- Penanganan dugaan korupsi revitalisasi UNM senilai Rp87 miliar memicu desakan publik agar Kejati Sulsel segera membuka perkembangan penyelidikan. ACC Sulawesi menilai minimnya informasi resmi memunculkan spekulasi perkara dipetieskan.
- ACC menegaskan APH wajib transparan sejak tahap awal. Peneliti ACC, Anggareksa, menyorot perlunya penjelasan terang bila perkara dihentikan. Kasus ini sempat tumpang tindih antara kepolisian dan kejaksaan sebelum akhirnya dikuasai penuh oleh Kejati Sulsel.
- Kejati menyebut proses masih berada pada tahap penyelidikan, serta sejumlah pihak UNM sudah dimintai klarifikasi. Namun publik belum menerima rilis lanjutan termasuk hasil gelar perkara.
- ACC mencatat dugaan mark-up pengadaan e-katalog serta indikasi PPK tidak memenuhi syarat kompetensi. Temuan awal dinilai cukup kuat untuk peningkatan status ke penyidikan.
- Publik kini menunggu langkah tegas Kejati Sulsel, apakah kasus besar Rp87 miliar itu segera naik tahap, atau terus bergerak tanpa kepastian.
Kalimantannews.id, Makassar - Janji aparat senyap. Sunyi itu menetas perlahan dari koridor hukum Sulawesi Selatan.
Di balik papan nama besar Kejati Sulsel, sebuah berkas bernilai Rp87 miliar seakan duduk lunglai di meja panjang.
Proyek revitalisasi Universitas Negeri Makassar, bagian dari Program Revitalisasi Perguruan Tinggi Negeri (PRPTN), telanjur menyimpan aroma seret.
Publik menunggu, ACC Sulawesi menekan, aparat hanya memberi reruntuh kalimat tanpa arah pasti.
Dari ruang rapat, dari pintu masuk fakultas tua, dari layar portal pemerintah, proyek revitalisasi itu awalnya digadang sebagai tonggak besar loncatan UNM menuju status PTN-BH.
Dana APBN dari Kemendikbudristek turun deras, persis air hujan awal musim. Publik menaruh harap.
Namun, harap berubah curiga, curiga berubah tekanan, tekanan berubah permintaan agar transparansi tidak sekadar kata.
Peneliti ACC Sulawesi, Anggareksa, mengucap tegas pesan keras pada awal Desember.
“APH harus transparan dan akuntabel. Itu bagian dari pertanggungjawaban kinerja kepada publik," tuturnya pada Selasa, 2 Desember 2025.
Kalimat sederhana, namun mengenai inti persoalan: tidak ada progres terbuka. Tidak ada arah. Tidak ada kepastian.
ACC menilai diam aparat selalu melahirkan gosip baru. Publik mulai berbisik proyek ini berpotensi merapat pada gelap laci kantor.
Spekulasi tumbuh cepat secepat rumor kantin kampus. Penanganan pun sempat tumpang tindih antara kepolisian dan kejaksaan, membuat alur semakin kabur.
Kasubdit III Tipidkor Ditreskrimsus Polda Sulsel, Kompol Jufri, memberi penjelasan lugas saat dihubungi.
“Tapi bersamaan dengan jaksa. Setelah koordinasi, mereka yang minta menangani,” kata Jufri.
Seketika arah berubah. Penanganan sepenuhnya masuk meja Kejati Sulsel. Harusnya jelas. Harusnya sederhana. Namun, proses justru duduk diam.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, sempat memberi keterangan pendek.
“Iya, sementara dilakukan penyelidikan oleh Bidang Pidsus Kejati Sulsel," katanya.
Tapi setelah ucapan itu, pintu informasi seperti dirapatkan pelan-pelan. Sejumlah pihak UNM memang sudah dimintai klarifikasi, namun publik tidak pernah tahu apa kesimpulan dari sesi awal itu. Tidak keluar data soal gelar perkara.
Tidak muncul penjelasan soal kemungkinan peningkatan status ke penyidikan. Tidak ada juga rilis tunggal soal simpul awal pelanggaran.
ACC Sulawesi mencatat dugaan mark-up pengadaan barang melalui e-katalog, serta indikasi PPK tidak memenuhi syarat kompetensi. Temuan awal sudah cukup terang bagi publik.
Pada laporan ACC, struktur anggaran dinilai berpotensi bocor bahkan sebelum konstruksi dimulai. Mark-up masuk sebagai kata kunci dugaan penyimpangan.
Dalam catatan ACC, pola mark-up sering lahir di proyek sarana pendidikan, khususnya pengadaan peralatan dan jasa.
Pada proyek ini, alur digital melalui e-katalog seharusnya menjadi pagar transparansi. Namun pagar justru dipenuhi lumut pertanyaan.
Alur Kasus Sunyi
Perjalanan kasus ini ibarat monumen revisi anggaran berdiri di pinggir kota tampak, tapi jarang dijelaskan.
Publikotasinya minim. ACC menegaskan, publik berhak tahu dasar penghentian perkara bila aparat memutuskan menutup jalur hukum.
“Jika pun kasus dihentikan, dasar hukumnya harus disampaikan secara terang. Publik berhak tahu,” ucap Angga.
