
Gelombang Kegalauan di Ruang Digital
Kalimantannews.id, Jakarta - Udara Jakarta terasa pengap pada pertengahan Juni 2025. Bukan hanya karena polusi, melainkan juga karena ruang digital yang semakin sempit.
Suara-suara kritis dipaksa bungkam, seolah sejarah hanya milik segelintir orang. Koalisi Damai, gabungan 16 organisasi masyarakat sipil, akhirnya angkat bicara.
Mereka mengecam keras permintaan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkominfo) kepada platform X (sebelumnya Twitter) untuk menurunkan konten bertema sejarah dari akun @neohistoria_id dan @perupadata.
Kedua akun ini mengangkat narasi kritis tentang tragedi pemerkosaan massal Mei 1998—sebuah peristiwa kelam yang kembali memanas setelah pejabat pemerintah membantah kebenarannya.
Takedown Konten, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Pada 18 Juni 2025, @neohistoria_id menerima email dari X yang menyatakan bahwa konten mereka dilaporkan oleh Kemenkominfo karena "diduga melanggar hukum Indonesia."
Konten tersebut berisi utasan tentang pernyataan Wiranto—mantan Panglima ABRI—yang menyangkal adanya pemerkosaan massal pada 1998.
"Ave Neohistorian! Jauh sebelum Fadli Zon, Wiranto pernah menyatakan bahwa kerusuhan Mei 1998 tidak disertai pemerkosaan massal." — @neohistoria_id
Sementara itu, @perupadata juga mendapat notifikasi serupa terkait unggahan data korban kekerasan seksual Mei 1998:
"152 korban kekerasan seksual, 20 meninggal. Namun, pemerintah memilih menulis ulang sejarah."— @perupadata
Yang mengejutkan: tidak ada penjelasan rinci tentang bagian mana yang melanggar hukum atau dasar hukum apa yang digunakan. Ini memicu pertanyaan besar: Apakah ini bentuk pembungkaman sistematis?
Pola Berulang: Konten Kritis = Target Takedown
Koalisi Damai menemukan bahwa ini bukan kasus tunggal. Beberapa akun lain juga mengalami hal serupa:
@ZakkiAmali – Kritik tambang nikel di Raja Ampat.
@MF_Rais – Analisis negosiasi dagang Indonesia-AS.
SAFEnet, salah satu anggota Koalisi Damai, mencatat bahwa sejak Pemilu 2024, terjadi gelombang takedown konten kritis, terutama yang menyoroti kebijakan pemerintah.
"Ini pola berbahaya. Jika dibiarkan, ruang digital akan jadi monolog, bukan dialog." — SAFEnet dalam pernyataan resmi.
Mengapa Ini Berbahaya?
1. Ancaman Kebebasan Berekspresi
UU ITE sering dijadikan tameng, tetapi penerapannya kerap tidak transparan. Jika kritik dianggap "melanggar hukum" tanpa klarifikasi, maka siapa yang berhak menentukan kebenaran?
2. Sejarah Bisa Dihapus, Narasi Dikendalikan
Jika konten edukasi sejarah terus dihapus, generasi muda hanya akan dapat versi resmi—yang mungkin tidak utuh.
3. Platform Media Sosial Terjepit
Perusahaan seperti X dihadapkan pada dilema: patuh pada pemerintah atau pertahankan prinsip kebebasan berekspresi.
Tuntutan Koalisi Damai
- 1.Kemenkominfo harus transparan.
- 2. Setiap permintaan takedown wajih disertai alasan hukum yang jelas.
- 3. Platform harus berani menolak permintaan tidak proporsional.
- 4. Standar HAM internasional harus jadi acuan.
- 5. DPR harus evaluasi kewenangan Kemenkominfo.
Apakah moderasi konten sudah sesuai mandat konstitusi?
Digital Bukan Tempat Bermain Kekuasaan
Ketika sejarah dihapus, kebenaran dikubur. Ketika kritik dibungkam, demokrasi sekarat. Koalisi Damai mengingatkan: ruang digital adalah milik publik, bukan alat kontrol pemerintah.
"Jika hari ini kita diam, besok mungkin giliran suara kita yang dihapus."— Koalisi Damai.