Kisah lengkap warga Kampung Salamepe, Merauke, yang mengusir operator perusahaan Jhonlin Group karena penggusuran di tanah adat mereka.
Kalimantannews.id, Merauke - Cuaca ekstrem sedang mengaduk langit Merauke siang itu, ketika tanah telah terjaga turun-temurun kembali menghadapi ancaman lama.
Alat berat yang memaksa masuk, seolah adat adalah hiasan yang mudah disingkirkan. Di Kampung Salamepe, Distrik Ngguti, Kabupaten Merauke, warga kembali memikul peran tak pernah mereka minta menjadi penjaga terakhir tanah leluhur.
Mereka tidak mempersiapkan ritual panjang. Mereka tidak merancang strategi. Yang mereka hadapi bukan perundingan meja bundar, melainkan suara menggeram mesin yang menusuk telinga.
Di depan mereka, seorang operator dari Jhonlin Group terus mengarahkan alat berat ke wilayah sudah dipasangi palang sasi adat, tanda larangan paling sakral bisa dipasang sebuah komunitas adat Papua.
Ketika warga mendekat, operator itu berdalih enteng bahwa ia “sekadar mencari sayur.”
Dalih yang membuat getar murka merambat di tubuh warga yang sudah berpuluh tahun menjaga tanahnya dari tipu muslihat sama.
Warga tak bisa lagi menahan kata-kata yang membuncah. “Koe tipu!” teriak salah seorang warga pada Sabtu, 22 November 2025.
Pagar Sasi Dilangkahi
Sasi adat adalah penanda sakral. Ia bukan sekadar larangan, melainkan konstitusi moral yang mengikat seluruh warga komunitas.
Di banyak wilayah adat di Papua, palang sasi sering dibuat dari kayu dipakukan silang, dihias daun kering, diberi tanda merah, dan diposisikan di batas paling sensitif.
Di Salamepe, palang sasi bukan hal muncul tiba-tiba. Ia berdiri karena desa itu lelah melihat pergerakan perusahaan perkebunan seperti tak memahami ruang hidup masyarakat adat.
Mereka memasang palang itu setelah berulang kali menjelaskan batas tanah ulayat kepada pihak perusahaan. Namun, berkali-kali pula batas itu dilupakan.
“Sudah jelas itu palang sasi,” ujar salah satu tetua adat dalam rekaman warga. “Kalau masih dia masuk, berarti dia bilang adat ini tidak ada harga.”
Warga Salamepe bukan baru sekali menghadapi invasi ini. Mereka telah menjalani cerita panjang sama pengukuran sepihak, pembersihan lahan, lalu alasan klasik: pembangunan, investasi, dan kesempatan kerja.
Tidak ada salah dengan pembangunan, kecuali ketika ia melindas hak paling dasar hak sebuah komunitas atas tanah di mana mereka lahir dan disemayamkan.
Hari itu hujan deras mengguyur Merauke sejak pagi. Cuaca ekstrem kian kerap terjadi di Papua Selatan membuat tanah basah dan mudah tergerus.
Namun, alih-alih memberi waktu pada bumi untuk bernapas, mesin-mesin itu justru mencoba masuk terus.
“Ini cuaca lagi rusak begini, masih mau buka tanah,” keluh seorang ibu yang ikut menghadang alat berat.
Masyarakat adat Papua sudah lama memahami ritme tanah. Mereka tahu kapan tanah bisa dibuka, kapan harus dibiarkan pulih, dan kapan hutan harus ditutup.
Sasi adalah instrumen ekologis setua ingatan suku-suku yang hidup dari siklus alam.
Karena itu ketika perusahaan masuk pada saat cuaca ekstrem, warga melihat bukan sekadar pelanggaran adat, melainkan juga ancaman terhadap keseimbangan tanah mereka.
Dalam konteks iklim global semakin tak menentu, ketegangan antara komunitas adat dan korporasi di Papua semakin terasa relevan.
Tanah yang selama berabad-abad menjaga hutan, air, dan udara kini harus menghadapi percepatan industri acap tak peduli pada daya dukung lingkungan.
Kata “Koe tipu” bukan sekadar umpatan. Ia adalah akumulasi sejarah. Sejak era ekspansi perkebunan di Merauke, warga berkali-kali mendengar kalimat-kalimat manis ganti rugi akan dibayar, lahan akan dipetakan bersama, semua proses akan melibatkan masyarakat.
Namun berkali-kali pula kenyataan tak seindah janji. Di banyak tempat, masyarakat adat ditinggalkan tanpa kompensasi layak, tanpa batas lahan jelas, tanpa ruang bicara.
Mereka merasa ditipu ulang, dari generasi ke generasi. Karena itu, ketika operator berdalih sedang “mencari sayur”, warga menyahut tanpa basa-basi.
“Koe tipu.” Kalimat yang merangkum seluruh ingatan pahit atas praktik-praktik perusakan dan penggusuran.
“Kalau dia bilang cari sayur, kenapa bawa alat berat?” tanya seorang pemuda Salamepe.
