Tiga Tahun Harapan Beku, Franky Harlindong Minta Kapolda Sulawesi Selatan Buka Segera Kasus Penipuan Online Terlupakan - Kalimantannews.id

Tiga Tahun Harapan Beku, Franky Harlindong Minta Kapolda Sulawesi Selatan Buka Segera Kasus Penipuan Online Terlupakan

Tiga Tahun Harapan Beku, Franky Harlindong Minta Kapolda Sulawesi Selatan Buka Segera Kasus Penipuan Online Terlupakan
Tiga Tahun Harapan Beku, Franky Harlindong Minta Kapolda Sulawesi Selatan Buka Segera Kasus Penipuan Online Terlupakan
Tiga Tahun Menunggu, Franky Harlindong dan Sunyi Keadilan di Balik Kasus Online Mandek di Sulawesi Selatan

Kalimantannews.id, Kota Makassar Sulawesi Selatan - Bayangan panjang penantian melelahkan. Tiga tahun bukan waktu singkat bagi seorang warga bernama Franky Harlindong sejak Desember 2021 menggenggam selembar laporan polisi bukti formal dari sebuah harapan pada hukum.

Namun, hingga 2025 ini, laporan dugaan penipuan online yang ia buat di Polda Sulawesi Selatan masih berdebu di rak berkas.

“Sudah tiga tahun saya menunggu. Kami hanya ingin keadilan dan kepastian hukum,” ucap Franky Harlindong, suaranya tenang tapi matanya bicara banyak hari ini.

Kasus ia laporkan bukan perkara besar, tapi juga bukan cerita kecil. Di balik akun Facebook dan pesan WhatsApp, ia ditipu oleh seseorang bernama Sitti Sulaeha, nama yang kini hanya bergaung dalam nomor laporan STTLP/B/432/XII/2021/SPKT/POLDA SULSEL.

Diterima oleh AKP Abd. Samad, S.H., M.H., laporan itu mestinya menjadi awal dari pengusutan. Tapi realitasnya, malah menjadi perjalanan panjang tanpa ujung.

Barang Bukti Tak Pernah Disentuh

Dalam dunia siber, bukti digital adalah napas penyidikan. Tapi Franky justru menyaksikan bagaimana napas itu tersendat.

Ia juga mengaku bahwa penyidik lebih berfokus pada ponsel atau telepon seluer miliknya ketimbang milik terlapor.

“Tidak ada satu pun barang milik tersangka yang disita. Telepon genggam, akun, maupun email yang dipakai untuk menipu tidak disentuh penyidik,” kata Franky Harlindong getir.

Ia juga menilai, kalau soal perihal langkah penyidik seperti memadamkan api tapi meniup abu ke arah korban.

Franky Harlindong bahkan khawatir menyerahkan ponselnya karena tidak ada jaminan tanggung jawab bila rusak.

Maka jadilah situasi absurd pelapor diminta menyerahkan alat bukti, sementara pelaku bebas dari penyitaan.

Di balik layar, berkas perkara disebut beberapa kali dikembalikan oleh jaksa penuntut umum (P19) karena “belum lengkap.”

Tapi bagi Franky Harlindong, yang sudah menunggu bertahun-tahun, “belum lengkap” terdengar seperti dalih sudah kehilangan makna.

“Kasus ini bersifat elektronik dan memerlukan bukti digital. Kalau barang bukti pelaku saja tidak disita, bagaimana kebenaran bisa terungkap?” ujar Franky Harlindong, separuh tanya, separuh lelah.

Harapan kadang adalah satu-satunya harta tersisa bagi korban. Maka, ketika Polda Sulsel kini dipimpin pejabat baru, Franky Harlindong menaruh doa di sana.

“Setelah lebih dari tiga tahun tanpa perkembangan, saya berharap Kapolda Sulsel yang baru memberi perhatian,” kata Franky Harlindong.

Baginya, keadilan bukan hanya soal hukum, tapi soal kemanusiaan tentang bagaimana negara hadir melindungi rakyatnya dari jebakan kejahatan digital. 

Apalagi, korban kasus ini bukan hanya satu. “Saksi dan korban dalam laporan ini lebih dari sepuluh orang. 

