Kaliantannews.id, Pontianak - Di tengah hiruk-pikuk digitalisasi, karya kreatif lahir seperti embun pagi indah, segar, tapi mudah menguap.
Di Kalimantan Barat, tangan-tangan muda mencipta lagu daerah yang menggema, desain digital futuristik, inovasi pariwisata berbasis lokal, hingga resep kopi yang bikin lidah menari.
Namun, tanpa perlindungan hukum, semua itu rentan dicuri, dijiplak, bahkan diklaim sebagai milik asing.
“Banyak karya yang luar biasa lahir dari tangan-tangan anak muda kita, namun belum memiliki perlindungan legal, sehingga rawan ditiru, dijiplak, bahkan diklaim pihak lain,” kata Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Kadisporapar) Kalimantan Barat, Windy Prihastari dalam pembukaan Oktober HAKI di Hotel Orchardz Ayani Pontianak, Oktober 2025.
Ini bukan sekadar peringatan. Ini jeritan dari seorang birokrat telah mengantongi 10 sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dari Mars Kalbar hingga inovasi digital pariwisata. Ia tak hanya bicara. Ia membuktikan.
HAKI Bukan Pilihan, Tapi Senjata Ekraf
Dalam dunia ekonomi kreatif, ide adalah aset. Lebih berharga dari emas, lebih tajam dari pedang. Tapi tanpa HAKI, aset itu telanjang di tengah pasar bebas.
Windy Prihastari menyadari, banyak pelaku ekraf di Kalbar masih menganggap HAKI sebagai urusan “hukum yang rumit”, “birokrasi yang berbelit”, atau “hanya untuk orang kaya”.
Padahal, HAKI adalah benteng pertama sebelum karyamu dijual, dipamerkan, atau diunggah ke media sosial.
“Di era digital, ide bukan sekadar pemikiran. Ia aset bernilai ekonomi tinggi,” tegas Windy Prihastari soal itu.
Melalui kolaborasi dengan Kanwil Kemenkumham Kalimantan Barat, Disporapar tak hanya mensosialisasikan HAKI, tapi juga mendampingi langsung proses pendaftarannya.
Ini langkah revolusioner. Bukan lagi teori di atas panggung, tapi aksi di meja kerja. Tanpa lelah, tanpa ungkitan.
Oktober HAKI hadir sebagai bagian dari rangkaian Hari Ekonomi Kreatif Nasional, bersama dua program lain Apresiasi Karya Kreasi (untuk seni pertunjukan dan perfilman) dan Oktober Barista (bimtek dan sertifikasi profesi).
Tiga pilar yang saling menguatkan: kreativitas, legalitas, dan profesionalisme.
Kalbar Bisa, Asal Tak Takut Daftar
Windy Prihastari tak hanya bicara sebagai pejabat. Ia berdiri sebagai pelaku ekraf yang telah melindungi karyanya.
Mars Kalbar dan Hymne Kalbar dua karya musik yang memperkuat identitas provinsi kini aman secara hukum. Tak bisa sembarang orang mengklaimnya sebagai milik daerah tetangga.
Tapi mimpi itu tak akan jadi nyata jika pelaku ekraf masih diam. Masih takut biaya. Masih malas urus dokumen. Masih percaya “yang penting berkarya, urusan hak belakangan”.
Padahal, HAKI adalah fondasi. Tanpa fondasi, gedung kreatifmu bisa runtuh hanya karena satu akun TikTok mengklaim lagu daerahmu sebagai “original sound” miliknya.
"Di bumi Kalbar ini, kami yakin tersimpan mutiara ekonomi kreatif yang begitu berharga," Windy Prihastari menjelaskan.
"Andai setiap karya dan inovasi yang lahir dari rahim tanah ini mendapat perlindungan HAKI, niscaya akan lahir sebuah ekosistem kreatif yang tangguh, mandiri, dan mampu berdiri tegak di antara bangsa-bangsa," ucapnya sorot mata berbinar-binar bagai membawa seluruh asa negeri.
Kalimantan Barat punya ribuan ide brilian yang lahir setiap hari. Tapi ide tanpa perlindungan hukum adalah seperti bunga di gurun indah sejenak, lalu lenyap ditelan angin.
Jangan biarkan karyamu jadi kenangan yang dicuri. Daftar HAKI. Lindungi. Miliki. Wariskan adabi kekal selamanya.
Ini sebelum generasi mendatang hanya cuma sekadar bisa bertanya-tanya saja soal “Ini asli dari mana, sih?.
