Mengenal Sosok Damianus Nadu, Penjaga Tengkawang Menyelamatkan Rimba Dayak Bengkayang Kalbar - Kalimantannews.id

Mengenal Sosok Damianus Nadu, Penjaga Tengkawang Menyelamatkan Rimba Dayak Bengkayang Kalbar

Mengenal Sosok Damianus Nadu, Penjaga Tengkawang Menyelamatkan Rimba Dayak Bengkayang Kalbar
Mengenal Sosok Damianus Nadu, Penjaga Tengkawang Menyelamatkan Rimba Dayak Bengkayang Kalbar
  • Tetua Hutan Adat Pikul, Damianus Nadu, di Bengkayang memimpin pelestarian pohon tengkawang tanaman sakral masyarakat Dayak menjadi sumber ekonomi baru desa.

  • Hutan dikukuhkan lewat SK KLHK tahun 2018 ini menyimpan 99 jenis pohon langka dan menjadi ruang hidup warga sekaligus pusat konservasi.

  • Pelestarian dilakukan tanpa menebang pohon, warga hanya memanfaatkan buahnya. Program kelembagaan, perlindungan pohon, dan pemasaran diperkuat melalui pelatihan dan dukungan TFCA Kalimantan dan Yayasan KEHATI.

  • Melalui dukungan TFCA Kalimantan dan Yayasan KEHATI, desa membangun sentra pengolahan tengkawang mampu memproduksi 100–150 kg per hari, meningkatkan efisiensi dan pendapatan warga.

  • Produksi 2024 mencapai 1,2 ton. Teknologi pengolahan, manajemen pemasaran, dan pelatihan kelompok ibu-ibu memperkuat ekonomi desa tanpa merusak hutan. 

  • Damianus Nadu menegaskan pentingnya penjagaan hutan sebagai warisan leluhur: “Menjaga tengkawang berarti menjaga jejak para leluhur agar tak hilang.”

Kalimantannews.id, Bengkayang - Nama itu begitu pelan ketika disebut, tetapi gema kisahnya memanjang jauh melampaui batas desa.

Damianus Nadu, lelaki 65 tahun wajahnya selalu tampak tenang, seolah ia menyimpan seluruh riwayat hutan dalam batinnya.

Ketika sekelompok tamu dari lembaga lingkungan datang ke wilayahnya, ia menyambut mereka dengan senyum yang perlahan goyah, sebuah senyum ditopang rasa syukur sekaligus harapan.

“Tidak pernah juga saya sangka, buah ini bisa menghidupi kami,” ucapnya kemudian, matanya berkaca-kaca.

Sebagai Ketua Koperasi sekaligus Tetua Hutan Adat Pikul, Damianus bukan sekadar tuan rumah bagi kunjungan itu; ia adalah penjaga kearifan rimba.

Sentra buah tengkawang di desanya kini menjadi contoh pengelolaan hasil hutan berkelanjutan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Di balik pencapaian itu, ada juga kisah soal panjang antara manusia dan pohon, antara adat dan kelestarian.

Rimba Menyimpan Nama

Sesekali, di sela percakapan, Damianus Nadu menatap lebatnya hutan yang terbentang di belakang rumahnya.

Hutan itu dulu bernama Pangajid, sebelum berubah menjadi Hutan Adat Pikul pada tahun 2018 yang silam itu.

“Tahun itu, nama kami dikukuhkan lewat SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1300/MENLHK-PSKL/PKYHA/PSL.1/3/2018,” ujarnya mengenang, sembari memetik sehelai daun yang jatuh dari pohon meranti.

Namun sejarahnya jauh lebih tua. Pada 15 Oktober 2002, wilayah seluas 100 hektare ini sudah ditetapkan melalui SK Bupati Nomor 131 Tahun 2002. 

Di bawah tegakan tengkawang dan meranti, ada 99 jenis pohon langka yang tumbuh tanpa lelah, sebuah laboratorium alami diwariskan para leluhur.

Di situlah, di pangkuan rimba itu, Damianus dibesarkan. Di situlah pula ia menerima pengetahuan tak tertulis bahwa setiap pohon memiliki roh penjaga, dan setiap buah tengkawang adalah titipan.

Pohon Keramat Ekologis

Dalam adat Dayak, pohon tengkawang bukan sekadar sumber pangan. Ia adalah penjaga moral, penanda musim, dan ruh upacara adat. 

“Kalau ada yang menebang, hukum adat menunggu. Berat,” ucapnya tegas. Kalimat itu meluncur seperti doa, seperti mantra diwariskan puluhan generasi.

Di sela percakapan, ia menunjuk ke arah satu pohon tinggi yang menjulang dengan keteduhan nyaris suci.

“Kami tahu nilai tengkawang, tapi jangan sampai ia tinggal kenangan,” tuturnya, suaranya melembut mengingatkan halus.

Dulu, buah tengkawang hanya dipakai untuk kebutuhan rumah tangga minyak masak, upacara adat, atau barter dengan kampung lain. Namun kini, buah itu merambah dunia baru dunia ekonomi modern.

Dari Rimba ke Meja Dunia: Lahirnya Sentra Tengkawang

Sejak pada 2022, Desa Sahan, khususnya Dusun Melayang, memiliki sentra pengolahan buah tengkawang.

Bukan sembarang fasilitas. Ini adalah buah dari dukungan program TFCA Kalimantan yang dikelola Yayasan KEHATI.
Mengenal Sosok Damianus Nadu, Penjaga Tengkawang Menyelamatkan Rimba Dayak Bengkayang Kalbar
Dalam kunjungan lapangan dilakukan jajaran Direksi KEHATI, mereka melihat langsung bagaimana buah dulu dianggap remeh kini menjadi penopang ekonomi desa.

