Kalimantannews.id, Pulau Kalimantan - Bayar demi otak. Awal yang ironi. Apple, sang raja inovasi, kini seolah menunduk di depan Google.
Bukan karena kalah pasar, tapi karena kalah otak buatan. Siri, si asisten pintar dulu jadi ikon kecerdasan, kini harus belajar lagi dari rival lamanya.
Bloomberg menulis, kesepakatan senilai USD 1 miliar per tahun sedang disusun. Angka terdengar megah, tapi terasa seperti uang sekolah mahal untuk anak gagal naik kelas.
Apple akan menggunakan AI Gemini milik Google sebagai tenaga baru di balik suara Siri.
Asa Langkah Menunduk
Dulu, Apple dikenal mandiri. Semua dibuat sendiri, dirancang dengan ego yang mulia: “Think Different.”
Kini, slogan itu terdengar seperti kenangan di museum Cupertino. Model AI kustom Google memiliki 1,2 triliun parameter, delapan kali lipat lebih kompleks dari milik Apple.
Sementara Siri saat ini hanya mengandalkan 150 miliar parameter terasa kecil, seperti otak magang di dunia superkomputer.
Google bukan sekadar mitra; dia kini adalah guru privat bagi Siri. Apple tampak sadar diri: dunia AI bergerak terlalu cepat.
Daripada kalah di kelas inovasi, mereka memilih untuk “menyontek sementara.” Langkah pragmatis, tapi bagi penggemar sejati Apple, ini terasa seperti menghapus sejarah.
Kita masih ingat, Siri lahir tahun 2011 sebagai mahkota iPhone 4s. Ia berbicara dengan gaya khas, menjawab, bercanda, dan terkadang sarkastik.
Namun seiring waktu, Siri menjadi seperti pegawai tua di perusahaan muda ramah tapi ketinggalan zaman.
Kini Apple berharap, dengan Gemini di baliknya, Siri bisa lahir kembali. Apakah ini kebangkitan, atau sekadar kebingungan yang dibungkus inovasi?
Apple sempat menguji model AI dari OpenAI dan Anthropic sebelum jatuh ke pelukan Google. Ketiganya diuji, dibandingkan, dan akhirnya hanya Gemini yang membuat Siri “terpesona.”
Namun keputusan ini membawa aroma yang ganjil—karena dua pesaing AI lain itu justru kini menjadi mitra Microsoft dan Amazon.
Artinya, dalam lanskap besar AI dunia, Apple tampak seperti siswa terakhir yang baru mencari guru les saja.
Langkah ini boleh jadi cerdas secara bisnis, tapi secara filosofi, Apple kehilangan narasi “mandiri dan visioner.”
Karena, di dunia teknologi, kehilangan narasi sama berbahayanya dengan kehilangan pasar.
Inovasi Apple dulu bukan sekadar teknologi; ia adalah perasaan. Orang membeli iPhone bukan karena spesifikasi, tapi karena sensasi “saya berbeda.”
Namun kini, rasa itu perlahan menguap di bawah sinar lampu Google. Siri yang baru, dengan AI Gemini, mungkin akan lebih pintar.
Tapi siapa yang berbicara lewatnya nanti Apple atau Google? Sebuah pertanyaan identitas yang menggelitik, tapi juga menakutkan.
Dalam dunia AI, data adalah jiwa. Ketika jiwa Siri ditiupkan oleh Google, apakah Apple masih bisa disebut sebagai pencipta?
Atau hanya sekadar penyewa kecerdasan? Google Gemini memang menggoda. Dengan 1,2 triliun parameter, ia mampu memahami konteks yang kompleks, menulis, menerjemahkan, hingga membuat lelucon.
Gemini bukan hanya mesin, ia adalah semesta data yang hidup dan berdenyut. Tapi Apple membeli sesuatu yang lebih mahal dari kode yakni kebebasan berpikir.
Membayar USD 1 miliar per tahun untuk otak pinjaman adalah bentuk pengakuan paling jujur dari kelelahan inovasi.
