Apa Itu Keadilan Iklim? Iman Digadaikan di Meja COP30! Muram Bumi Mengeluh - Kalimantannews.id

Apa Itu Keadilan Iklim? Iman Digadaikan di Meja COP30! Muram Bumi Mengeluh

Apa Itu Keadilan Iklim? Iman Digadaikan di Meja COP30! Muram Bumi Mengeluh
Apa Itu Keadilan Iklim? Iman Digadaikan di Meja COP30! Muram Bumi Mengeluh
  • GreenFaith Indonesia menilai COP30 di Belem, Brasil, gagal memberikan arah tegas penghentian energi fosil.

  • Forum yang semestinya menyelamatkan bumi justru dibanjiri lebih dari 1.600 pelobi industri fosil, memperkuat dominasi paradigma bisnis seperti biasa-biasa saja.

  • Indonesia turut disorot setelah menerima Fossil of The Day karena memasukkan pelobi fosil dalam delegasi resmi.

  • Sebagai negara kepulauan rentan, Indonesia menghadapi dampak krisis iklim: 5.416 desa pesisir tenggelam (2017–2020), ribuan nelayan meninggal akibat cuaca ekstrem, serta meningkatnya pengungsi iklim.

  • Namun regulasi seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan SNDC dinilai membuka ruang ekspansi energi fosil dan deforestasi ugal-ugalan masif.

Kalimantannews.id, Jakarta - Iklim retak iman. Di bawah terik planet semakin mendidih, kata yang dulu hanya muncul dalam film fiksi ilmiah dunia pulang dari COP30 di Belem, Brasil, dengan kantong penuh jargon hati kosong arah. 

Bumi, tampaknya juga kembali menjadi komoditas yang dijual-belikan dalam ruang perundingan ber-AC.

Sementara itu, GreenFaith Indonesia datang membawa pesan lirih namun tajam iman semestinya berpihak pada keadilan iklim, bukan pada logika bisnis terus tumbuh di atas puing-puing ekologi.

Dalam kertas posisi bertajuk “Iman untuk Keadilan Iklim” yang dirilis Senin, 24 November 2025, GreenFaith Indonesia menilai COP30 tak lebih dari panggung megah gagal memberi arah tegas untuk mengakhiri ketergantungan pada energi fosil.

Mereka menuliskan dengan getir bahwa lebih dari 1.600 pelobi industri fosil diberi akses luas ke ruang perundingan “Rasio satu pelobi dalam setiap 25 peserta memperlihatkan betapa krisis kini diperdagangkan, bukan dipulihkan.”

COP30 dulu diharapkan menjadi penanda era baru penyelematan bumi, justru tampak seperti sebuah festival dimana masa depan planet ini dipertaruhkan seperti barang lelang.
Apa Itu Keadilan Iklim? Iman Digadaikan di Meja COP30! Muram Bumi Mengeluh
Di satu sisi, delegasi negara-negara rentan membawa cerita banjir, tanah retak, kampung tenggelam.

Di sisi lain, pelobi-pelobi berjas rapi membawa presentasi penuh grafik manis membenarkan keberlanjutan bisnis seperti biasa. Hasilnya? Bumi tetap menjadi angka dalam spreadsheet.

Dalam panggung global itu, ternyata negara Indonesia kebagian sorotan tak menyenangkan Fossil of The Day.

Penghargaan jauh dari membanggakan ini diberikan oleh Climate Action Network International sebagai kritik keras terhadap masuknya pelobi industri fosil dalam delegasi resmi Indonesia.

GreenFaith Indonesia menyebut langkah ini sebagai “pengkhianatan terhadap nasib jutaan rakyat kini hidup dalam ancaman bencana ekologis berulang.”

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia seharusnya berada di garis depan pertempuran moral menyelamatkan bumi.

Tetapi kenyataan berkata sebaliknya. Data WALHI menunjukkan 5.416 desa pesisir tenggelam pada 2017-2020 akibat banjir rob.

Ribuan nelayan meninggal tiap tahun dihantam cuaca ekstrem. Sementara itu, kekeringan panjang menyergap desa-desa di Jawa, NTT, dan Sulawesi.

Bencana tidak lagi bersifat “kejadian luar biasa” ia kini adalah kalender rutin saja. Bahkan seperti hajatan tahunan.

Namun, di tengah lonceng bahaya itu, sejumlah regulasi nasional justru membuka jalan luas bagi ekspansi energi fosil dan deforestasi.

Revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, serta penyusunan SNDC baru dipandang membuka karpet merah bagi eksploitasi alam.

Bahkan, konsesi pertambangan dapat diberikan kepada ormas keagamaan sebuah ironi antara nilai spiritualitas dan nafsu ekstraktivisme.

“Paradigma yang dominan masih ‘bisnis seperti biasa’,” tulis GreenFaith. “Padahal bumi tidak bisa lagi menanggungnya.”

Di banyak daerah, masyarakat adat, nelayan, dan petani adalah saksi paling jujur tentang bagaimana regulasi itu menciptakan luka ekologis baru.

Laut yang dulu tenang kini berubah menjadi ladang badai. Hutan yang dulu menyimpan suara burung kini datar, berganti suara mesin.

Negara yang seharusnya menjadi rumah, kadang justru menjadi pihak yang mengurangi ruang hidup warganya sendiri.

Bukan Doa Hilang

GreenFaith Indonesia datang membawa bingkai berbeda krisis iklim bukan hanya persoalan ilmiah, ekonomi, atau pembangunan.

