dan menciptakan ketimpangan.

Oleh karena itu, langkah-langkah progresif yang dilakukannya di Sanggau patut diacungi jempol.

Sebuah Keuntungan Bagi Jawa Barat

Perpindahan Dedy Irwan Virantama ke Kejaksaan Negeri Karawang bukan hanya sekadar pergantian personel di tubuh Adhyaksa, melainkan sebuah "keberuntungan" bagi Provinsi Jawa Barat. 

Gubernur Jawa Barat, yang saat itu menjabat, Dedi Mulyadi, akan mendapatkan seorang sosok pemimpin yang integritasnya tak diragukan lagi.

Dedy Irwan Virantama membawa serta rekam jejak yang bersih dan etos kerja yang luar biasa.

Sosoknya adalah cerminan dari profesionalisme penegak hukum yang dibutuhkan di era kini.

Dalam menghadapi berbagai tantangan kompleks di kota industri seperti Karawang, keberadaan seorang pemimpin yang visioner, berintegritas, dan proaktif sangatlah krusial.

Karawang, dengan segala potensi dan problematika yang menyertainya, membutuhkan tangan-tangan kuat yang mampu menjaga stabilitas hukum dan memberantas praktik-praktik ilegal yang merugikan negara dan masyarakat.

Dedikasi luar biasa yang ditunjukkan Dedy selama bertugas di Kabupaten Sanggau menjadi modal berharga untuk tugas barunya.

Kemampuannya dalam membangun jejaring, berkomunikasi efektif dengan berbagai elemen masyarakat, dan menorehkan prestasi dalam pemberantasan korupsi menjadi bekal tak ternilai.

Gubernur Jawa Barat dan masyarakat Karawang akan merasakan langsung dampak positif dari kepemimpinannya yang berani dan berintegritas.

Jejak Dedikasi, Memahat Kisah Dalam Bingkai Pengabdian

Kisah Dedy Irwan Virantama adalah sebuah narasi tentang pengabdian tanpa batas. 

Dari pelosok Sanggau yang lekat dengan aroma sawit dan tantangan pembangunan, hingga kini ia bersiap menghadapi gemuruh industri di Karawang, semangatnya tak pernah padam.

Ia adalah potret seorang penegak hukum yang tak gentar, yang memilih jalan integritas di tengah godaan dan tekanan.

Perjalanan seorang jaksa tidak selalu mudah. Ada tantangan, ada risiko, dan ada pengorbanan.

Namun, Dedy Irwan Virantama telah membuktikan bahwa dengan dedikasi dan komitmen yang kuat, seorang penegak hukum mampu menjadi agen perubahan yang positif. 

Jejaknya di Sanggau akan selalu dikenang sebagai contoh nyata bagaimana pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efektif, bahkan dalam waktu singkat.

Kepindahannya ke Karawang menandai babak baru. Namun, esensi dari pengabdiannya tetap sama: menegakkan keadilan, memberantas kejahatan, dan menjaga marwah hukum demi terciptanya tatanan masyarakat yang lebih baik.

Indonesia membutuhkan lebih banyak sosok seperti Dedy Irwan Virantama, para pengawal keadilan yang berani melangkah, memahat kisah dedikasi dalam bingkai pengabdian tak berkesudahan.

Ini adalah kisah yang akan terus bergulir, sebuah inspirasi bagi siapa pun yang percaya pada kekuatan integritas dan keadilan.

 Kala Petani Sawit Mandiri Berkumpul di Landak, Menyerap Ilmu Dari PT LIP

Kala Petani Sawit Mandiri Berkumpul di Landak, Menyerap Ilmu Dari PT LIP

Kala Petani Sawit Mandiri Berkumpul di Landak, Menyerap Ilmu Dari PT LIP

Kalimantannews, Kabupaten Landak - Jarum jam baru saja menunjuk pukul 10.10 WIB ketika ratusan pasang mata tertuju pada para pemateri di kebun PT Lingkarindah Plantation (LIP). 

Kala cuaca cerah, angin sepoy-sepoy mengiringi langkah 90 petani swadaya dari Kabupaten Sekadau dan Bengkayang Kalimantan Barat. 

Mereka hadir bukan untuk sekadar mendengar, melainkan menggenggam ilmu yang mungkin mengubah nasib kebun sawit mereka.

Marsela Melania, generasi ketiga pekebun dari Sekadau, menyebut pelatihan ini sebagai pintu baru penuh haru. 

Dengan dua hektare kebun warisan keluarga, ia terkesima oleh teknik pemupukan PT LIP. "Ini akan saya praktikkan," ujarnya, mata berbinar Sabtu 28 Juni 2025 di area konsesi PT LIP Kabupaten Landak.

