Skandal MABT Kalbar: Kisruh Kepemimpinan Dualisme DPP Potensi Penyalahgunaan Bansos - Kalimantannews.id

Skandal MABT Kalbar: Kisruh Kepemimpinan Dualisme DPP Potensi Penyalahgunaan Bansos

Skandal MABT Kalbar: Kisruh Kepemimpinan Dualisme DPP Potensi Penyalahgunaan Bansos

Skandal MABT Kalbar: Kisruh Kepemimpinan Dualisme DPP Potensi Penyalahgunaan Bansos
Kalimantannews.id, Pontianak - Ada satu panggung yang seharusnya suci, penuh nilai kebudayaan dan kehormatan. 

Namun, tirainya kini robek, memperlihatkan drama getir yang tak lagi bisa disembunyikan. 

Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT), organisasi besar yang berdiri atas nama persatuan, kini terjerembab dalam kubangan konflik internal.

Masalahnya bukan sekadar soal perbedaan pendapat, tapi soal ambisi yang menelan akal sehat, ketidakpatuhan pada aturan sendiri, dan perebutan wewenang yang melampaui batas.

SK dari Balik Jeruji

Nama Paulus Mursalim menggema di setiap ruang diskusi. Sang Ketua Umum DPP MABT yang kini berstatus tersangka, seharusnya secara otomatis kehilangan seluruh kewenangannya. 

Tapi kenyataannya berbeda. Pada 8 Agustus 2025, sebuah Surat Keputusan (SK) lahir atas namanya.

Bagaimana mungkin seorang tersangka, yang terhalang status hukumnya, masih bisa mengatur roda organisasi? Inilah anomali hukum organisasi. 

Ketika AD/ART hanyalah hiasan di lembaran kertas, dan logika organisasi mati suri.

Panggung Tanpa Jantung

Dalam struktur MABT, DPW adalah jantung demokrasi. Ia penengah antara DPP di pusat dan DPD di daerah. Idealnya, DPW memilih DPP, dan DPD memilih DPW. Mekanisme ini menjaga keseimbangan kekuasaan.

Namun, DPW Kalbar menghilang. Penyebabnya bermula saat seorang Ketua DPW "melompat" ke kursi Ketua DPP tanpa proses yang sah. 

Ibarat seorang Gubernur tiba-tiba jadi Presiden tanpa pemilu, kekosongan pun tercipta. Tanpa DPW, MABT berdiri pincang, struktur goyah, dan konflik kian meruncing.

DPD Jadi Tumbal

Dengan hilangnya DPW, DPD dipaksa melampaui kewenangannya. Mereka yang seharusnya hanya memilih DPW, kini “diundang” untuk memilih DPP secara langsung. Padahal, AD/ART tegas melarangnya.

Konsekuensinya fatal:

  • DPP terpilih cacat hukum. Keabsahannya bisa dibatalkan.
  • Keputusan organisasi rentan gugur. Mulai dari SK, kebijakan, hingga penggunaan anggaran.
  • Dualisme kepemimpinan mengintai. Jika kelak DPW baru menolak hasil ini, MABT bisa terbelah dua.

Ketika Dana Menguap

Tak berhenti pada persoalan struktural, ada isu krusial soal dana publik. Dalam aturan, penerima hibah dan bantuan sosial dari pemerintah provinsi adalah DPW. Namun karena DPW kosong, pertanyaan pun menggantung: ke mana dana itu mengalir?

Kemungkinan besar, aliran dana melewati jalur tak sah langsung ke DPD atau DPP. Jika ini benar, maka bukan sekadar pelanggaran AD/ART, tapi berpotensi masuk ranah pidana korupsi.

Di Kapuas Hulu, kisruh mencapai puncak. Masa jabatan DPD habis, dan DPP menunjuk Plt dari pusat. 

Padahal, aturan jelas menyebut jika ketua berhalangan tetap, barulah Plt dibolehkan. Jika masa jabatan habis, Caretaker harus dipilih melalui musyawarah di tingkat DPD.

Namun, karena DPW kosong, DPP merasa berhak melangkahi prosedur. Intervensi pusat inilah yang memicu kemarahan daerah dan memperdalam luka struktural.

Nafsu Kekuasaan Tatakelola

Jika ditelisik, akar konflik ini bermuara pada tiga hal utama:

  1. Ketidakpatuhan AD/ART. Konstitusi organisasi diabaikan.
  2. Konsentrasi kekuasaan. Semua kendali dipusatkan di DPP.
  3. Hilangkan budaya musyawarah. Nilai kebudayaan Tionghoa soal harmoni dan hierarki tercederai.

Dampaknya nyata adalah Pemerintah dapat menolak pengesahan kepengurusan. Kerjasama eksternal tersendat.  Kepercayaan anggota runtuh, membuat organisasi kian rapuh.

Jalan Keluar Terlupakan

Padahal, solusi sebenarnya ada:

  • Segera bentuk DPW baru. Kembalikan fungsi jantung organisasi.
  • Laksanakan Munas Luar Biasa. Legalkan kepemimpinan atau revisi AD/ART bila diperlukan.
  • Libatkan tokoh senior. Butuh penengah netral, bukan penguasa sepihak.
  • Audit dana bansos dan hibah. Pastikan tak ada penyalahgunaan.

Namun, pertanyaannya: adakah niat baik itu? Ataukah nafsu kekuasaan sudah terlalu pekat hingga menutup mata dan hati?

Drama MABT ini bukan sekadar tentang satu organisasi. Ini adalah cermin besar tentang bagaimana kekuasaan, bila tak diimbangi integritas, bisa merobohkan tatanan yang sudah mapan.

Kisah ini mengajarkan satu hal: organisasi bukanlah kerajaan, dan jabatan bukanlah warisan. Ini soal amanah. Dan ketika amanah diabaikan, kehancuran adalah konsekuensi logis.

MABT kini berada di persimpangan sejarah. Antara memilih memulihkan marwahnya atau terjebak lebih dalam dalam jurang konflik.

Formulir Kontak