
Di balik air kolam yang beriak tenang, ada degup kehidupan para petani UMKM yang menggantungkan nasibnya pada seekor ikan mungil, dan sebuah lembaga negara yang datang membawa tangan terbuka Bea Cukai Nanga Badau.
Di daerah perbatasan, ekonomi rakyat bukan sekadar soal angka-angka di laporan statistik.
Ia soal piring yang penuh, dapur yang mengepul, dan wajah anak-anak yang tetap bisa tersenyum.
Di sinilah peran Bea Cukai menjadi terasa nyata, bukan sekadar institusi pengawas, tapi mitra hidup masyarakat.
Program Bea Cukai: Dari Birokrasi ke Empati
Tak banyak orang percaya, kantor Bea Cukai bisa jadi “rumah kedua” bagi pelaku UMKM. Namun, di Nanga Badau, fenomena itu nyata.
Kepala Kantor Bea Cukai Nanga Badau, Henry Imanuel Sinuraya, memimpin perubahan itu.
Bagi Henry, perbatasan Indonesia-Malaysia tak boleh terus menjadi halaman belakang pembangunan. Ia ingin membalik cerita dari daerah pinggiran menjadi poros ekonomi kecil yang berdaya.
“Kami hadir di sini bukan sekadar menjalankan tugas pengawasan, tapi juga memastikan masyarakat punya peluang berkembang.” Begitu katanya, dengan mata berbinar penuh tekad.
Salah satu langkah paling berani adalah pembinaan UMKM Lele Premium Borneo. UMKM ini digagas oleh warga setempat yang jenuh menjadi penonton pembangunan, lalu memilih bertani lele sebagai jalan hidup.
Berkat asistensi Bea Cukai, kini mereka memproduksi 500 kilogram lele segar setiap bulan angka yang cukup membuat jantung pasar lokal berdetak lebih cepat.
Dari Kolam Kecil ke Cita-Cita Besar
Di tepian kolam berukuran sederhana, Ahmad, salah satu petani UMKM Lele Premium Borneo, bercerita sambil menatap air tenang yang memantulkan cahaya matahari siang.
“Dulu, kami hanya beternak seadanya. Sekarang, dengan dukungan Bea Cukai, kami belajar soal standar ekspor, manajemen kolam, dan cara mengelola produksi,” ujarnya sambil tersenyum bangga.
Namun, kisah ini bukan sekadar angka produksi. Di baliknya, ada rasa percaya diri yang tumbuh. Jika dulu hasil lele hanya untuk pasar kampung, kini ada mimpi lebih besar menembus pasar ekspor.
Mimpi itu bukan sekadar angan kosong. Bea Cukai memberikan bimbingan teknis, pendampingan perizinan, dan akses jaringan pemasaran.
Semua diarahkan agar Lele Premium Borneo suatu hari bisa bersaing di meja makan dunia.
Dari Kolam ke Meja Keluarga
Kata “ketahanan pangan” kerap terdengar kaku di telinga. Tapi di Nanga Badau, istilah itu sederhana: apakah anak-anak bisa makan cukup hari ini.
Dengan produksi 500 kilogram lele per bulan, UMKM ini bukan hanya memberi pemasukan bagi petani, tetapi juga memastikan harga pangan terjangkau.
Di warung-warung sekitar perbatasan, lele Premium Borneo menjadi lauk andalan. Harganya bersahabat, rasanya lembut, dan gizinya membantu menjaga daya tahan tubuh warga.
Di sinilah peran UMKM terasa nyata bukan hanya memproduksi, tapi menghidupi.
Tak heran, program Bea Cukai ini selaras dengan agenda pemerintah pusat soal ketahanan pangan nasional. Bukannya sekadar jargon, tapi hasil nyata di lapangan.
Saat Lele Menjadi Simbol Kebersamaan
Keberhasilan UMKM ini juga dirayakan dalam bentuk bakti sosial. Bea Cukai Nanga Badau bersama UMKM Lele Premium Borneo membagikan lele siap konsumsi kepada masyarakat sekitar.
Bukan angka besar yang jadi kebanggaan, tapi rasa kebersamaan yang terjalin.
“Lele ini bukan sekadar ikan. Ini hasil keringat, gotong royong, dan semangat warga perbatasan,” kata Henry Imanuel Sinuraya.
Kalimatnya sederhana, tapi maknanya dalam pemberdayaan sejati lahir dari tangan yang mau berbagi.
Jalan Panjang, Harapan Tak Pernah Padam
Meski program ini berjalan baik, tantangan tetap ada. Dari keterbatasan modal, akses logistik, hingga kompetisi pasar dengan produk impor. Namun, semangat masyarakat Nanga Badau tak mudah surut.
Ada satu prinsip yang mereka pegang: perbatasan bukan batas harapan. Dengan dukungan pemerintah, Bea Cukai, dan kerja keras petani UMKM, Nanga Badau kini menjadi contoh kecil revolusi ekonomi perbatasan.
UMKM Lele Premium Borneo bukan sekadar bisnis. Ia adalah cerita tentang keberanian bertahan, mimpi yang dipelihara, dan harapan yang dipetik perlahan.
Dari satu kolam kecil, kini terbentang cita-cita besar untuk mengibarkan nama Indonesia di meja makan dunia.