Begitu pula Agnes dari Bengkayang, yang mengaku 180 dari 280 pokok sawitnya sudah berbuah. "Lumayan hasilnya, tapi saya yakin bisa lebih baik," katanya.

BPDPKS dan Jejaring Pengetahuan

Pelatihan ini bukan sekadar inisiatif lokal. Ia bagian dari program Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang menggandeng AKP STIPER Yogyakarta sebagai penyelenggara. 

Direktur AKP STIPER, Sri Gunawan menegaskan ini bukan pelatihan happy-happy saja. Targetnya, petani mandiri bisa mempraktikkan ilmu ini di kebun mereka.

Sedangkan, Group Manager PT LIP, Jonnes Daulay menyambut antusias. "Kami berbagi untuk kemajuan bersama".

Di sini, korporasi tidak hadir sebagai entitas yang jauh, melainkan mitra yang turun langsung seperti yang diungkap Head of Estate Quality Control PT LIP, Supadi. "Ini langkah kecil kami agar masyarakat mandiri."

Jalan dan Jembatan Sering Terlupa

Sesi Murajurti, Civil Project Coordinator PT LIP, menyadarkan peserta bahwa produktivitas sawit tidak hanya bergantung pada bibit dan pupuk. 

"Jalan dan jembatan kebun adalah urat nadi," ujarnya. Materi teknis ini sering absen dalam pelatihan petani mandiri, padahal infrastruktur buruk bisa memangkas hasil panen.

Pulang Membawa Asa

Ketika matahari condong, para peserta berfoto bersama gambar yang mungkin akan dikenang sebagai titik balik. Esidorus, Kabid Perkebunan Bengkayang, berharap pelatihan seperti ini terus berlanjut. 

Di balik riuh rendah kebun yang biasanya sunyi, tersimpan optimisme: bahwa pengetahuan dari PT LIP tidak akan berakhir di sini. 

Ia akan tumbuh di kebun-kebun kecil Sekadau dan Bengkayang, mengubah angka-angka produktivitas, dan perekonomian keluarga.

Sawit Cerita Kolaborasi

Kisah ini bukan sekadar tentang pelatihan. Ia tentang bagaimana sektor hulu industri sawit bisa maju ketika korporasi dan pekebun kecil duduk bersama. 

PT LIP, BPDPKS dan AKP STIPER telah membuka sebuah babak baru: bahwa kemandirian petani bisa diraih jika pengetahuan dibagi dengan setara. 

Di tengah terik Kalimantan, 90 petani pulang dengan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar sertifikat mereka membawa pulang harapan anyar berbinar.

 Khitan Massal Pegadaian Pontianak: Gema Kebaikan di Tengah Riuh Anak-Anak

Khitan Massal Pegadaian Pontianak: Gema Kebaikan di Tengah Riuh Anak-Anak

Khitan Massal Pegadaian Pontianak: Gema Kebaikan di Tengah Riuh Anak-Anak
Kalimantannews.id, Kota Pontianak - Matahari pagi menyinari wajah polos Abi Hafiz Ramadan, bocah yang duduk tegap di kursi pemeriksaan.

Tangannya menggenggam erat jemari sang ibu, Tyas. Sementara senyumnya tak pudar meski sebentar lagi ia akan menjalani khitan.

"Tidak sakit sama sekali. Bahkan ini sudah bisa langsung jalan," tutur siswa SDN 09 Pontianak Barat itu dengan bangga.

Suasana haru dan bahagia memenuhi Kantor Pegadaian Cabang Pontianak, Minggu (22/6/2025).

Di sini, 124 anak dari berbagai penjuru Kota Pontianak berkumpul untuk mengikuti khitan massal bertajuk "Langkah Emas Anak Sholeh"—sebuah program unggulan PT Pegadaian menggabungkan nilai ibadah, kesehatan, dan literasi finansial.

Metode Sunat Modern: Cepat, Aman, Tanpa Trauma

Khitan massal ini bukan sekadar tradisi, melainkan perpaduan antara teknologi medis dan komitmen sosial. 

dr. Imam Khoirul Fajri, M.M., salah satu dokter yang terlibat, menjelaskan  metode digunakan adalah sunat sealer atau sunat lem—sebuah terobosan dalam dunia medis.

"Prosedurnya hanya 5 menit, tanpa jahitan, dan pasien bisa langsung beraktivitas normal," ucapnya memapaparkan. 

Cairan sealer berfungsi menutup luka secara alami, meminimalisir risiko infeksi, dan menghilangkan ketakutan klasik anak-anak terhadap jarum jahit.