Di dalam kalimat itu, terdapat inti dari seluruh polemik: publik tidak menuntut keajaiban, publik hanya menuntut penjelasan.
Pada realitasnya, publik mengamati pola. Setiap proyek bernilai besar sering tergelincir pada jebakan baru.
Shan, mahasiswa pascasarjana UNM, menyebut korupsi dalam proyek pendidikan serupa kabut gunung–muncul diam, melebar luas tanpa suara.
“Dana besar masuk kampus bisa memicu banyak peluang. Tapi kampus harus jadi rumah ilmu, bukan rumah negosiasi gelap,” gumam Shan saat diwawancara di pelataran Fakultas Psikologi.
Di ruang dosen, para pengajar senior menilai kasus ini memiliki arti penting bagi proses transisi UNM menuju PTN-BH.
Bukan soal legalitas status, tapi soal integritas lembaga pendidikan. Bila penyimpangan tidak diselesaikan secara tegas, kepercayaan publik pada universitas bisa runtuh.
ACC bahkan menilai kasus ini dapat menjadi contoh buruk bila terlalu lama mandek.
Penanganan tumpang tindih antara polisi dan jaksa di awal proses memunculkan sinyal kabur soal koordinasi aparat.
Lalu ketika kejaksaan mengambil alih penuh, publik berharap ada kabar rutin. Harapan itu belum terjawab hingga kini.
Jejak Dana Keruh
Revitalisasi UNM bernilai Rp87 miliar. Angka itu bukan sembarang angka. Setara pembangunan gedung fakultas lengkap fasilitas laboratorium modern.
Setara 1.500 beasiswa mahasiswa berprestasi. Setara program riset besar setahun penuh. Namun angka itu justru gagal menghasilkan transparansi.
Dari berkas ACC, dugaan mark-up diletakkan pada beberapa item strategis. Pengadaan peralatan kampus seharusnya terpantau lewat e-katalog, disebut tidak serapi prosedur ideal.
ACC mencium struktur harga tidak wajar. PPK diduga tidak memenuhi syarat kompetensi sesuai regulasi, sehingga alur pembelian rawan jebol.
Dalam dunia proyek pendidikan, pelanggaran sering bermekaran pada celah teknis.
Harga tidak mutlak, negosiasi terbuka celah, penyedia kadang tak tersertifikasi, lalu volume pekerjaan tidak sesuai proposal.
ACC menilai temuan awal sudah cukup kuat untuk melanjutkan perkara ke tahap penyidikan.
“Kasus sebesar ini tidak boleh didiamkan. Kejati Sulsel harus menunjukkan keseriusannya,” ucap Angga.
Desakan itu lahir bukan demi ACC sendiri, tapi demi publik. Kampus selalu menjadi simbol kejujuran ilmu. Bila proyek kampus diragukan, moral publik pun ikut tercoreng.
Kejati Sulawesi Selatan kini berdiri pada titik krusial. Menunda rilis sama saja memberi ruang spekulasi baru.
Publik butuh kejelasan arah. Memilih meningkatkan status ke penyidikan atau menutup berkas berdasarkan aturan adalah dua jalan sah di dunia hukum.
Namun menahan kabar terlalu lama justru melahirkan kesan perkara disimpan.
ACC menilai transparansi tidak sekadar formalitas rilis. Transparansi adalah bukti penghormatan aparat pada publik.
Menurut ACC, kasus korupsi harus ditangani dengan ritme terbuka, karena publik memiliki kepentingan moral dalam alur pendidikan nasional.
Proyek PRPTN Kemendikbudristek disiapkan untuk meningkatkan mutu kampus negeri. Bila proyek sebesar revitalisasi UNM justru terjerat dugaan penyimpangan, wibawa program nasional pun ikut dipertaruhkan.
Publik menunggu langkah tegas. Sampai sekarang belum ada kabar gelar perkara. Belum ada validasi laporan ACC. Belum ada peta jalan penyidikan. Hanya sunyi merayap dari kantor Kejati.
Shan, mahasiswa tadi, menutup percakapan dengan kalimat getir.
“Ilmu selalu memerangi gelap. Tapi kampus harus memulai dulu. Kalau kampus sendiri temaram, siapa lagi sumber terang,” kata Shan.
Kampus menunggu. ACC menunggu. Publik menunggu. Waktu mencatat, tanpa keramaian, tanpa trompet hukum, tanpa pernyataan final.
Perkara revitalisasi UNM terus berjalan pelan, atau mungkin tidak berjalan sama sekali. Tidak ada kepastian.
Kasus revitalisasi UNM Rp87 miliar kini berdiri sebagai cermin rapuh tata kelola pendidikan. Bila aparat memilih diam, publik memilih bertanya.
Bila publik tidak mendapat jawab, rumor tumbuh. Bila rumor tumbuh, lembaga hukum kehilangan wibawa.
Sampai saat ini, bola masih berada di tangan Kejati Sulsel. Publik hanya berharap pintu informasi tidak terus tertutup.
Sebab sunyi, dalam kasus korupsi, selalu berpotensi lebih mematikan daripada bukti.


