Kasus Dugaan Korupsi Tambang Batu Gamping Tikala di Toraja Utara Mangkrak, ACC Desak Kejagung Turun Tangan - Kalimantannews.id

Kasus Dugaan Korupsi Tambang Batu Gamping Tikala di Toraja Utara Mangkrak, ACC Desak Kejagung Turun Tangan

Kasus Dugaan Korupsi Tambang Batu Gamping Tikala di Toraja Utara Mangkrak, ACC Desak Kejagung Turun Tangan

Kasus Dugaan Korupsi Tambang Batu Gamping Tikala di Toraja Utara Mangkrak, ACC Desak Kejagung Turun Tangan
Kalimantannews.id, Toraja Utara - Di pagi berkabut Toraja Utara, udara seharusnya hanya membawa aroma kopi arabika harum dan embun segar. 

Namun di Tikala, kecamatan yang kini menjadi panggung sebuah drama hukum setengah hati, udara juga mengandung debu batu gamping hasil dari tambang izinnya dipertanyakan dan kejujuran pejabatnya diragukan.

Di atas kertas, tambang ini hanya urusan izin usaha, tata ruang, dan angka hektare. 

Namun bagi warga yang hidup di sekitarnya, ini adalah soal air yang mereka minum, tanah leluhur yang mereka injak, dan langit yang mulai berwarna abu-abu.

Kasus yang Mengendap

Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, organisasi yang sudah kenyang dengan aroma busuk korupsi, memandang kasus ini seperti drama lama diputar ulang lambat, berliku, dan kadang sengaja diperlambat.

Ketua Badan Pekerja ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun, tak mau lagi menunggu. “Kejagung harus turun tangan,” ujarnya, seperti wartawan yang bosan menulis berita copy paste rilis humas.

Kadir menilai penyelidikan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan berjalan seperti kereta tua di jalur sepi bergerak, tapi entah kapan sampai stasiun akhir. 

Fakta-fakta awal sudah cukup untuk membunyikan alarm izin tambang tidak patuh pada Perda Nomor 3 Tahun 2012, luasan melebihi ketentuan koperasi dalam UU Nomor 3 Tahun 2020, hingga potensi manipulasi dokumen dan penyalahgunaan kewenangan.

“Kalau benar ada pemalsuan dokumen dan pengabaian tata ruang, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bukan lagi wacana, tapi harus jadi pegangan penyidik,” kata Kadir. 

Potensi kerugiannya? Bukan sekadar rupiah di APBN, tapi juga hilangnya mata air, rusaknya situs budaya, dan ekosistem terkoyak.

Lingkungan Menjerit, Hukum Tidur Nenyak

Di wilayah adat Toraja, air bukan sekadar kebutuhan, ia adalah nadi kehidupan. 

Mata air yang mengalir dari kaki bukit menjadi saksi upacara adat, menyuburkan kebun kopi, dan mengisi sumur rumah-rumah.

Namun tambang batu gamping itu mengancam semua. Debu dan getaran alat berat merayap, menggerus keheningan, dan perlahan mengubah lanskap.

Bagi ACC, ini bukan cuma soal administratif, tapi pelanggaran hak konstitusional warga sebagaimana Pasal 28H UUD 1945: hak atas lingkungan hidup baik dan sehat.

“Kalau negara abai, artinya negara ikut merusak,” ucap Kadir, kalimat yang terasa seperti pukulan di meja sidang.

Kejaksaan, DPRD, dan Jalan Panjang ke Keadilan

Kejaksaan Tinggi Sulsel mengklaim telah memeriksa puluhan pihak, mulai dari pejabat kabupaten hingga provinsi. 

Semua mengaku proses berjalan “maksimal” dan “sesuai prosedur”. Kata-kata yang terdengar manis di siaran pers, tapi sering hambar di kenyataan.

DPRD Sulsel pun sempat turun gelanggang. Mereka merekomendasikan pengurangan luas izin dari 24,9 hektare menjadi 5 hektare, plus penghentian sementara aktivitas tambang. 

Syaratnya perusahaan harus membangun jalan produksi khusus dan menata ulang lokasi tambang.

Namun rekomendasi dewan sering kali seperti tanda baca koma ada jeda, tapi cerita tetap berjalan.

Suara dari Lereng dan Rumah Tongkonan

Tokoh adat dan masyarakat sekitar Tikala tidak hanya mengandalkan doa di tongkonan (rumah adat). 

Mereka mengkaji dokumen, mengukur jarak tambang dari situs budaya, hingga menghitung debit mata air.

Proses administrasi tambang ini penuh lubang. Minim konsultasi publik, analisis dampak lingkungan setengah matang, dan penilaian terhadap situs budaya nyaris tak tersentuh.

“Jangan biarkan ini jadi contoh buruk bahwa tanah leluhur bisa dibarter dengan dokumen meja kantor,” ujar seorang tetua adat. Ucapannya terdengar lirih, tapi mengandung amarah dalam.

Regulasi yang Jelas, Penegakan yang Samar

Regulasi soal tambang di Indonesia sebenarnya sudah tegas. UU Nomor 4 Tahun 2009 (yang diubah menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020) dan PP Nomor 96 Tahun 2021 tidak memberi ruang untuk penyalahgunaan kewenangan merugikan negara. 

Dalam bahasa hukum ini ranah Tipikor, bukan sekadar administrasi. Namun sering kali, regulasi di negeri ini seperti rambu lalu lintas di desa terpencil berdiri tegak, tapi tak ada yang peduli.

ACC ingin Kejagung masuk, bukan sekadar jadi penonton. Kadir mendesak status kasus dinaikkan dari penyelidikan ke penyidikan pidana khusus. 

“Langkah logis,” katanya. Logis bagi mereka  mau menegakkan hukum, bukan bagi yang sibuk menjaga kursi.

Publik Menunggu, Alam Menagih

Warga Tikala kini menunggu dua hal: kabar dari Kejagung dan suara gemericik mata air yang mungkin suatu hari tinggal cerita. 

Mereka tahu, jika hukum lambat, alam akan cepat mengambil haknya banjir, longsor, dan tanah retak sudah jadi ancaman nyata.

Kasus ini adalah ujian apakah hukum di negeri ini mampu melindungi rakyat dan lingkungan, atau hanya menjadi perpanjangan tangan bagi mereka berani membayar.

Bagi ACC, kasus ini bisa jadi preseden baik: hukum berdiri untuk rakyat. Tapi jika dibiarkan berlarut-larut, ia akan berubah jadi parodi rakyat hanya menonton dari pinggir, sementara tanah mereka ditukar dengan janji kosong.

Toraja Utara layak mendapatkan keadilan yang lebih dari sekadar kata “proses sedang berjalan”. 

Alam dan budaya bukan aset yang bisa diganti dengan galian batu gamping. Mereka adalah warisan, dan sekali hilang, tak akan pernah kembali.

Formulir Kontak