Tyas, ibu Abi, mengaku lega. "Anak saya sama sekali tidak mengeluh. Ini pengalaman khitan yang sangat berbeda," ucapnya. 

Ia juga mengapresiasi pendampingan psikologis dari tim Pegadaian, yang membuat anak-anak merasa nyaman sejak pendaftaran hingga pasca-prosedur.

Tabungan Emas: Hadiah yang Bermakna untuk Masa Depan

Yang membedakan khitan massal ini dari lainnya adalah insentif tabungan emas untuk setiap peserta. 

Kepala Unit Usaha Syariah PT Pegadaian, Holilur Rohman menegaskan bahwa ini bukan sekadar hadiah, melainkan stimulus literasi keuangan sejak dini.

"Kami ingin mengajak masyarakat melihat emas sebagai investasi jangka panjang. Nilainya stabil dan cenderung naik, cocok untuk menyongsong Indonesia Emas 2045," ujar Holilur Rohman. 

Dengan modal mulai dari Rp10.000, nasabah sudah bisa memulai tabungan emas di Pegadaian.

Program ini didanai oleh Dana Kebajikan Umat (DKU) Pegadaian Syariah, yang bersumber dari infak dan sedekah nasabah. 

"Ini bentuk tanggung jawab sosial kami untuk menciptakan generasi sehat sekaligus melek finansial," Holilur Rohman menjelaskan.

124 Peserta, 124 Tahun Pegadaian: Simbolis yang Penuh Arti

Angka 124 bukanlah kebetulan. Tahun ini, Pegadaian genap berusia 124 tahun. 

Jumlah peserta sengaja disesuaikan sebagai bentuk syukur dan refleksi perjalanan perusahaan milik negara ini dalam melayani masyarakat.

Kegiatan ini juga sejalan dengan visi pemerintah menuju Indonesia Emas 2045, khususnya dalam peningkatan kualitas generasi muda. 

"Anak yang sehat dan berpendidikan adalah fondasi bangsa. Kami berkomitmen mendukung ini melalui program berkelanjutan," Holilur Rohman menegaskan.

Antusiasme Masyarakat dan Harapan ke Depan

Respons masyarakat sangat positif. Seperti Tyas, banyak orang tua mengetahui acara ini dari grup WhatsApp dan sosial media Pegadaian. 

"Saya harap ada lebih banyak kegiatan seperti ini, terutama untuk keluarga kurang mampu," ujarnya.

Bagi Pegadaian, ini baru awal. Rencananya, khitan massal akan diadakan di berbagai daerah dengan tambahan layanan, seperti pemeriksaan kesehatan gratis dan edukasi stunting.

Lebih dari Sekadar Khitan

Khitan massal Pegadaian bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan sebuah gerakan multidimensi.

Apa itu? Kesehatan, pendidikan, dan ekonomi—yang dirancang untuk meninggalkan warisan berharga: generasi unggul siap menyambut masa depan.

Seperti senyum Abi yang tetap mengembang usai dikhitan, program ini adalah bukti bahwa kebaikan dan kemajuan bisa berjalan beriringan. 

Maka, di tangan Pegadaian, langkah kecil hari ini bisa menjadi investasi emas untuk Indonesia di masa depan.

Koalisi Damai vs Takedown Sewenang-Wenang: Ketika Sejarah Dibatasi, Demokrasi Terancam

Koalisi Damai vs Takedown Sewenang-Wenang: Ketika Sejarah Dibatasi, Demokrasi Terancam

Koalisi Damai vs Takedown Sewenang-Wenang: Ketika Sejarah Dibatasi, Demokrasi Terancam
Gelombang Kegalauan di Ruang Digital

Kalimantannews.id, Jakarta - Udara Jakarta terasa pengap pada pertengahan Juni 2025.  Bukan hanya karena polusi, melainkan juga karena ruang digital yang semakin sempit. 

Suara-suara kritis dipaksa bungkam, seolah sejarah hanya milik segelintir orang. Koalisi Damai, gabungan 16 organisasi masyarakat sipil, akhirnya angkat bicara. 

Mereka mengecam keras permintaan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkominfo) kepada platform X (sebelumnya Twitter) untuk menurunkan konten bertema sejarah dari akun @neohistoria_id dan @perupadata.

Kedua akun ini mengangkat narasi kritis tentang tragedi pemerkosaan massal Mei 1998—sebuah peristiwa kelam yang kembali memanas setelah pejabat pemerintah membantah kebenarannya.

Takedown Konten, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Pada 18 Juni 2025, @neohistoria_id menerima email dari X yang menyatakan bahwa konten mereka dilaporkan oleh Kemenkominfo karena "diduga melanggar hukum Indonesia." 