Dengan suara bergetar penuh beban, Franky Harlindong berucap, "Seharusnya kasus ini sudah lama sampai di meja hijau, bukan teronggok dalam lemari besi berdebu."

Tak hanya itu, dengan sisa keyakinan masih tersisa di relung hatinya, ia pun memohon, bukan sekadar meminta, evaluasi tulus dan menyeluruh terhadap setiap prosedur penanganan kasus siber.

Ini bukan tentang satu kasus semata, melainkan tentang memulihkan secercah kepercayaan mulai retak di hati masyarakat.

Jika tidak, kepada siapa lagi rakyat kecil harus menyandarkan harapannya, ketika pelindung diandalkan justru membiarkan lara mereka berlarut tanpa kepastian?

Sebab dalam diam, rasa percaya bisa menguap pelan-pelan, seperti tinta laporan yang mulai pudar di arsip kantor.

Ribetnya Prosedur Birokrasi

Sementara dari sisi aparat, Kanit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sulawesi Selatan, Komisaris Polisi Iqbal, menyampaikan bahwa penyidikan telah berjalan sesuai prosedur.

Dia mengklaim, berkas perkara sudah dikirim ke kejaksaan dan telah ditindaklanjuti. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda kehidupan.

Namun, jaksa memberikan petunjuk (P19) untuk melengkapi bukti terutama dengan penyitaan ponsel yang dimiliki pelapor.

“Sebagaimana berkas yang kami terima dari pejabat sebelumnya, penyidikan terkendala karena pelapor tidak bersedia menyerahkan barang bukti (HP),” kata Iqbal diplomatis.

Baginya, hukum adalah proses. Tapi bagi korban, hukum adalah kehidupan yang tertunda tanpa ada kejelasan.

Petunjuk jaksa meminta penyitaan barang bukti seolah menegaskan bahwa sistem masih berjalan hanya saja, lambat, berbelit, dan kadang kehilangan rasa empati.

Sunyi Hukum di Era Digital

Kasus Franky Harlindong membuka wajah getir dari penegakan hukum digital di Indonesia pelapor menjadi korban bisa ikut terjebak dalam labirin birokrasi.

Di era di mana data bisa dikloning dan identitas bisa diretas, justru penanganan perkara siber seringkali masih berlogika analog lambat, manual, dan tidak responsif terhadap urgensi bukti digital.

Undang-Undang ITE seharusnya menjadi pedang bagi korban, kadang justru terasa tumpul di tangan penyidik tidak peka terhadap konteks digital.

Dalam banyak kasus, barang bukti siber tidak ditangani secara forensik modern, dan laporan publik tersimpan dalam folder keheningan.

Franky Harlindong hanyalah satu dari sekian banyak warga menatap layar ponsel dengan getir menunggu pesan keadilan tak kunjung masuk.

Kapolda baru Sulawesi Selatan kini dihadapkan pada ujian kepercayaan publik. Membuka kembali kasus Franky Harlindong bukan hanya perkara administrasi, tapi soal moral dan tanggung jawab.

Bila keadilan di dunia maya terus ditunda, maka dunia nyata pun akan kehilangan rasa aman di kala beperkara.

Luka Belum Kering

Tiga tahun lamanya menunggu bukan sekadar hitungan waktu itu adalah luka yang ditulis dengan kesabaran.

Di mata Franky Harlindong, laporan polisi bukan lagi sekadar surat, tapi janj janji negara untuk tidak membiarkan warganya ditipu dan ditinggalkan.

Kini, Franky Harlindong masih berharap, mungkin dengan nada yang mulai serak, agar Kapolda baru menepati janji itu.

“Yang kami minta cuma satu,” ucapnya pelan, “agar hukum benar-benar berpihak pada yang benar.”

Di luar ruang publik, di antara arsip dan berkas menumpuk, suara kecil itu masih menggema. Membumi juga membekas.

Mungkin tak terdengar keras, tapi setiap kata terucap adalah bentuk perlawanan terhadap sunyi diciptakan oleh sistem itu sendiri.

Formulir Kontak