Kasus penyitaan mobil pengepul di Kota Makassar Sulawesi Selatan membuka ironi penegakan hukum, saat tipiring berubah jadi drama korea panjang berseri-seri.
Kalimantannews.id, Kota Makassar Sulawesi Selatan - Di lorong hukum yang sering berliku, kisah Alimuddin terasa getir.
Seorang pengepul barang rongsokan di Kota Makassar Provinsi Sulawesei mendadak menjadi nama dalam berkas perkara.
Mobilnya, Suzuki APV putih, disita. Bukan karena ia membakar gedung, bukan pula karena ia mencuri. Tapi karena besi bekas pagar DPRD yang dibelinya seharga Rp50 ribu.
Polrestabes Makassar menyatukan kasus kecil ini dengan perkara besar: pencurian dan pembakaran gedung DPRD Kota Makassar.
Namun di mata hukum, ada batas tipis antara “barang bukti” dan “keadilan yang keliru alamat” soal perkara itu
Ironi Tipiring Terlupakan
“Ini seharusnya diproses sebagai tindak pidana ringan, bukan acara biasa,” ujar akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus, Makassar, Jermias Rarsina pada Selasa, 28 Oktober 2025.
Nada suaranya tegas namun getir, seperti menegur sistem yang lupa membaca Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012.
Perma itu jelas, jika nilai kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta, maka perkara wajib diproses lewat jalur tindak pidana ringan (tipiring) dengan acara cepat, bukan mekanisme penyidikan dan penuntutan panjang yang bisa menua bersama waktu.
“Sekalipun seseorang diduga melakukan perbuatan pidana, hukum tidak boleh ditempuh lewat jalur biasa,” ucapanya mengingatkan.
Ia menjelaskan runtut, berkas perkara seharusnya langsung dilimpahkan ke pengadilan, tanpa menunggu kejaksaan, tanpa penahanan.
Dalam tiga hari, tersangka sudah harus disidang. Dalam sepuluh hari, sudah keluar putusan. Aneh bin ajaib saja itu kasus.
“Makanya disebut acara cepat,” Jermias menegaskan lagi. Tapi rupanya, di tangan penegak hukum, cepat bisa berubah menjadi lambat, ringan berubah jadi beban.
Asas Hukum Terbalik
Di tengah riuh jargon Restorative Justice dan Presisi, asas dasar hukum pidana justru tampak menepi geen straf zonder schuld tidak ada hukuman tanpa kesalahan.
Alimuddin, lelaki sederhana hidup dari besi tua, tidak terbukti mencuri. Ia hanya membeli barang rongsokan seharga Rp50 ribu. Nilainya bahkan lebih kecil dari harga makan siang di kafe pejabat.
“Kesalahannya terbatas pada membeli besi bekas. Tidak bisa disamakan dengan pelaku pencurian,” kata Jermias mengingatkan.
Tapi hukum, ketika diterapkan tanpa empati, sering kali seperti mesin yang tak mengenal perasaan. Mobil Alimuddin disita. Dua bulan sudah ia tidak bisa bekerja.
“Sudah hampir dua bulan mobilku disita. Saya cuma harap bisa dipinjam pakai,” ujarnya dengan suara pasrah.
Itu satu-satunya mobil untuk mengangkut rongsokan urat nadi hidup keluarganya. Sopirnya, Irsan Hafid, hanya menunduk. Ia tidak tahu pagar itu dari gedung DPRD.
“Hanya disuruh jemput, ditimbang, dikasih uang bensin,” lirihnya. Kini, dua lelaki kecil itu terseret dalam pusaran hukum yang terasa terlalu besar bagi mereka.
Keadilan Salah Jalan
Jermias kembali menyoroti langkah Polrestabes yang menyatukan berkas penyitaan mobil dengan perkara utama.
“Penyitaan mobilnya sah, tapi tidak boleh disatukan dengan perkara pokok. Harus terpisah melalui mekanisme tipiring,” tegasnya.
Tindakan penyidik yang mencampur dua hal berbeda ini bukan sekadar keliru administratif, tapi juga mencederai prinsip proporsionalitas hukum.
Jika tidak hati-hati, hukum bisa menjadi monster yang melahap orang kecil tanpa ampun, tanpa absen sama sekali.
“Kalau nilai kerugiannya di bawah Rp2,5 juta, Perma sudah jelas. Harus acara cepat. Kalau ini berbulan-bulan dan disatukan dengan kasus lain, patut dipertanyakan mekanismenya,” tegas Jermias lagi, seperti menulis catatan di dinding keadilan yang mulai retak.
Kisah Alimuddin adalah cermin betapa hukum di negeri ini sering terasa seperti pementasan sangat absurd.
Perkara kecil diseret dalam jalur besar, sementara perkara besar sering lenyap dalam kabut kompromi di negeri konona ini.
Alimuddin bukan kriminal. Ia hanya manusia kecil yang terselip di antara lembar-lembar peraturan yang dibaca setengah hati.
Ia bahkan tak paham apa itu Perma Nomor 2 Tahun 2012. Yang ia tahu hanyalah satu hal, tanpa mobilnya, dapurnya dingin, anaknya tak makan, dan harapan terasa seperti besi karatan di halaman rumah.
“Ini bukan soal membela pelaku,” tutup Jermias, “tapi memastikan hukum berjalan di relnya. Keadilan itu bukan hanya menghukum, tapi menegakkan prosedur dengan benar.”
Kasus ini, sekilas tampak sepele. Hanya mobil putih, hanya Rp50 ribu, hanya besi tua, tapi dianggap perkara atensi pimpinan pusat.
Namun di balik angka kecil itu, tersimpan ironi besar hukum yang gagal membedakan antara niat jahat dan kesalahan administratif.
Polrestabes Makassar mungkin sekadar menjalankan prosedur, tapi hukum bukanlah mesin. Ia butuh nalar, empati, dan keadilan substantif.
Ketika aturan dipatuhi tanpa rasa, hukum berubah jadi ritual tanpa makna. Di sudut-sudut Makassar, mungkin ada lebih banyak Alimuddin lain bekerja dari pagi sampai malam, hanya untuk tersandung aturan dibaca setengah kalimat.
Hingga berita ini ditulis, Polrestabes Makassar Sulawesi Selatan belum memberi keterangan resmi ikhwa kasus ini.
Mobil Alimuddin masih tertahan, hidupnya pun ikut terhenti di antara pasal dan prosedur menjelimet antah berantah.
Di balik berita ini, terngiang pertanyaan tak lekang. Jika hukum seharusnya cepat untuk ringan, mengapa ia menjadi lambat hanya karena pelakunya rakyat kecil?
Mungkin, karena keadilan di negeri ini masih sering memilih jalan berat, terutama bagi mereka tak punya apa-apa selain doa.
