
Tapi di balik ketenangan itu, tersembunyi luka yang dalam luka dari tiga perempuan muda pergi dengan mimpi, lalu kembali dalam trauma.
Mereka bukan korban kecelakaan, bukan korban bencana alam. Mereka adalah korban perdagangan orang.
TPPO tindak pidana paling kejam karena memperdagangkan harapan, harga diri, dan nyawa manusia dengan selembar paspor dan janji kerja.
Ini bukan sekadar berita penangkapan. Ini adalah cerita tentang seorang kakak mendengar suara adiknya menangis lewat telepon, malam-malam, dari sebuah rumah di Kuching, Malaysia.
Suara itu menggema dalam sunyi, mengiris hati, dan menjadi titik balik keadilan seimbang setara di mata hukum.
Mimpi Dibungkus Paspor Palsu
Pada 6 September 2024, tiga perempuan muda meninggalkan Badau, Kapuas Hulu. Mereka bukan kabur dari rumah, bukan melarikan diri dari masalah.
Mereka pergi dengan izin keluarga, dengan hati penuh harapan. Mereka percaya: di seberang sana, di Malaysia, ada pekerjaanmenjadi pelayan toko, mungkin di rumah makan.
Gaji yang lebih besar, hidup lebih baik. Janji itu datang dari FS, seorang dikenal di kampung sebagai “orang yang bisa bantu urus ke luar negeri”.
FS bukanlah seorang calo gelap biasa. Ia terlihat meyakinkan. Ia yang membuatkan paspor untuk ketiganya.
Ia yang mengatur akomodasi, transportasi, dan perjalanan dari Badau hingga ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Semua terlihat legal. Semua terlihat aman.
Bahkan, keluarga tidak curiga. Bagaimana tidak? Paspor resmi, jalur resmi, pelintas batas resmi di tangan mereka.
Tapi, di balik legalitas itu, ada jaringan gelap yang sudah lama menggerogoti harapan rakyat perbatasan Indonesia-Malaysia di Badau Kabupaten Kapuas Hulu itu.
FS bukan sekadar membantu mereka bekerja. Ia menjual mereka. Sungguh kejadian di luar nalar akal sehat manusia ini.
Telepon Malam Itu Guncang Dunia
Hanya enam hari setelah tiba di Malaysia, pada 12 September 2024, pukul 23.00 WIB, telepon berdering di rumah seorang perempuan bernama R. Di ujung sana, suara adiknya terisak, gemetar, hampir tak bisa bicara.
“Kak… aku dijual. Aku dan teman-temanku… dijual… jadi PSK.”
R tak langsung percaya. Ia pikir adiknya sedang stres, terkena tekanan kerja, mungkin diperas. Tapi suara itu terlalu nyata. Terlalu penuh ketakutan.
Adiknya juga mengatakan mereka dikurung di sebuah rumah di Kuching, tak bisa keluar, tak bisa pulang.
Mereka dijerat utang RM 2.000 yang harus dilunasi dengan cara yang paling memalukan menjadi pekerja seks komersial.
“Kami tidak boleh pulang, Kak. Utangnya harus dicicil… dengan tubuh kami.”
R menangis. Ia tak bisa tidur malam itu. Ia segera menghubungi BP3MI Kalimantan Barat, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Bersama mereka, ia melapor ke Sat Reskrim Polres Kapuas Hulu pada 3 Maret 2025. Laporan itu bukan hanya soal hukum.
Ini adalah jeritan dari hati seorang kakak yang merasa gagal melindungi adiknya kini menanti keadilan setara sebagai warga negara.
Perburuan FS Dari Perbatasan Hingga Penahanan
Polisi tak main-main. Kepala Kepolisian Resor Kapuas Hulu AKBP Roberto Aprianto Uda melalui Kasat Reskrim Polres Kapuas Hulu, Iptu Rinto Sihombing, langsung mengambil alih kasus ini.
Tim mulai mengumpulkan bukti, memeriksa korban, dan menggali keterangan dari semua pihak. Yang paling mengejutkan: FS mengakui semuanya.
Ia mengaku menjual ketiga perempuan itu kepada WL, warga negara Malaysia, dengan harga RM 3.000 (sekitar Rp 10,5 juta).
Uang itu, katanya, habis untuk biaya pembuatan paspor, akomodasi, dan ongkos keberangkatan. Tapi bagi penyidik, itu bukan alasan. Itu bukan “jasa”, itu kejahatan.
Dari WL, ketiga korban kemudian dijual lagi ke XX, juga warga Malaysia. Mereka dikurung, diawasi, dipaksa bekerja di bawah ancaman.
