
Kapuas Hulu, Kalimantannws.id - Di tepian hutan Kalimantan Barat, Kabupaten Kapuas Hulu bagai menahan napas.
Bukan karena musibah alam, melainkan keresahan akan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang berkeliaran.
Rumah Singgah, simbol perlindungan sosial, kini seolah jadi sekadar papan nama hadir, namun tak sepenuh hati.
Satpol PP setempat memang sigap mengamankan ODGJ saat muncul di ruang publik pasar, jalan raya, trotoar sunyi.
Namun setelah diamankan, ODGJ hanya “diantar pulang” ke rumah orang tua. Besok? “Besok pasti jalan lagi dia,” keluh seorang sumber penuh sendu.
Rumah Singgah Bukan Panti Rehabilitasi
Rumah Singgah di sana bukan solusi jangka panjang. Fasilitas ini hanya difungsikan sementara untuk ODGJ yang terlantar atau tanpa keluarga.
Untuk rehabilitasi permanen, mereka tetap harus dirujuk ke pusat atau provinsi melalui panti milik Kementerian Sosial.
Lebih ironis, kapasitas dan operasional Rumah Singgah tersandera keterbatasan anggaran daerah.
Mirisnya adalah dana operasional sangat tipis, membatasi upaya penanganan ODGJ secara menyeluruh.
Ruang Campur Menyakitkan
Bukan hanya minim, Rumah Singgah itu juga belum representatif. Audit lapangan dari 2021 menunjukkan, penghuni laki-laki dan perempuan masih digabung dalam satu ruangan, meski seharusnya terpisah.
Dijanjikan akan diperbaiki, namun realitas di lapangan jauh dari kata layak.
Kehadiran Rumah Singgah hanyalah titik awal dalam rantai pendek penanganan.
Setelah distabilkan, ODGJ dikembalikan kepada keluarga tanpa jaminan lanjutan, tanpa dukungan psikologis, dan sering kali tanpa emosi penyembuhan.
Dinsos hanya mampu menjabarkan prosedur: Satpol PP amankan → Puskesmas cek → RSJ rujuk → setelah stabil, kembali ke Rumah Singgah sementara → kembali ke keluarga bila ditemukan.
Sistem ini tampak rapi di atas kertas, namun di lapangan justru terputus di tengah pelaksanaan. Anggaran makin menipis, fasilitas tidak memadai, dan sumber daya manusia terbatas.
Warga yang seharusnya merasa aman, justru menahan ketakutan. Wabah keresahan ini tumbuh di jalanan pedagang tutup toko lebih awal.
Keluarga menutup anak-anak rapat–rapat, ketenangan menjadi barang mewah. Padahal, bukankah rumah seharusnya menjadi tempat pemulihan utama?
Rumah Singgah, katanya. Tapi bukan tempat tinggal, lebih seperti showroom penderitaan. Tertib di tampilan, tak tertata dalam substansi.
Ruang singgah sementara untuk jiwa yang berpatah semangat—dipanggil, tapi hanya sekadar singgah, bukan pulih.
Inilah pentingnya peran keluarga dan masyarakat dalam mendampingi ODGJ, terutama pasca-pemulangan dari RSJ.
Kesabaran, kasih sayang, dan lingkungan ramah adalah kunci penyembuhan.
Namun ketika kenyataan menunjukkan keluarga dan pemerintah daerah banyak yang tak siap tangani secara konsisten, seruan ini terasa seperti simfoni kosong yang hanya bergema di ruang rapat.
Langkah Rekomendasi Konkret
Agar solusi bukan sekadar basa-basi:
1. Kajian Ulang Anggaran
Pemerintah provinsi dan pusat harus memperkuat dana penanganan ODGJ di tingkat kabupaten, bukan hanya lewat efisiensi alokasi.
2. Revitalisasi Rumah Singgah
Perbaikan struktural (ruang terpisah, kapasitas wajar, fasilitas pendukung), plus tenaga khusus—psikolog dan pekerja sosial.
3. Pusat Rehabilitasi Regional
Pendirian panti jangka panjang di Kalbar yang inklusif, menampung ODGJ stabil untuk rehabilitasi menyeluruh.
4. Pendampingan Keluarga
Program pelatihan dan dukungan psikososial agar keluarga menjadi penyangga nyata pemulihan.
5. Koordinasi Lintas Sektor
Dinsos, Puskesmas, RSJ, hingga desa harus saling terkoordinasi dalam SOP yang realistik dan terintegrasi.
Nasib ODGJ di Kapuas Hulu adalah gambaran kecil dari problem besar ketika sistem bicara “manusiawi,” tapi langkahnya terhenti karena keterbatasan nyata.
Warga meresah, Dinsos beralibi; Rumah Singgah ada, tapi hanyalah pintu terusan tanpa tujuan. Sementara ODGJ tetap berputar dalam lingkaran singgah yang tak pernah utuh.
Kebenaran itu sederhana, mereka bukan sekadar ODGJ, melainkan jiwa yang haus pemulihan.
Jika kita tetap diam, maka kisah mereka akan menetap dan warga terus menahan napas.
Kini saatnya bergerak, bukan hanya untuk menyelamatkan bukan siapa-siapa, tapi untuk membuktikan kemanusiaan kita sendiri.