Ia adalah persoalan moral dan spiritual. Krisis lahir dari cara pandang manusia menempatkan dirinya sebagai pusat, sebagai pemilik mutlak bumi. 
Padahal, dalam banyak ajaran agama, manusia disebut sebagai penjaga bukan penguasa alam semesta.

“Jika iman hanya diam saat bumi dirampas, maka ia kehilangan makna,” tegas GreenFaith dalam kertas posisi itu.

Dalam konteks COP30, mereka mengajukan empat sikap utama:

1. Keadilan bagi yang Rentan

Kelompok miskin, masyarakat pesisir, nelayan, masyarakat adat, dan anak-anak adalah pertama dan paling keras merasakan dampak krisis. Kebijakan nasional harus berpihak pada adaptasi dan mitigasi menyentuh langsung mereka. Skema loss and damage harus sederhana, bukan terjebak dalam birokrasi lembaga keuangan internasional.

2. Transisi Energi Berkeadilan

Transisi tidak boleh menjadi kamuflase. GreenFaith menolak “transisi semu” yang masih menggantungkan diri pada gas, biomassa PLTU, dan eksploitasi nikel tanpa kontrol. Transisi sejati harus bersih, terbarukan, dan tidak merampas ruang hidup masyarakat.

3. Partisipasi Komunitas Berbasis Iman

Komunitas lintas agama memiliki kedudukan moral dan sosial yang kuat. Mereka mampu menggerakkan perubahan gaya hidup ekologis, konsumsi bijak, serta solidaritas terhadap korban krisis. Iman, dalam hal ini, bukan sekadar ritual, tetapi kompas etis.

4. Etika dan Spiritualitas dalam Kebijakan Publik

GreenFaith menegaskan, keputusan politik dan ekonomi tak bisa hanya dilihat melalui kaca mata keuntungan ekonomi. Keutuhan ciptaan, keberlanjutan alam, dan hak generasi mendatang harus menjadi dasar.

Di sinilah letak masalah itu yang paling kuat bahwa krisis iklim bukan hanya tentang angka, tetapi tentang manusia kehilangan tanah kelahiran.

Tentang rumah tenggelam tanpa jejak, tentang anak-anak berjalan di tengah udara berdebu, dan tentang nelayan kembali hanya membawa gelombang.

Potret Luka Tak Selesai

Bencana banjir rob di pesisir Jawa menciptakan generasi baru pengungsi iklim orang-orang tidak pindah karena perang. 

Tetapi karena laut datang tanpa mengetuk pintu. Di Demak, Jawa Tengah, jalan desa berubah menjadi sungai kecil ketika air pasang.

Anak-anak pergi sekolah dengan sepatu basah, sementara orang tua menambal dinding rumah retak setiap musim berubah.

Di Pulau Kalimantan, hutan yang dulu menjadi ibu bagi masyarakat Adat Dayak kini berubah menjadi jalan tambang, hutan tanaman industri, hingga perkebunan kelapa sawit.

Udara yang dulu penuh wangi tanah basah kini diganti aroma debu. Sungai yang dulu jernih kini memantulkan warna kecoklatan.

Di dunia semakin panas, manusia sebenarnya ingin hal sederhana, rumah aman, udara bisa dihirup, tanah tidak bergerak di bawah kaki.

Tapi para pembuat kebijakan di panggung internasional tampaknya punya agenda berbeda.

Iman Menjadi Ruang Perlawanan

GreenFaith Indonesia bukan sekadar organisasi lingkungan. Ia adalah jembatan antara spiritualitas dan aktivisme.

Di tengah kemacetan regulasi, mereka mengetuk pintu moral. Bahwa iman harus menjadi kekuatan menolak kerusakan, bukan membenarkannya.

Selama tiga tahun terakhir, gerakan lintas iman ini aktif membangun pendidikan ekologis di akar rumput, melatih anak muda lintas agama.

Juga mengampanyekan transisi energi berkeadilan. Framework mereka sederhana tapi radikal alam adalah amanah, bukan properti.
Apa Itu Keadilan Iklim? Iman Digadaikan di Meja COP30! Muram Bumi Mengeluh
GreenFaith menekankan pentingnya memasukkan literasi ekologis ke pendidikan nasional.

Generasi mendatang, katanya, berhak atas masa depan yang tidak dibakar oleh kerakusan ekonomi hari ini.

Ini bukan lagi sekadar kritik. Ini adalah pengingat keras bahwa krisis iklim adalah penghakiman moral terhadap manusia hari ini.

Sebab, jika iman tidak berdiri di sisi yang benar, kita semua sedang kehilangan kompas dan kehilangan bumi pada saat sama.

Bumi Tidak Butuh Janji

COP30 mungkin telah usai, tetapi narasi global belum berubah. Bumi masih diperlakukan sebagai komoditas. 

Manusia masih terjebak dalam logika pertumbuhan tanpa batas saja di sebuah planet yang jelas punya batas.

Di tengah semua itu, kasus terbesar justru ada pada kita sendiri bahwa kita tahu bumi sedang sekarat, tapi kita tetap menunggu kesepakatan global tak kunjung datang.

GreenFaith Indonesia mengingatkan satu hal yang sulit dibantah. “Jika iman hanya diam saat bumi dirampas, maka ia kehilangan makna.”

Dalam keheningan bumi yang menghangat, kalimat itu terdengar seperti doa terakhir atau mungkin peringatan terakhir.

Formulir Kontak