Konten tersebut berisi utasan tentang pernyataan Wiranto—mantan Panglima ABRI—yang menyangkal adanya pemerkosaan massal pada 1998.

"Ave Neohistorian! Jauh sebelum Fadli Zon, Wiranto pernah menyatakan bahwa kerusuhan Mei 1998 tidak disertai pemerkosaan massal." — @neohistoria_id

Sementara itu, @perupadata juga mendapat notifikasi serupa terkait unggahan data korban kekerasan seksual Mei 1998:

"152 korban kekerasan seksual, 20 meninggal. Namun, pemerintah memilih menulis ulang sejarah."— @perupadata

Yang mengejutkan: tidak ada penjelasan rinci tentang bagian mana yang melanggar hukum atau dasar hukum apa yang digunakan. Ini memicu pertanyaan besar: Apakah ini bentuk pembungkaman sistematis?

Pola Berulang: Konten Kritis = Target Takedown

Koalisi Damai menemukan bahwa ini bukan kasus tunggal. Beberapa akun lain juga mengalami hal serupa:

@ZakkiAmali – Kritik tambang nikel di Raja Ampat.

@MF_Rais – Analisis negosiasi dagang Indonesia-AS.

SAFEnet, salah satu anggota Koalisi Damai, mencatat bahwa sejak Pemilu 2024, terjadi gelombang takedown konten kritis, terutama yang menyoroti kebijakan pemerintah.

"Ini pola berbahaya. Jika dibiarkan, ruang digital akan jadi monolog, bukan dialog." — SAFEnet dalam pernyataan resmi.

Mengapa Ini Berbahaya?

1. Ancaman Kebebasan Berekspresi

UU ITE sering dijadikan tameng, tetapi penerapannya kerap tidak transparan. Jika kritik dianggap "melanggar hukum" tanpa klarifikasi, maka siapa yang berhak menentukan kebenaran?

2. Sejarah Bisa Dihapus, Narasi Dikendalikan

Jika konten edukasi sejarah terus dihapus, generasi muda hanya akan dapat versi resmi—yang mungkin tidak utuh.

3. Platform Media Sosial Terjepit

Perusahaan seperti X dihadapkan pada dilema: patuh pada pemerintah atau pertahankan prinsip kebebasan berekspresi.

Tuntutan Koalisi Damai

  1. 1.Kemenkominfo harus transparan.
  2. 2. Setiap permintaan takedown wajih disertai alasan hukum yang jelas.
  3. 3. Platform harus berani menolak permintaan tidak proporsional.
  4. 4. Standar HAM internasional harus jadi acuan.
  5. 5. DPR harus evaluasi kewenangan Kemenkominfo.

Apakah moderasi konten sudah sesuai mandat konstitusi?

Digital Bukan Tempat Bermain Kekuasaan

Ketika sejarah dihapus, kebenaran dikubur. Ketika kritik dibungkam, demokrasi sekarat. Koalisi Damai mengingatkan: ruang digital adalah milik publik, bukan alat kontrol pemerintah.

"Jika hari ini kita diam, besok mungkin giliran suara kita yang dihapus."— Koalisi Damai.

Pemusnahan 73 Perkara di Kejari Sanggau, Simbol Keadilan Atau Sekadar Ritual? Simak Analisisnya di Sini!

Pemusnahan 73 Perkara di Kejari Sanggau, Simbol Keadilan Atau Sekadar Ritual? Simak Analisisnya di Sini!

Pemusnahan 73 Perkara di Kejari Sanggau
Kalimantannews.id, Kabupaten Sanggau - Mentari pagi membelah bumi Sanggau seperti biasa. Tanpa peduli pada ritual tahunan. Kini menjadi tontonan para pejabat dan rakyat.

Di halaman Kantor Kejaksaan Negeri Sanggau, Kamis 19 Juni 2025, digelarlah sebuah acara sering disebut pemusnahan barang bukti. 

Dengan protokoler yang rapi, undangan lengkap, dan retorika menggelegar, acara ini seolah menjadi festival kemunafikan hukum kita hari ini.

Dari luar, ini terlihat sebagai upaya transparan dan akuntabel dari institusi penegak hukum. Tapi jika kita menengok lebih dalam, ada aroma drama panggung yang tak bisa diabaikan begitu saja. 

Pemusnahan barang bukti dari 73 perkara pidana dikliam telah berkekuatan hukum tetap. 

Hajatan itu pun tak luput dihadiri oleh siapa saja pernah muncul dalam daftar nama panjang birokrasi hukum Indonesia.

