
Harga mulai 249 dolar, sekitar 4 jutaan rupiah—membuatnya tampak ramah di tengah harga beras yang terus meroket.
Namun, di balik label “murah” itu, Apple menyisipkan racikan marketing yang membuat kita bertanya, benarkah ini penawaran jujur atau sekadar trik agar kita merasa pintar saat membeli?
SE 3 memang memikat. Chip S10, layar selalu aktif, sensor suhu, pengisian cepat, hingga pelacakan tidur yang canggih.
Semua fitur yang dulu jadi kemewahan kini digelontorkan ke produk “entry-level”.
Strategi yang terlihat manis padahal sejatinya ini jurus klasik Apple bikin semua orang merasa butuh, lalu biarkan dompet kita bicara.
Fitur Lengkap Samar
Dalam banyak hal, SE 3 nyaris tak berbeda dari kakaknya, Apple Watch Series 11, yang dipatok mulai 399 dolar.
Keduanya sama-sama bertenaga chip S10, punya layar Retina selalu aktif, notifikasi detak jantung, pelacakan tidur, hingga kemampuan SOS darurat.
Bahkan gerakan jentikan pergelangan tangan dan ketuk dua kali fitur yang seolah futuristis—hadir di kedua model.
Bedanya, Series 11 menawarkan kemewahan yang lebih subtil kecerahan 2000 nits, desain lebih tipis, material titanium, serta sensor EKG dan oksigen darah.
Daya tahan baterai pun lebih lama, 24 jam versus 18 jam di SE 3. Secara kasat mata perbedaan ini tipis, tetapi Apple lihai menanamkan rasa “kurang” agar Anda tergoda naik kelas.
Kekurangan Getol Disembunyikan Apple
Di balik janji manis, SE 3 tak lepas dari cela. Baterainya jelas lebih lemah dibanding Series 11.
Layar hanya 1000 nits, terasa biasa saja di bawah terik matahari. Tak ada sensor EKG, oksigen darah, atau notifikasi hipertensi.
Bagi penggemar aktivitas outdoor ekstrem, ketiadaan pengukur kedalaman dan sertifikasi debu IP6X terasa krusial.
Bahkan pengisian cepatnya kalah telak 80 persen dalam 45 menit, sementara Series 11 hanya butuh 30 menit.
Detail yang mungkin sepele, tapi di dunia serba instan, setiap menit berarti.
Tipis Batas Logika
Apple paham psikologi pembeli. SE 3 dijual sebagai “pilihan pintar”, padahal dirancang agar terasa seperti “hampir mewah”.
Hanya saja, begitu Anda mencicipi fiturnya, akan muncul godaan untuk “upgrade” ke Series 11.
Inilah permainan halus Apple memberi cukup banyak, tapi sengaja menahan sesuatu agar Anda tetap lapar.
Di tengah ekonomi rakyat yang kian mencekik, Apple seakan berkata, “Nikmati kemewahan terjangkau kami,” sambil tersenyum di balik laporan laba.
Ironisnya, banyak yang tetap rela merogoh kocek demi logo apel tergigit, seolah status sosial lebih penting daripada isi dompet.
Suara Konsumen, Suara Ironi
“Buat apa beli jam 6 juta lebih cuma buat hitung langkah? HP saya juga bisa,” sindir Danikil, karyawan ritel di Jakarta yang memilih smartwatch murah buatan Tiongkok.
Sementara itu, Lilahalal, pekerja kreatif, justru tergoda. “Aku pilih SE 3 karena lebih ringan, tapi jujur aja, kalau ada bonus kantor, Series 11 menggoda banget.”
Kutipan seperti di atas itulah menggambarkan dilema konsumen modern antara gengsi dan kebutuhan nyata.
Apple, dengan cerdik, mengendalikan percakapan ini, membuat kita mempertanyakan rasionalitas sendiri.
Seberapa Worth It Kah?
Apple Watch SE 3 memang solid bagi pembeli pertama yang hanya butuh pelacak kesehatan dasar saja dipake harian.
Namun, kekurangan pada baterai, kecerahan layar, dan sensor medis membuatnya terasa seperti pintu gerbang menuju pengeluaran lebih besar.
Apakah ini penawaran bagus? Bagi kantong tebal, mungkin. Bagi rakyat yang dihantam harga beras mahal, jelas ini kemewahan yang tak perlu.