SUNGAI SEKADAU KALIMANTAN BARAT MENANGIS! APH Malah Sibuk Main Emas! Bukan Tegakkan Hukum - Kalimantannews.id

SUNGAI SEKADAU KALIMANTAN BARAT MENANGIS! APH Malah Sibuk Main Emas! Bukan Tegakkan Hukum

SUNGAI SEKADAU KALIMANTAN BARAT MENANGIS! APH Malah Sibuk Main Emas! Bukan Tegakkan Hukum

Sungai Sekadau berubah jadi lumpur akibat PETI. Warga menangis, hukum diam. APH diduga bermain, emas mengalir, keadilan tenggelam di dasar sungai Kalimantan Barat.
Kalimantannnews.id, Sekadau - Di tepi Sungai Sekadau, seorang lelaki tua duduk termenung. Matanya lembab, bibirnya kering, dan air matanya jatuh ke tanah berlumpur seolah menyatu dengan air sungai yang kini berwarna cokelat pekat.

Dulu, air itu jernih. Anak-anak mandi, nelayan menebar jala, dan suara tawa menggema dari tepi ke tepi. Kini, semuanya tinggal kenangan.

Sungai Sekadau, Kalimantan Barat, bukan sekadar aliran air. Ia adalah urat nadi kehidupan ribuan warga di Nanga Mahap, dari Desa Tembaga hingga Lembah Beringin. 

Namun beberapa bulan terakhir, sungai itu menjadi kubangan lumpur. Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) marak.

Rakitan mesin berdengung siang malam. Tanah dikoyak, air dicemari, dan ikan mati tanpa sempat melawan.

Warga bercerita, warna air berubah jadi kecokelatan hingga ke hilir. Hasil uji sederhana menunjukkan kadar pH air sudah tidak layak digunakan bahkan untuk mandi atau mencuci.

Mereka takut, tapi juga pasrah. Karena sungai yang dulu jadi sumber kehidupan, kini berubah menjadi sumber penyakit.

“Dulu kami mandi di sungai, ambil air langsung untuk masak. Sekarang airnya seperti lumpur, ikan di keramba pun mati semua,” tutur warga Desa Batu Pahat, lirih.

Video tentang sungai keruh itu sempat viral di media sosial tanpa jedah. Tapi setelah viral, semuanya sunyi lagi.

Pemerintah setempat belum tampak turun. Polisi? Hanya diam, seperti arus yang kehilangan arah tanpa ada aksi sama sekali.

Ironi Emas Ilegal

Ada rahasia yang mengendap di balik lumpur itu. Di atas permukaannya, warga hanya melihat air cokelat. Tapi di bawah, mengalir emas dan di atasnya, mengalir uang.

Kegiatan PETI di Nanga Mahap Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat ini disebut-sebut sudah melibatkan lebih dari 500 unit mesin tambang.

Mesin-mesin itu beroperasi tanpa izin, tapi seolah mendapat perlindungan tak kasatmata. Nama-nama oknum aparat beredar pelan dari warung kopi ke warung kopi. 

Orang-orang menyebutnya dengan nada takut, karena mereka tahu: hukum di sini sudah kehilangan taringnya.

“Kegiatan PETI selalu berlindung di balik aparat penegak hukum. Sehingga tidak pernah berhenti, meskipun diadakan tindakan," kata praktisi hukum Kalbar, Sudirman.

"Karena adanya oknum APH yang juga bermain,” tegas Sudirman, praktisi hukum Kalimantan Barat ini lebih lanjut.

Kalimat itu mengguncang, tapi juga mencerminkan kenyataan getir. APH atau Aparat Penegak Hukum yang seharusnya menjadi perisai keadilan. 

Ini justru diduga ikut bermain di dalam kubangan emas ilegal. Mereka tak sekadar menutup mata, tapi mungkin ikut mencelupkan tangan.

Sementara itu, warga semakin resah. Mereka kehilangan sumber air bersih. Sungai yang dulu bisa diminum kini berbau minyak dan logam.

Anak-anak mulai mengeluh gatal, dan ikan di keramba membusuk tanpa bisa dijual kemana-mana ini juga masalah besar.

“Kami hanya ingin hidup normal, tidak minta kaya. Tapi tolonglah, jangan matikan sungai kami,” pinta seorang ibu di sana, matanya basah menatap air keruh yang dulu ia gunakan untuk mencuci pakaian anak-anaknya.