Seolah Cupertino kini jadi kampus besar tanpa dosen tetap. Apple berjanji Siri versi baru akan diluncurkan musim semi mendatang.
Tapi “baru” tidak selalu berarti “lebih baik.” Kadang, pembaruan hanya topeng dari penyesuaian yang terlambat.
Siri dengan Gemini mungkin bisa menganalisis percakapan lebih dalam, menulis pesan otomatis, bahkan membuat ringkasan berita.
Namun, ada rasa kehilangan ketika kecerdasan buatan itu bukan buatan sendiri. Bagi penggemar lama Apple, ini seperti melihat Mona Lisa direstorasi oleh pelukis dari brand sebelah.
Harga Sebuah Otak
Di dunia bisnis, angka bicara jujur. USD 1 miliar per tahun bukan sekadar kerja sama itu pernikahan logika dengan kehilangan ego.
Apple, seangkuh apapun, kini harus merayakan resepsi bersama musuh lamanya. Namun, langkah ini juga menunjukkan sisi manusiawi dari mesin raksasa itu.
Apple belajar untuk kalah, untuk belajar lagi, untuk menunduk pada kenyataan bahwa tidak semua bisa mereka cipta sendiri.
Sebuah pelajaran mahal tentang kerendahan hati di era algoritma. Dari sisi teknis, langkah ini masuk akal.
Apple butuh AI sekuat Gemini untuk mengimbangi ChatGPT, Copilot, dan Claude. Namun dari sisi identitas merek, langkah ini seperti menukar mahkota dengan sertifikat kursus.
Kelemahan utama Siri selama ini adalah ketertinggalan dalam konteks percakapan dan personalisasi. Ia cepat lelah, lambat memahami, dan sering kali gagal menyesuaikan emosi pengguna.
Apple tampak menyadari hal itu, tapi solusi dengan menyewa otak Google bukanlah kemenangan melainkan kompromi.
Ada juga isu etika data yang mengintai. Ketika dua raksasa ini berbagi ruang, siapa yang memiliki potongan percakapan pengguna?
Di era privasi yang semakin rapuh, kerja sama ini bisa jadi medan ranjau kepercayaan.
Sungguh ironis, dua nama yang dulu bersaing di medan peta dan pencarian, kini berbagi napas dalam satu asisten.
Apple Maps dulu menantang Google Maps, Safari melawan Chrome, iCloud menantang Drive.
Kini, Siri malah belajar bicara dengan logika Gemini. Persaingan telah berubah jadi simbiosis aneh seperti dua musuh lama yang menikah demi bertahan hidup di dunia baru.
Dunia AI tak lagi soal gengsi, tapi tentang siapa yang punya model terbesar dan data terbanyak.
Apple, mau tidak mau, harus menelan kenyataan pahit itu. Ketika Steve Jobs dulu memperkenalkan iPhone, dunia berhenti sejenak.
Kini, ketika Tim Cook menandatangani kontrak dengan Google, dunia hanya mengangguk pelan.
Bukan karena kagum, tapi karena paham Apple sudah berubah. Dalam setiap kemajuan teknologi, selalu ada cerita kehilangan.
Kali ini, yang hilang adalah identitas, bukan fitur. Siri akan lebih cepat, lebih pintar, tapi mungkin tak lagi punya jiwa Apple.
Di sanalah satire terindah teknologi kadang, untuk tetap relevan, bahkan raksasa pun harus menjadi murid lagi.
Siri akan segera bersuara lagi, lebih cerdas dan luwes. Tapi di balik suara barunya, ada gema halus dari Google yang berbisik.
Sebuah pengingat bahwa bahkan inovasi tertinggi bisa jatuh, lalu belajar lagi dari bawah.
Apple mungkin akan berkata ini langkah strategis. Namun bagi banyak orang, ini adalah bab baru tentang bagaimana idealisme berpadu dengan pragmatisme.
Bahwa di dunia kecerdasan buatan, bahkan yang paling pintar pun kadang perlu diajari cara berpikir ulang.