Menurut laporan koperasi, pada tahun 2024 mereka berhasil mengumpulkan 1,2 ton biji tengkawang kering. Kapasitas produksi pun mencapai 100–150 kilogram per hari selama musim panen.

Ada mesin pengepres. Ada ruang pengering. Tak lupa, ada gudang penyimpanan semua melaju dalam harmoni. 

Teknologi baru bahkan meningkatkan efisiensi produksi sebesar 40 persen dibandingkan metode tradisional. 

Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan jembatan antara hutan lestari dan dapur keluarga yang kembali berasap.

“Kami ingin melihat bagaimana intervensi program bisa memberikan manfaat ganda menjaga hutan sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat,” ujar Ketua Umum Pengurus Yayasan KEHATI, Riki Frindos.

Perempuan, Mesin Press, dan Kelahiran Ekonomi Baru

Pabrik mini itu dikelola kelompok ibu-ibu dan bapak-bapak desa. Para perempuan kini memegang peranan penting menyortir biji.

Juga memastikan tingkat kekeringan, hingga mengolah minyak akan dijual untuk kebutuhan kosmetik dan makanan.

“Ada olahan tengkawang untuk kosmetik dan makanan. Buahnya saja yang kami manfaatkan,” jelas Damianus Nadu.
Mengenal Sosok Damianus Nadu, Penjaga Tengkawang Menyelamatkan Rimba Dayak Bengkayang Kalbar
Di sudut pabrik, suara mesin pres minyak mendesis halus, seolah menandai babak baru ekonomi desa. 

Setiap tetes minyak tengkawang mengingatkan mereka pada pohon yang menyimpan memori ratusan tahun.

Bibit Adalah Janji

Kesadaran ekologis bukan hanya soal memanen, ia juga tentang mengembalikan. Warga Hutan Adat Pikul tahu betul hal itu.

Mereka terus menanam kembali tengkawang setiap musim hujan. Bahkan bibitnya dibagi ke kecamatan lain.

“Bulan lalu ada yang datang ambil bibit,” kata Damianus Nadu sambil membersihkan semak di sekitar batang pohon.

Tangannya lincah, seperti tangan seseorang yang sudah puluhan tahun bercakap-cakap dengan tanah.

Setiap bibit adalah janji. Setiap bibit adalah investasi ekologis. Damianus tahu, hutan tidak diturunkan dari leluhur ia dipinjam dari anak cucu.

Teknologi Bertemu Tradisi

Di balik pelestarian tengkawang, TFCA Kalimantan menyertakan tiga fokus kelembagaan, pemasaran, dan perlindungan pohon.

“Prinsipnya, pemanfaatan tengkawang harus tetap menjaga kelestarian hutan dan regenerasi pohonnya,” ujar Direktur Program TFCA Kalimantan, Puspa Dewi Liman.

Konsep itu mungkin terdengar teknis. Namun bagi Damianus, semua kembali pada satu kalimat. “Kami hanya pakai buahnya, bukan merusak pohonnya.”

Inilah garis batas yang tidak boleh dilewati. Modernisasi boleh masuk mesin, teknologi, pasar online, tetapi akar budaya tidak boleh tercabut.

Jalan Sunyi Melawan Perubahan Iklim

Pemerintah setempat mendukung penuh usaha ini. Tidak hanya membuka jalur pemasaran, tetapi juga menyiapkan pelatihan bagi warga mulai dari manajemen koperasi hingga pengemasan produk layak ekspor.

Di tengah kecemasan global soal perubahan iklim, Hutan Adat Pikul menjadi penegas bahwa desa bukan sekadar korban, melainkan pemain penting.

Konservasi tidak harus diukur dari skala besar; ia juga hadir dalam kerja-kerja kecil yang setia, yang dilakukan warga pedalaman.

Petang hampir jatuh ketika Damianus menatap rimba yang berubah warna menjadi keemasan.  Pohon tengkawang setinggi 40 meter menjulang seperti altar. Di bawahnya, ia berdiri dengan tenang.

Ia kembali mengulang kalimat yang menjadi inti hidupnya “Menjaga tengkawang berarti menjaga jejak para leluhur agar tak hilang ditelan zaman.”

Ia mengucapkannya tanpa tremor, tanpa jeda, seolah kalimat itu sudah menempel sejak kecil di ujung lidahnya.
Mengenal Sosok Damianus Nadu, Penjaga Tengkawang Menyelamatkan Rimba Dayak Bengkayang Kalbar
Hutan, dalam pandangannya itu, bukan cuma habitat semata. Ia adalah kitab suci yang tidak boleh dibakar.

Di dekat akar pohon keramat itu, Damianus Nadu berdiri seperti penjaga terakhir dunia lama dunia tak ingin menyerah pada deru modernitas.

Kini sentra tengkawang menjadi ruang harapan. Anak-anak desa mulai bertanya dengan mata ingin tahu apa itu mesin press, bagaimana minyak tengkawang bisa masuk pabrik kosmetik.

Mereka menyaksikan sendiri bagaimana buah yang jatuh dari pohon menjadi uang sekolah, menjadi listrik, menjadi makanan di meja.

Hutan Adat Pikul, kini tidak hanya menjadi wilayah konservasi, tetapi laboratorium masa depan lebih gemilang. 

Di sinilah konsep keberlanjutan tidak berhenti di seminar. Ia hidup, ia bernafas, ia punya wajah. Wajah itu, Damianus Nadu.

Formulir Kontak