Pertanyaan itu bukan retorik. Dalam logika masyarakat adat, dalih itu bukan hanya tidak masuk akal melainkan penghinaan terhadap kecerdasan kolektif mereka.
Jejak Panjang Jhonlin Group
Jhonlin Group bukan nama asing dalam isu agraria dan perkebunan di Indonesia. Jejak perusahaan ini kerap terhubung dengan konsesi besar bersinggungan dengan ruang hidup warga.
Di Papua Selatan sendiri, ekspansi perkebunan sawit telah menimbulkan sejumlah konflik lahan di distrik-distrik pedesaan.
Dalam beberapa laporan pemerhati lingkungan dan agraria, konflik agraria di Papua Selatan bersumber dari persoalan klasik.
Tumpang tindih izin, pengabaian batas tanah adat, hingga proses peralihan lahan tidak melibatkan masyarakat secara adil.
Semua itu menjadi latar belakang yang membuat amuk warga Salamepe tak bisa dibaca sebagai peristiwa tunggal.
Masyarakat adat selama puluhan tahun bertahan dengan hukum adat, kini menghadapi realitas baru tanah mereka bisa digusur dalam hitungan jam oleh perusahaan-perusahaan besar.
“Kalau tidak kami hadang sekarang, besok sudah habis semua,” ujar seorang pemuda kepada wartawan lokal.
Dalam logika konflik lahan, setiap menit bisa mengubah nasib satu generasi.
Di balik amuk itu, ada satu lapisan kisah yang lebih sunyi. Anak-anak di Salamepe, yang biasanya bermain di pinggir hutan, hari itu ikut melihat bagaimana orang dewasa menghadang alat berat.
Mereka berdiri di belakang ibu-ibu mereka sambil memegang tangan, tak mengerti mengapa tanah yang biasanya jadi tempat bermain kini dipadati orang dewasa berteriak.
“Ini hutan kami,” kata seorang anak kecil dalam video pendek yang direkam warga. Ia menunjuk ke arah pepohonan yang mulai berkurang.
Anak-anak itu mungkin tidak paham mekanisme HGU, izin konsesi, atau UU Otsus yang sering dijadikan rujukan dalam perdebatan panjang soal tanah adat.
Namun mereka tahu satu hal: hutan adalah rumah. Dan rumah tidak boleh digusur.
Narasi inilah yang membuat kasus Salamepe bukan sekadar konflik perusahaan dengan warga, tetapi bentrokan antara dua cara pandang.
Cara pandang kapital mengukur nilai tanah dari potensi produksi. Cara pandang adat mengukur nilai tanah dari kisah, roh leluhur, dan masa depan generasi.
Dipanggil Berkali-Kali
Salah satu kalimat paling satir yang muncul dari warga hari itu adalah ini.
“Kami ini jadi guru besa’ terus untuk orang perusahaan yang lupa baca tanda larangan.”
Kalimat itu menampar, sekaligus lucu dalam kepedihan. Ia menggambarkan situasi di mana warga berulang kali harus mengajari pihak perusahaan hal paling dasar baca palang, hormati adat, jangan masuk wilayah terlarang.
Tak ada warga yang ingin menjadi guru besar untuk perusahaan. Mereka ingin hidup tenang, bertani, berburu, dan menjalankan adat mereka.
Tetapi ketika perusahaan terus datang, mereka mau tidak mau harus mengulang pelajaran yang sama.
“Besok-besok kalau datang lagi, kami ajar lagi,” kata seorang ibu sambil tersenyum getir.
Bukan Hanya Tanah, Tapi Martabat
Untuk masyarakat adat Papua, pertahanan tanah ulayat bukan hanya soal fisik. Bukan hanya tanah dan pohon.
Ia adalah martabat leluhur, sistem nilai, dan seluruh tatanan sosial yang menjadikan komunitas itu tetap utuh.
Karena itu, amuk warga Salamepe bukan amuk liar. Ia adalah amuk yang berakar pada ketidakadilan struktural, pengabaian hak adat, kerusakan ekologis, serta ketidakseimbangan kekuasaan.
Dalam konflik semacam ini, yang kerap kalah suara adalah mereka yang paling dekat dengan tanah itu sendiri.
Ketika alat berat akhirnya mundur, warga Salamepe tidak bersorak. Mereka hanya berdiri, menatap tanah becek oleh hujan dan jejak roda.
Mereka sadar bahwa kemenangan hari itu hanyalah satu bab kecil dari pertarungan panjang belum selesai.
Esok atau lusa, alat berat bisa datang lagi. Dalih bisa berubah. Strategi bisa diperhalus. Janji bisa dipoles.
Namun palang sasi akan selalu berdiri, sebagai simbol bahwa tanah ini bukan tanah kosong. Ia hidup, dijaga, dan diwariskan.
Sebab, warga Salamepe akan kembali berkata, bila ancaman itu muncul lagi, “Koe tipu!”
Kalimat pendek yang, bagi mereka, adalah pagar pertama sebelum pagar adat runtuh.