Mulai dari Sekda, Dandim, Kasat Narkoba, sampai konselor adiksi dan perwakilan BPOM. 

Semua hadir. Duduk manis. Tepuk tangan saat dibacakan sambutan. Lalu pulang dengan hati tenang—seolah-olah mereka semua adalah bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.

Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Dedy Irwan Virantama, membuka acara dengan retorika heroik. 

"Ini bukan seremoni semata!" katanya. Namun, apakah bukan juga sebuah seremoni kalau semua orang datang hanya untuk foto-foto, salam-salaman, dan berpidato bergiliran?

Daftar Barang Bukti

Lihatlah daftar barang bukti yang dimusnahkan: narkotika, pencurian, perlindungan anak, hingga pelanggaran UU ITE. 

Semua jenis kejahatan sebenarnya menggambarkan kegagalan sistem. Bukan hanya kegagalan aparat, tapi juga kegagalan struktur, pendidikan, ekonomi, dan moral bangsa.

Tapi justru di situlah letak ironinya. Dengan memusnahkan satu kilogram sabu atau beberapa botol obat ilegal. 

Seolah-olah kita percaya bahwa kejahatan akan lenyap begitu saja. Padahal, besok pagi, di tempat lain, entah di desa mana atau di blok kos-kosan, transaksi serupa pasti terjadi lagi. 

Seperti jamur di musim hujan, kejahatan itu tumbuh karena kondisi yang subur.

Hanya Dokumen dan Statistik

Dan inilah yang jarang disentuh oleh sambutan para pejabat: akar masalah. Mereka sibuk merayakan hasil operasi, tapi lupa bahwa penyakit masih berkeliaran bebas. 

Narkoba tidak akan hilang hanya karena dimusnahkan di halaman kantor kejaksaan. 

Ia lahir dari ketidakadilan, kemiskinan, serta minimnya akses edukasi.

Yang lebih tragis lagi, dalam daftar tersebut termasuk kasus perlindungan anak dan kejahatan seksual. 

Ini adalah isu yang sangat sensitif, namun seringkali dilewatkan begitu saja dalam narasi besar penegakan hukum. 

Anak-anak korban kekerasan, perempuan yang menjadi target predator, mereka tidak pernah hadir di acara-acara pemusnahan ini. Yang hadir hanya dokumen dan statistik.

Lalu muncullah kata-kata indah dari sang Kajari: "Kejaksaan adalah penjaga moral publik." Wah, betapa mulianya jabatan itu. Tapi apakah benar demikian? 

Atau justru kejaksaan malah menjadi alat politik, instrumen represif bagi rezim yang berkuasa? 

Bukankah banyak kasus di negeri ini di mana jaksa terlibat dalam persekongkolan bisnis hukum?

Jadi, mari kita bertanya: apa tujuan utama pemusnahan ini? Apakah untuk memberikan efek jera kepada masyarakat? 

Atau justru untuk menunjukkan bahwa negara masih punya kuasa, meskipun kuasa itu seringkali dipakai secara keliru?

Yang pasti, acara ini berhasil menciptakan citra baik. Foto-foto pejabat bersalaman, senyum semringah, dan asap pembakaran barang bukti tersebar di media sosial. Seolah-olah, semua sudah aman. Seolah-olah, semua sudah beres.

Namun, di balik asap itu, ada cerita yang tak terdengar. Ada korban yang tak diundang. 

Apakah Ini Cukup?

Ada tersangka yang tak sempat bicara. Ada kesedihan yang tak diliput. Dan ada pertanyaan besar: apakah ini benar-benar keadilan, atau hanya sandiwara hukum yang berbungkus formalitas?

Kita boleh saja mengapresiasi langkah Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya. Tapi kita juga harus kritis: apakah ini cukup? 

Apakah dengan memusnahkan barang bukti, kita sudah membela rakyat kecil? Atau justru kita sedang menutup mata atas kegagalan sistem yang lebih besar?

Kalau hari ini kita puas dengan ritual pemusnahan, maka besok kita akan terbangun dengan realitas yang sama: narkoba masih beredar, korban kejahatan masih menangis, dan rakyat kecil masih bertanya-tanya, “Di mana negara?”

Jadi, mari kita lihat acara seperti ini bukan sebagai akhir dari cerita, tapi sebagai awal dari pertanyaan. Pertanyaan yang lebih besar, lebih tajam, dan lebih menyakitkan.

Sebab, keadilan bukanlah soal bakar-bakaran. Tapi soal nyawa, harapan, dan masa depan yang dijanjikan oleh negara, tapi seringkali dilupakan.

Formulir Kontak