- Pemerintah Hawaii membagikan 1.000 kamera dasbor bertenaga AI untuk memantau kondisi jalan, mencatat kerusakan infrastruktur, serta membantu mendeteksi perilaku mengemudi berbahaya.
- Program ini diberi nama Eyes on the Road dan dikembangkan bersama Universitas Hawaii serta perusahaan Blyncsy.
- Setiap kamera terhubung lewat port OBD dan aplikasi NextBase pada ponsel pengemudi. Rekaman diubah menjadi gambar diam oleh sistem Blyncsy sebelum dianalisis oleh model AI.
- Data tersebut digunakan untuk menemukan lubang jalan, kerusakan pagar pembatas, gangguan vegetasi, dan kondisi garis marka.
- Meski menawarkan manfaat keselamatan, sistem ini menyimpan kekurangan AI rentan salah tafsir, aplikasi tidak stabil, koneksi Bluetooth mudah terputus, serta risiko privasi meningkat karena rekaman memuat pelat kendaraan dan wajah warga.
- Secara keseluruhan, Eyes on the Road menjadi upaya modernisasi pemeliharaan infrastruktur Hawaii, namun tetap memicu perdebatan soal akurasi teknis dan batas pengawasan digital.
Tidak ada kelopak, tidak ada denyut nadi, hanya sorotan dingin dari lensa kecil tergantung di kaca depan mobil warga.
Pemerintah menyebutnya perangkat harapan, namun sebagian warga menyebutnya tamu tak diundang dalam perjalanan harian.
Program “Eyes on the Road” hadir tidak sekadar sebagai kebijakan teknis. Di balik angka seribu, tersimpan ambisi besar.
Memetakan setiap jengkal jalan seolah daratan Hawaii berubah menjadi kanvas data.
Dalam sunyi, kamera memetik gambar retakan aspal, benturan pagar pembatas, percikan cahaya pada garis cat memudar, serta gangguan vegetasi merangsek ke bahu jalan.
Namun kisah teknologi tidak pernah sesederhana brosur pemerintah. Di sela algoritma, muncul kecemasan.
Di sela janji keselamatan, muncul ironi kelam. Pada detik ketika kamera mulai merekam, Hawaii memasuki era baru era sorotan tanpa jeda.
Pulau Rasa Diawasi
Distribusi kamera memasuki tiap pulau bagaikan pasukan kecil tanpa seragam. Pulau Besar mendapat 390 unit. Maui beserta gugus kecil meraih 245 unit.
Oahu menerima 250 unit. Sisa 115 unit mendarat di Kauai. Angka tersebar rapi dalam laporan DOT, namun rasa di hati warga justru timpang kehadiran perangkat ini dianggap menjaga sekaligus mengintai.
Setiap kamera terpasang pada mobil relawan, disambungkan lewat port OBD, lalu dipadu aplikasi NextBase dalam ponsel.
Bluetooth mengalirkan komando, mendorong rekaman masuk ke server sebelum Blyncsy mengubah video menjadi gambar diam. Mesin pembelajaran memadatkan tiap potongan visual menjadi laporan bagi otoritas.
Namun di balik seluruh proses itu, muncul lapisan ketidakpastian. AI tidak pernah memahami aroma laut, warna senja, atau pantulan hujan pada kaca.
Lensa hanya menangkap bentuk, garis, kontras. Ketika cahaya melengkung di aspal basah, AI besar kemungkinan salah menduga.
Lubang palsu muncul, retakan semu terdeteksi, gangguan vegetasi terbaca berlebihan.
Pemerintah memang menambah tim pengawas manual, semacam pagar moral agar keputusan perbaikan tidak tergelincir oleh ilusi data.
Namun rasa aman itu rapuh. Teknologi dalam proyek ini selalu menyimpan sisi tak terduga.
Ritme Pemeliharaan Data
DOT menyalin harapan ke dalam ritme baru. Inspeksi pagar pembatas dilakukan setiap dua belas jam. Gangguan vegetasi dipantau setiap minggu.
Inventarisasi rambu dilakukan setahun sekali menggunakan masukan dashcam. Visibilitas garis diteliti rutin agar tabrakan dapat ditekan.
Semua jadwal tersebut seperti mantra birokrasi modern, mengalir bersama data. Tidak ada jeda.
Tidak ada diam. Jalan raya berubah menjadi pasien dalam pengawasan intensif, selalu dianalisis, selalu dipantau, selalu ditimbang dalam grafik.
Namun dunia nyata tidak tunduk pada ritme seragam. Hujan tiba-tiba, kabut turun cepat, pasir pantai menempel pada lensa, sinyal internet tersendat di lembah Kauai.
Data terhambat, laporan tidak lengkap, interpretasi menjadi lusuh. Meski begitu, otoritas tetap percaya pada proyek ini.
Kepercayaan itu ibarat lampu sorot dalam kabut terang, namun tidak mampu menembus seluruh badai tersebut.
Salah satu bab paling satir datang dari poin partisipasi warga. Relawan tidak hanya meminjamkan kaca depan.
Mereka memegang akses pada umpan rekaman, lalu dapat melaporkan perilaku sembrono dalam hitungan detik.
Aplikasi mencatat klip, menyalurkan ke penegak hukum, seolah mobil berubah menjadi pos pengawasan bergerak.
