- Bencana banjir besar melanda Aceh memicu krisis operasional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG. Kelangkaan bahan pangan, gas, air bersih, serta listrik memaksa pengelola mengubah strategi. Menu Makan Bergizi Gratis dialihkan ke pangan lokal seperti umbi umbian, kacang kacangan, tahu, tempe, serta ikan budidaya warga.
- Kepala Regional SPPG Badan Gizi Nasional Aceh, Mustafa Kamal, menyebut pasokan pangan lokal masih tersedia di Aceh Barat, Bireuen, dan Pidie. Untuk mengatasi krisis energi, SPPG berencana mengganti gas dengan briket batu bara sambil menunggu pemulihan pasokan.
- Di Kabupaten Bireuen, 19 dari 26 SPPG berhenti beroperasi akibat dampak banjir. Selama masa darurat, 21 SPPG mengalihkan sasaran program dari siswa sekolah ke masyarakat terdampak. Total ratusan ribu paket bantuan disalurkan selama akhir November 2025.
- Krisis ini menegaskan pentingnya ketahanan pangan lokal serta kesiapan energi alternatif dalam menghadapi bencana alam.
Kalimantannews.id, Aceh - Bencana banjir besar melanda Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat. Air naik perlahan lalu mengurung dapur publik.
Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG menghadapi krisis berlapis. Bahan pangan menipis. Gas langka. Air bersih hilang. Listrik tak stabil.
Di balik tumpukan lumpur, para juru masak SPPG tetap berdiri. Mereka berhadapan dengan jam makan ribuan perut.
Program Makan Bergizi Gratis atau MBG tak boleh berhenti total. Kreativitas pun muncul dari keterbatasan.
Kepala Regional SPPG Badan Gizi Nasional Aceh, Mustafa Kamal, membuka fakta lapangan. Ia menyebut perubahan menu menjadi langkah darurat paling masuk akal demi keberlanjutan layanan.
“Kami sedang berupaya untuk mengganti menu dengan menu lokal karena bahan pangan untuk SPPG SPPG ini mengalami kelangkaan,” tutur Mustafa Kamal pada Rabu pagi, 3 Desember 2025.
Asa Menu Lokal Bangkit
Dapur SPPG tak lagi menunggu pasokan luar daerah. Umbi umbian, kacang kacangan, tahu, tempe, serta ikan kolam warga menjadi andalan baru. Pangan lokal terbukti masih tersedia di tengah krisis distribusi.
Mustafa Kamal menjelaskan koordinasi lintas sektor sudah berjalan. Usulan perubahan menu disampaikan agar dapur tetap mengepul.
Ia menegaskan stok pangan lokal masih aman di sejumlah wilayah. Aceh Barat, Bireuen, serta Pidie tercatat memiliki pasokan cukup.
Petani dan pembudidaya ikan lokal ikut terlibat. Rantai pangan pendek terbentuk secara alami.
“Bahan makanan lokal ini tersedia di wilayah Aceh Barat, Bireun, dan Pidie,” tutur Mustafa Kamal merincikan.
Perubahan menu bukan sekadar solusi teknis. Langkah ini memperlihatkan daya lenting masyarakat lokal saat sistem besar terguncang.
Krisis berikutnya datang dari sektor energi. Gas memasak tak lagi tersedia rutin. Distribusi terganggu akibat banjir serta kerusakan infrastruktur.
Waktu tunggu pasokan baru diperkirakan mencapai satu hingga dua bulan. SPPG tak bisa menunggu. Dapur perlu nyala setiap hari.
Koordinasi dilakukan bersama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh. Opsi alternatif pun muncul.
“Kemarin kami sudah bertemu ESDM Aceh yang menawarkan briket batu bara,” kata Mustafa Kamal menjelaskan.
Briket batu bara menjadi pilihan darurat. Bukan solusi ideal, namun cukup menjaga aktivitas dapur tetap hidup.
Adaptasi energi ini memperlihatkan fleksibilitas operasional SPPG di tengah tekanan.
