
Di halaman Kantor Kejaksaan Negeri Sanggau, Kamis 19 Juni 2025, digelarlah sebuah acara sering disebut pemusnahan barang bukti.
Dengan protokoler yang rapi, undangan lengkap, dan retorika menggelegar, acara ini seolah menjadi festival kemunafikan hukum kita hari ini.
Dari luar, ini terlihat sebagai upaya transparan dan akuntabel dari institusi penegak hukum. Tapi jika kita menengok lebih dalam, ada aroma drama panggung yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Pemusnahan barang bukti dari 73 perkara pidana dikliam telah berkekuatan hukum tetap.
Hajatan itu pun tak luput dihadiri oleh siapa saja pernah muncul dalam daftar nama panjang birokrasi hukum Indonesia.
Mulai dari Sekda, Dandim, Kasat Narkoba, sampai konselor adiksi dan perwakilan BPOM.
Semua hadir. Duduk manis. Tepuk tangan saat dibacakan sambutan. Lalu pulang dengan hati tenang—seolah-olah mereka semua adalah bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
Kepala Kejaksaan Negeri Sanggau, Dedy Irwan Virantama, membuka acara dengan retorika heroik.
"Ini bukan seremoni semata!" katanya. Namun, apakah bukan juga sebuah seremoni kalau semua orang datang hanya untuk foto-foto, salam-salaman, dan berpidato bergiliran?
Daftar Barang Bukti
Lihatlah daftar barang bukti yang dimusnahkan: narkotika, pencurian, perlindungan anak, hingga pelanggaran UU ITE.
Semua jenis kejahatan sebenarnya menggambarkan kegagalan sistem. Bukan hanya kegagalan aparat, tapi juga kegagalan struktur, pendidikan, ekonomi, dan moral bangsa.
Tapi justru di situlah letak ironinya. Dengan memusnahkan satu kilogram sabu atau beberapa botol obat ilegal.
Seolah-olah kita percaya bahwa kejahatan akan lenyap begitu saja. Padahal, besok pagi, di tempat lain, entah di desa mana atau di blok kos-kosan, transaksi serupa pasti terjadi lagi.
Seperti jamur di musim hujan, kejahatan itu tumbuh karena kondisi yang subur.
Hanya Dokumen dan Statistik
Dan inilah yang jarang disentuh oleh sambutan para pejabat: akar masalah. Mereka sibuk merayakan hasil operasi, tapi lupa bahwa penyakit masih berkeliaran bebas.
Narkoba tidak akan hilang hanya karena dimusnahkan di halaman kantor kejaksaan.
Ia lahir dari ketidakadilan, kemiskinan, serta minimnya akses edukasi.
Yang lebih tragis lagi, dalam daftar tersebut termasuk kasus perlindungan anak dan kejahatan seksual.
Ini adalah isu yang sangat sensitif, namun seringkali dilewatkan begitu saja dalam narasi besar penegakan hukum.
Anak-anak korban kekerasan, perempuan yang menjadi target predator, mereka tidak pernah hadir di acara-acara pemusnahan ini. Yang hadir hanya dokumen dan statistik.
Lalu muncullah kata-kata indah dari sang Kajari: "Kejaksaan adalah penjaga moral publik." Wah, betapa mulianya jabatan itu. Tapi apakah benar demikian?
Atau justru kejaksaan malah menjadi alat politik, instrumen represif bagi rezim yang berkuasa?
Bukankah banyak kasus di negeri ini di mana jaksa terlibat dalam persekongkolan bisnis hukum?
Jadi, mari kita bertanya: apa tujuan utama pemusnahan ini? Apakah untuk memberikan efek jera kepada masyarakat?
Atau justru untuk menunjukkan bahwa negara masih punya kuasa, meskipun kuasa itu seringkali dipakai secara keliru?
Yang pasti, acara ini berhasil menciptakan citra baik. Foto-foto pejabat bersalaman, senyum semringah, dan asap pembakaran barang bukti tersebar di media sosial. Seolah-olah, semua sudah aman. Seolah-olah, semua sudah beres.
Namun, di balik asap itu, ada cerita yang tak terdengar. Ada korban yang tak diundang.
Apakah Ini Cukup?
Ada tersangka yang tak sempat bicara. Ada kesedihan yang tak diliput. Dan ada pertanyaan besar: apakah ini benar-benar keadilan, atau hanya sandiwara hukum yang berbungkus formalitas?
Kita boleh saja mengapresiasi langkah Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya. Tapi kita juga harus kritis: apakah ini cukup?
Apakah dengan memusnahkan barang bukti, kita sudah membela rakyat kecil? Atau justru kita sedang menutup mata atas kegagalan sistem yang lebih besar?
Kalau hari ini kita puas dengan ritual pemusnahan, maka besok kita akan terbangun dengan realitas yang sama: narkoba masih beredar, korban kejahatan masih menangis, dan rakyat kecil masih bertanya-tanya, “Di mana negara?”
Jadi, mari kita lihat acara seperti ini bukan sebagai akhir dari cerita, tapi sebagai awal dari pertanyaan. Pertanyaan yang lebih besar, lebih tajam, dan lebih menyakitkan.
Sebab, keadilan bukanlah soal bakar-bakaran. Tapi soal nyawa, harapan, dan masa depan yang dijanjikan oleh negara, tapi seringkali dilupakan.