
Di balik rimbun pepohonan dan derasnya arus Sungai Kapuas, ada kisah getir tentang masyarakat yang menggantungkan hidup pada emas.
Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) bukan sekadar aktivitas ekonomi—ini soal napas, perut, dan masa depan.
Di setiap tepian sungai, suara mesin dompeng mendesis, menggerus batu dan pasir. Sungai Bunut, dulu jernih bagai kaca, kini keruh menanggung luka.
Di tengah pusaran konflik, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, kepolisian, dan masyarakat saling tarik-menarik soal satu hal: siapa yang berhak memutuskan takdir bumi ini?
Pemda Kapuas Hulu Gelar Rakor: Dari 22 Koperasi hingga 3 IPR Berizin
Bupati Kapuas Hulu Fransiskus Diaan mencoba merajut benang kusut ini. Dalam Rakor penanganan PETI, ia memaparkan upaya konkret yang sudah ditempuh.
Pemda memfasilitasi 22 koperasi, 3 IPR (Izin Pertambangan Rakyat) sudah terbit, dan 19 lainnya sedang proses.
“Kami sudah siapkan petunjuk teknis dan pelaksanaannya,” ujarnya. “Masyarakat sebenarnya bisa bekerja legal di wilayah IPR. Tapi perizinan ini kewenangannya ada di provinsi, kami hanya mendorong.”
Ironisnya, kata “legal” di sini terdengar begitu mahal. Sementara dompet warga kian tipis, proses perizinan terasa panjang dan berliku. Mereka butuh makan hari ini, bukan menunggu surat izin besok.
Sungai Bunut Menangis
Kisah Sungai Bunut menjadi simbol luka kolektif Kapuas Hulu. Airnya keruh, ekosistemnya terguncang.
Pemerintah daerah menekankan, penanganan harus dimulai dari hulu, sebab pencemaran berasal dari aktivitas PETI yang merambat ke anak-anak sungai.
Namun, di balik jargon penertiban, ada realita getir: PETI adalah denyut ekonomi masyarakat.
Tak sedikit warga yang menggantungkan hidup pada pasir dan lumpur yang digali setiap hari.
Sementara wacana alih profesi, seperti menanam sawit mandiri atau mengembangkan kratom, masih sebatas janji manis.
Sinergi Atau Mati Perlahan?
Kapolres Kapuas Hulu, AKBP Roberto Aprianto Uda, mengambil peran sebagai penyeimbang.
Menurut dia, penanganan PETI tak bisa semata mengandalkan penegakan hukum. Harus ada sinergi stakeholder Pemda, TNI, Polri, dan masyarakat.
“Intinya kita harus satu visi,” katanya. “Ini bukan sekadar soal menindak, tapi memberi jalan keluar,” kata pria yang memiliki tiga melati di pundaknya itu.
Namun, jalan keluar itu belum jelas wujudnya. Bagi masyarakat, PETI adalah hidup. Bagi negara, PETI adalah pelanggaran.
Di tengah tarik-menarik ini, ketidakpastian meraja, sementara Sungai Kapuas terus menjerit pelan.
Potret Warga: Antara Perut dan Hukum
Bertemu Jalikadia, warga hulu Kapuas yang sudah 10 tahun menambang emas. Tangannya kasar, tubuhnya legam terbakar matahari. Saat ditanya kenapa tak pindah profesi, jawabannya lirih.
“Kalau kami berhenti, mau makan apa? Kalau ikut koperasi, prosesnya panjang, belum tentu disetujui.”
Jawaban itu menampar kesadaran kita. Penegakan hukum tanpa solusi ekonomi hanya akan menambah luka. Ketika perut lapar, undang-undang hanyalah deretan huruf tanpa arti.
Drama Bendera Setengah Tiang: Simbol Mosi Tak Percaya
Beberapa waktu lalu, sebuah desa di Kapuas Hulu mengibarkan bendera setengah tiang. Sebuah simbol perlawanan senyap terhadap aparat penegak hukum.
Mereka lelah merasa tak didengar, muak dengan janji penertiban tanpa kejelasan masa depan.
Kapolres Kapuas Hulu, AKBP Roberto Aprianto Uda memastikan konflik itu telah “diselesaikan dengan baik”.
Namun, bendera setengah tiang itu seperti lukisan batin bukti retaknya kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
BBM, PETI, dan Jaring Mafia Tambang
Satu hal yang tak kalah pelik adalah peran BBM. Kapolres Kapuas Hulu, AKBP Roberto Aprianto Uda menyinggung indikasi penyaluran BBM subsidi yang bocor untuk kepentingan PETI.
“Kalau BBM diarahkan ke PETI, itu jadi target penindakan,” ucapnya menegaskan.
Masalahnya, selama PETI masih menjadi nadi ekonomi, mafia BBM akan terus menemukan celah.
Di sinilah Kapuas Hulu seperti terperangkap dalam lingkaran setan semakin banyak PETI, semakin deras aliran BBM ilegal; semakin keras penindakan, semakin banyak konflik sosial.
Dilema Besar, Emas Atau Ekosistem?
Kapuas Hulu kini berada di persimpangan: mengejar emas atau menjaga ekosistem.
Jika PETI terus dibiarkan, kerusakan lingkungan tak terelakkan. Namun, menutup PETI tanpa memberi alternatif ekonomi hanyalah mengundang perlawanan sosial.
Solusinya bukan sekadar penertiban. Butuh transformasi ekonomi membuka lapangan kerja legal, mempercepat proses IPR.
Juga mengembangkan potensi komoditas lain seperti kratom dan sawit mandiri. Sayangnya, ini butuh komitmen semua pihak, bukan sekadar rapat dan retorika.
Kapuas Hulu di Ujung Nafas
Kisah Kapuas Hulu adalah potret Indonesia dalam skala kecil. Di satu sisi, pembangunan dan kelestarian harus berjalan seiring.
Di sisi lain, realita perut masyarakat tak bisa diabaikan. PETI bukan sekadar soal hukum ini soal kehidupan, air, dan masa depan.
Jika stakeholder gagal menemukan jalan tengah, Kapuas Hulu akan terus berdarah perlahan.
Sungai keruh, hutan gundul, dan masyarakat terpecah. Ini bukan sekadar masalah emas ini masalah nafas.