Air Mati Listrik Tersendat
Masalah tak berhenti di bahan bakar. Air bersih ikut langka. Instalasi rusak terendam banjir. Pipa berantakan. PDAM setempat belum mampu memastikan jadwal perbaikan.
Tanpa air bersih, produksi pangan terhambat. Standar higienitas terancam. Sementara itu, aliran listrik naik turun. Banyak jaringan terendam. Mesin dapur sering mati mendadak.
Kondisi ini memaksa sebagian SPPG menghentikan kegiatan. Risiko keamanan pangan terlalu besar bila dipaksakan.
Kabupaten Bireuen menjadi titik paling terdampak. Dari 26 SPPG aktif, sebagian terpaksa berhenti aktivitasnya.
Dilaporkan sebanyak 19 unit menghentikan operasional penuh akibat krisis bahan baku, gas, air bersih, serta listrik.
Temuan lapangan ini juga disampaikan oleh Tim Deputi Pemantauan dan Pengawasan Badan Gizi Nasional.
Tim dipimpin Deputi Tauwas Letjen TNI Purn Dadang Hendrayuda. Mereka turun langsung pada Selasa, 2 Desember 2025.
Laporan lapangan menyebut dua SPPG terdampak langsung sejak awal banjir. Kecamatan Jangka serta Peusangan tercatat sebagai wilayah paling parah.
Sasaran Program Bergeser
Sekolah diliburkan. Program Makan Bergizi Gratis tak lagi menyasar siswa. Fokus dialihkan menuju warga terdampak banjir. Keputusan ini diambil demi urgensi kemanusiaan.
Sebanyak 21 SPPG mengalihkan penerima manfaat. Dapur umum bergerak ke jalur bantuan sosial. Distribusi dilakukan hampir tanpa jeda.
Data penyaluran tercatat rinci. Pada 26 November 2025, sebanyak 62.826 paket bantuan disalurkan. Sehari berikutnya, 30.261 paket dikirim. Tanggal 28 November, distribusi mencapai 37.180 paket.
“Sementara pada 29 November 2025 dikirimkan 38.668 paket bantuan,” ucap Mustafa Kamal dalam laporannya. Angka ini mencerminkan kerja cepat di tengah keterbatasan ekstrem.
SPPG tidak hanya bekerja sendiri saja. Kolaborasi terjalin juga bersama Pemerintah Kabupaten Bireuen.
Lima kendaraan operasional dipinjamkan demi kelancaran distribusi. Armada bergerak menembus genangan.
Tiga mobil distribusi tambahan dikerahkan pada 2 Desember 2025. Bantuan menjangkau titik sulit akses. Relawan, sopir, serta petugas dapur bekerja dalam tekanan waktu.
Namun daya tahan memiliki batas. Stok bahan menipis. Energi tak stabil. Air bersih tak kunjung pulih. SPPG perlahan kelelahan.
Akhirnya keputusan berat diambil. Sebagian besar dapur menghentikan kegiatan. Risiko terlalu besar bila dipaksakan.
“Untuk sementara kami baru dapat melanjutkan operasional hingga hari ini, 3 Desember 2025,” ujar Mustafa Kamal.
Pernyataan itu menutup satu fase krisis. SPPG menunggu pemulihan infrastruktur. Harapan disandarkan pada perbaikan pasokan energi, air, serta distribusi pangan.
Bencana membuka wajah sistem pangan publik. Ketergantungan pada pasokan luar terbukti rapuh. Pangan lokal justru tampil sebagai penyangga utama. Energi alternatif muncul sebagai solusi darurat.
Di balik angka dan laporan, terdapat manusia. Juru masak, relawan, sopir, serta warga terdampak. Mereka berjuang menjaga dapur tetap hidup di tengah lumpur. SPPG Aceh memberi pelajaran berharga.
Ketahanan pangan bukan hanya soal stok, melainkan adaptasi, keberanian mengambil keputusan cepat, serta keberpihakan pada warga paling rentan.