Tidak ada jalan pulang, kecuali utang lunas utang yang sengaja dibuat tidak bisa dilunasi secara tunai, hanya bisa dengan “kerja” yang memperbudak martabat.
Kerja sama antara Polres Kapuas Hulu, BP3MI, Imigrasi, dan masyarakat lokal akhirnya membuahkan hasil.
Pada 14 Agustus 2025, FS ditangkap di Badau. Ia tidak melawan. Ia hanya menunduk. Tapi di balik kepala yang tertunduk itu, ada rasa bersalah? Atau hanya ketakutan?
Saat Hukum Berpihak Pada Korban
FS kini ditahan di sel tahanan Polres Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Ia bukan lagi saksi. Ia resmi menjadi tersangka.
Ia dijerat Pasal 4 Jo Pasal 17 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Ancamannya berat maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 600 juta bisa ditambah sepertiga dari hukuman jika terbukti ada unsur eksploitasi anak.
Salah satu korban masih berusia 17 tahun. Miris. Ternyata benar-benar tega melakukan tindak pidana di luar akal sehat.
Bayangkan. Seorang gadis di usia yang seharusnya masih menikmati sekolah, cita-cita, cinta pertama malah dipaksa menjadi komoditas di negeri orang.
Diperdagangkan. Dikurung. Dipaksa melayani demi melunasi utang yang tak pernah ia pinjam. Ini bukan hanya kejahatan hukum. Ini kejahatan kemanusiaan.
Wajah TPPO di Perbatasan: Antara Harapan dan Pengkhianatan
Kasus ini membuka mata kita, TPPO atau Tindak Pidana Perdagangan Orang bukan hanya terjadi di kota besar atau pelabuhan gelap.
Ia juga tumbuh subur di pinggiran, di desa-desa perbatasan, di tempat orang hidup dalam kesulitan ekonomi.
FS bukan monster dari cerita horor. Ia mungkin dulu juga korban dari sistem yang tidak adil. Tapi ia memilih menjadi predator.
Di Kapuas Hulu, banyak keluarga yang mengirim anggota keluarga ke Malaysia karena lapangan kerja di sini terbatas. Upah rendah. Harapan tipis.
Maka, ketika ada orang yang menawarkan “jalan keluar”, mereka menyambutnya dengan harapan, bukan kecurigaan.
FS memanfaatkan itu. Ia membangun kepercayaan, lalu menghancurkannya. Ia bukan hanya menjual tubuh, ia menjual mimpi.
Dan ketika mimpi itu hancur, yang tersisa hanyalah trauma yang akan menghantui korban seumur hidup.
Suara Tak Boleh Diam
Kasus ini harus jadi pelajaran. Tapi juga harus jadi alarm. BP3MI, Polri, Imigrasi, dan pemerintah daerah harus bekerja lebih keras.
Sosialisasi tentang bahaya TPPO harus masuk ke desa-desa. Masyarakat harus diajarkan: tidak semua yang terlihat legal adalah aman. Tidak semua yang menjanjikan pekerjaan adalah penyelamat.
Korban harus dilindungi, bukan dikucilkan. Mereka butuh rehabilitasi, pendampingan psikologis, dan akses ke keadilan. Bukan stigma.
Dan bagi R, sang kakak, perjuangannya belum selesai. Ia masih menunggu adiknya bisa pulang. Selamat sampai rumahnya.
Ia masih menunggu sidang di Malaysia selesai. Ia masih menangis setiap malam. Tapi ia tidak menyerah. Karena dari tangisnya, lahir keberanian. Dari suaranya, lahir keadilan.
Jangan Biarkan Mereka Sendiri
Kita sering mendengar berita seperti ini. Lalu kita lewat. Kita scroll. Kita lupa. Tapi kali ini, berhenti sebentar. Bayangkan jika itu adikmu. Jika itu saudaramu. Jika itu anakmu.
TPPO bukan hanya soal hukum. Ini soal kemanusiaan. Ini soal rasa aman di tengah keluarga. Ini soal harga diri yang diinjak demi uang.
FS mungkin akan dihukum. Tapi hukuman itu tak akan menghapus trauma yang sudah tertanam. Hanya dukungan, keadilan, dan keberpihakan yang bisa menyembuhkan.
Mari kita jadikan kasus ini bukan akhir, tapi awal. Awal dari kesadaran. Awal dari perlindungan. Awal dari janji ini tidak akan ada lagi perempuan yang dijual atas nama harapan.
Jika kamu tahu ada yang berniat bekerja ke luar negeri, tanyakan siapa yang mengurus nantinya di luar negeri?
Apakah resmi? Apakah ada kontrak? Jangan biarkan mimpi mereka dijual. Karena di balik setiap paspor, bisa jadi ada jaringan yang sedang menunggu.