Dalam teori, langkah ini membantu menekan amarah di jalan. Namun dalam praktik, muncul tekanan sosial. Rekaman menciptakan rasa serba diawasi.
Pengemudi kerap menahan gerak spontan, takut terseret laporan dari relawan tanpa wajah.
Dalam ruang publik sempit seperti pulau kecil, konflik antar warga dapat tumbuh hanya karena satu klip pendek.
Di satu sisi, kamera mencatat agresi berbahaya. Di sisi lain, kamera menciptakan kecanggungan, seolah setiap kendaraan memikul beban moral tambahan.
Dalam narasi teknokratis, sistem ini disebut solusi. Namun dalam kehidupan sehari-hari, sistem ini memicu bisik-bisik tidak nyaman.
Kelam Kecerdasan Buatan
AI dalam proyek ini bukan entitas sempurna. Sistem pembelajaran mencatat pola aspal, kondisi cat, dahan pohon.
Namun tidak mampu membedakan pantulan matahari dari kerusakan serius. Data mentah masuk ke server, lalu mesin menilai tanpa pengalaman empati.
Di sinilah satire mengambil tempatnya. Teknologi didewakan sebagai penolong, padahal rapuh. AI bukan penjaga, melainkan pelayan data.
Kamera tidak memahami perasaan pengemudi ketika menepi, tidak memahami erangan ban pada jalan lembap, tidak memahami percikan kerikil pada bodi mobil.
Dashcam NextBase pun menyimpan kerentanan teknis. Aplikasi kerap macet, sambungan Bluetooth terputus, port OBD tidak konsisten, unggahan terhenti saat sinyal seluler padam.
Dalam momen genting, rekaman hilang begitu saja. Sistem otomatis tidak pernah memberi jaminan, hanya menawarkan proses tanpa janji.
Saat laporan dikumpulkan, sering muncul hasil melenceng. Pinggiran rumput terbaca sebagai halangan besar.
Bayangan tiang lampu terbaca sebagai retakan signifikan. Mesin tidak mengenal konteks.
Program tetap melaju. Namun kesan kelam menempel pada setiap pembaruan. Seribu mata dalam satu jaringan tetap tidak mampu menangkap esensi manusia.
Jalan raya Hawaii menyajikan pemandangan indah, tetapi AI hanya melihat garis dan objek.
Dalam diskusi publik, isu privasi mencuat pelan namun konsisten. Rekaman jalan memuat wajah pejalan, pelat kendaraan, aktivitas harian warga.
Pemerintah menyatakan fokus pada kondisi fisik. Namun persepsi warga berbeda. Rasa diawasi menembus jendela, masuk ke ruang batin, membuat gerak sehari-hari terasa terbelah antara kenyamanan dan kewaspadaan.
Beberapa warga khawatir rekaman dapat disalahgunakan. Pertanyaan tidak terucap bergema ke mana data pergi?
Siapa memegang akses? Berapa lama disimpan? Jawaban belum tuntas. Dalam narasi investigasi, kamera selalu hadir sebagai simbol kekuasaan.
Seribu lensa pada akhirnya bukan sekadar perangkat, melainkan tanda bahwa kontrol digital semakin mendekat ke ruang personal.
Kekurangan Produk (Dashcam NextBase + Sistem AI Blyncsy)
1. Koneksi Bluetooth rapuh
Rekaman rentan terputus saat sinyal lemah atau perangkat ponsel sibuk.
2. Aplikasi NextBase tidak stabil
Aplikasi sering menutup sendiri, membuat rekaman gagal tersimpan.
3. Proses unggahan tergantung sinyal seluler
Area pegunungan Hawaii sering mengalami sinyal lemah, membuat unggahan tertunda.
4. AI mudah salah tafsir
Pantulan cahaya, genangan tipis, atau bayangan pepohonan sering terbaca sebagai kerusakan serius.
5. Port OBD tidak seragam
Beberapa kendaraan tidak cocok dengan adaptor, membuat perangkat sulit dipasang.
6. Risiko privasi besar
Wajah pejalan, pelat mobil, serta aktivitas publik terekam tanpa filter, menambah kecemasan sosial.
Seribu Mata, Seribu Cerita
Program “Eyes on the Road” berdiri sebagai mercusuar modern. Data mengalir, laporan tersusun, rencana perbaikan dilahirkan dari potongan visual.
Namun mercusuar tidak selalu aman. Cahaya besar dapat membutakan mata sendiri. Ambisi pada akhirnya harus diuji oleh realitas jalan raya, realitas manusia, serta realitas privasi.
Seribu mata digital menyusuri pulau-pulau Hawaii. Namun harapan pada teknologi tidak dapat menyingkirkan kerapuhan dasar.
Jalan negeri ini membutuhkan perbaikan, namun perbaikan sejati tetap memerlukan sentuhan tangan manusia, bukan semata algoritma.
Dalam gelora digital, Hawaii berdiri di persimpangan: antara keselamatan dan pengawasan, antara kenyamanan dan kekhawatiran, antara kemajuan dan kehilangan ruang personal.
Seribu kamera menatap lurus. Namun di balik sorotan itu, ada cerita manusia menahan napas, berharap perangkat tidak mengabadikan kesalahan kecil.
Pada akhirnya, teknologi selalu membawa cahaya sekaligus bayang kelam.