Setiap suara warga seperti tenggelam di arus birokrasi dan permainan kepentingan. Di Sekadau Kalimantan Barat, hukum berjalan di tempat, sementara tambang ilegal melaju tanpa rem.

Hukum Tumpul Kebawah

Ironisnya, ketika video viral, bukan penegakan hukum yang muncul melainkan kabar bahwa oknum Kapolsek setempat diduga main mata. 

Warga setempat menyebut, setiap kali ada operasi, aktivitas PETI seolah berhenti sejenak, lalu berlanjut lagi seolah tak terjadi apa-apa.

Di pinggir sungai, nelayan masih menebar jaring, walau tahu hasilnya nihil. Anak-anak masih berlari di lumpur, meski kulit mereka mulai gatal.

Dan aparat? Masih getol menggelar rapat, masih berbicara tentang “koordinasi”, “tahapan”, dan “evaluasi”.

Kata-kata yang indah di atas kertas, tapi tak pernah menyentuh air yang berubah jadi racun yang siap mematikan.

“Sungai kami dulu tempat mencari makan, sekarang tempat kami menangis,” kata bapak tua itu dengan suara parau.

APH atau yang disangkat aparat penegak hukum ini disebut-sebut tahu semua lokasi tambang, tapi tak ada tindakan nyata. 

Sementara itu, emas tetap mengalir keluar desa. Dalam setiap bijihnya, terselip nama-nama yang tak mau disebut.

Sekadau seperti sedang diuji antara uang dan nurani, siapa yang menang? Dan kini, warga tahu jawabannya.

APH Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat diduga bermain di kasus ini. Bermain dengan sunyi, dengan dalih hukum yang lentur, dengan ketulusan warga yang masih percaya pada keadilan.

Tapi keadilan itu kini tampak seperti ikan di keramba mereka mati perlahan, mengapung tanpa daya sama sekali.

Lumpur yang Bersaksi

Jika hukum terus membisu, maka sungai sendiri yang akan bersaksi. Air yang dulu bening kini menjadi saksi dari permainan manusia yang menukar moral dengan emas.

Kalimantan Barat, tanah kaya yang selalu menjadi korban kerakusan terus menerus tanpa absen sama sekali itu.

Dari satu sungai ke sungai lain, dari satu aparat ke aparat lain seolah sejarah berulang dalam siklus yang sama tambang, pencemaran, penyangkalan.

Sungai Sekadau menjerit. Ia membawa cerita rakyat kecil yang suaranya tak sampai ke gedung megah pemerintah.

Lelaki di tepi sungai itu bukan sekadar simbol kesedihan, tapi wajah Indonesia di cermin lumpur: berduka tapi diam, marah tapi takut, tahu tapi tak berdaya.

“Kami bukan penambang. Kami hanya ingin air yang bisa kami minum lagi,” ucap seorang ibu, menggenggam botol berisi air keruh, memperlihatkannya pada kamera ponsel.

Sungai Sekadau kini menunggu keberanian. Bukan dari warga yang lelah, tapi dari negara yang semestinya berdiri di depan mereka.

Karena kalau hukum terus kalah, maka alam sendiri yang akan menghukum dengan cara yang lebih kejam, lebih senyap, dan tak bisa dilawan siapa pun.

Di tepi sungai itu, lelaki tua tadi masih duduk. Air matanya menetes lagi, kali ini tak hanya karena kesedihan.

Tapi juga karena ia tahu di negeri ini, yang bermain bukan hanya tambang, tapi juga hati nurani yang dijual murah di pasar kekuasaan.

Jeritan Tak Didengar

Kisah Sungai Sekadau bukan hanya soal tambang emas ilegal. Ini adalah kisah manusia melawan sistem yang beku, kisah alam melawan birokrasi yang tuli.

Di sinilah letak tragedinya: ketika hukum dijual, alam yang membayar, ketika keadilan dipermainkan, rakyat yang menangis.

APH bermain di kasus ini, dan sungai menjadi saksinya. Bukan hanya air yang berubah warna, tapi juga hati nurani manusia yang mulai keruh.

Jika negara tak segera bertindak, maka suatu hari, lumpur Sungai Sekadau akan menelan bukan hanya ikan, tapi juga nama baik penegakan hukum di negeri ini.

Formulir Kontak