
Di sanalah, Kejaksaan Negeri Kapuas Hulu mulai mengulik sesuatu yang selama ini bersembunyi di bawah tumpukan berkas dugaan korupsi pengadaan obat-obatan dan bahan medis tahun anggaran 2023.
Tak ada sirene. Tak ada gebrakan tiba-tiba. Hanya surat panggilan yang diam-diam meluncur ke meja beberapa pihak terkait, meminta mereka datang, membawa dokumen, dan menjawab pertanyaan yang mungkin sudah lama terpendam.
“Ini baru penyelidikan awal,” ujar salah satu sumber di lingkaran hukum Kejari, pelan tapi pasti. “Kami ingin menelusuri apakah ada penyimpangan dalam belanja obat dan bahan medis di Dinas Kesehatan Kapuas Hulu.”
Surat perintah itu jelas Nomor PRINT-01/0.1.16/Fd.1/05/2025 tertanggal 7 Mei 2025.
Bagi sebagian orang, itu hanya kombinasi angka. Tapi bagi masyarakat kecil di pedalaman yang bergantung pada puskesmas yang kosong stoknya, angka itu adalah harapan terakhir agar keadilan benar-benar bisa menyehatkan negeri.
Luka Lama, Bau Lama
Bagi warga Kapuas Hulu, kabar dugaan korupsi di Dinas Kesehatan bukan hal baru.
Tahun 2020, kasus pengadaan incinerator alat pembakar limbah medis sempat menggema di telinga publik. Kala itu, banyak yang bertanya kenapa alat itu tidak pernah berfungsi seperti yang dijanjikan?
Kini, lima tahun berselang, pertanyaan serupa muncul lagi. Bedanya, kali ini bukan alat, tapi obat-obatan yang diduga ikut “sakit” karena permainan anggaran.
Mungkin di berkas-berkas itu terselip harga yang dinaikkan, jumlah yang dibesar-besarkan, atau kualitas barang yang dipertanyakan.
Namun yang lebih menyakitkan, bukan angka-angka itu, melainkan kenyataan bahwa rakyat yang seharusnya disembuhkan justru makin terpuruk.
“Kalau obat di puskesmas sering kosong, itu sudah biasa,” ujar seorang warga Desa Hulu Gurung, yang menolak disebut namanya. “Kadang disuruh beli sendiri di apotek, padahal kami jauh dari kota.”
Ia tertawa getir, menatap anaknya yang masih batuk panjang di kursi bambu. Obat seharusnya menyembuhkan. Tapi di Kapuas Hulu, obat berubah menjadi simbol luka lama yang tak kunjung sembuh.
Kejaksaan Negeri Kapuas Hulu kini tengah menyisir detail. Dalam tahap penyelidikan, para pihak dipanggil untuk dimintai keterangan dan membawa dokumen penting.
Sebuah proses panjang yang, dalam dunia hukum, bisa mengarah ke dua arah: terbukti, atau kembali hilang dalam kabut birokrasi.
Namun masyarakat tahu, korupsi di sektor kesehatan bukan sekadar pelanggaran hukum itu pengkhianatan terhadap nyawa.
Di banyak daerah, setiap rupiah anggaran obat yang digelapkan bisa berarti satu pasien yang tak tertolong.
Setiap bahan medis yang tak sampai ke puskesmas bisa berarti satu ibu yang melahirkan tanpa alat steril.
Setiap permainan harga bisa berarti kematian yang disembunyikan di balik lembar laporan pertanggungjawaban.
Sisi Lain Dinas Kesehatan
Dalam setiap dugaan korupsi, ada wajah-wajah yang gelisah: pegawai yang setia, pejabat yang berhati dua, dan rakyat yang hanya bisa berdoa.
“Pengadaan barang dan bahan medis itu kompleks,” ujar seorang sumber internal di Dinas Kesehatan yang tak mau disebutkan namanya. “Tapi kalau ada yang bermain di situ, biasanya jejaknya pasti kelihatan di laporan meski tipis.”
Tipis, seperti sisa obat cair yang tersisa di botol yang sudah lama terbuka. Tipis, seperti garis moral yang nyaris pudar di dunia birokrasi daerah.
Di Kapuas Hulu, rumor tentang proyek kesehatan yang tak transparan bukan hal asing.
Dari pengadaan alat, hingga dana insentif tenaga medis yang sering telat cair, semua seperti menjadi ritual tahunan tanpa penyembuhan.
Namun kali ini, Kejaksaan tampak serius. “Semua pihak diminta kerja sama,” ujar pejabat Kejari yang dikonfirmasi. “Kami tidak ingin kasus ini tenggelam seperti sebelumnya.”
Hening di Balik Berkas
Setiap berkas yang dikumpulkan kini seperti fragmen tubuh negara yang sedang sakit: penuh catatan, coretan, dan tanda tangan yang mungkin menyembunyikan dosa anggaran.
Tapi di balik tumpukan dokumen itu, ada sesuatu yang lebih berharga: kepercayaan publik.
Kapuas Hulu bukan hanya sebuah kabupaten di tepian perbatasan Kalimantan Barat—ia adalah potret kecil dari bagaimana negara mengelola kesehatannya sendiri.
Jika uang untuk obat pun bisa dipermainkan, maka apa yang tersisa dari arti pelayanan publik?
Di ruang sunyi Kejari, penyidik menelusuri bukti. Di ruang yang sama, masyarakat menunggu dengan cemas, dengan sabar, dengan harapan kecil yang mungkin sudah berkali-kali dikhianati.
Korupsi Tak Pernah Selesai
Kasus dugaan korupsi di Dinas Kesehatan Kapuas Hulu hanyalah sepotong mozaik dari penyakit kronis bernama penyalahgunaan anggaran.
Dari kota besar hingga pelosok pedalaman, pola yang sama terus berulang laporan dipoles, anggaran disulap, rakyat menanggung akibat.
Padahal di atas kertas, anggaran 2023 untuk pengadaan obat dan bahan medis itu diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat bukan kesejahteraan pribadi.
Bagi Kejaksaan, inilah saatnya menyalakan lampu di ruang yang lama gelap. Bagi masyarakat, inilah waktu untuk bertanya.
Berapa lama lagi kita harus menunggu keadilan yang tak sakit-sakitan? Keadilan bukan hanya soal menghukum. Keadilan seharusnya menyembuhkan seperti obat yang bekerja pelan, tapi pasti.
Kejaksaan Negeri Kapuas Hulu kini memegang resepnya: bukti, keterangan, dan tekad.
Jika kasus ini terbukti, publik berharap proses hukum berjalan transparan, tanpa tebang pilih. Karena di balik setiap rupiah yang hilang, ada denyut kehidupan yang ikut berhenti.
Mungkin benar, penyelidikan ini baru awal. Tapi setiap awal adalah kesempatan untuk memperbaiki sejarah.
Dan di Kapuas Hulu, sejarah itu sedang ditulis dengan tinta kesabaran rakyat kecil yang tak pernah lelah berharap.
Sore itu, di tepi Sungai Kapuas, seorang ibu muda membawa anaknya ke puskesmas.
“Maaf, Bu. Obatnya belum datang,” ujar petugas dengan wajah lelah. Kalimat itu terdengar biasa, tapi di dalamnya tersimpan sakit yang sistemik.
Selama pengadaan masih menjadi ladang bancakan, selama obat menjadi barang mewah, dan selama hukum hanya menggonggong tanpa menggigit, maka penyakit korupsi ini tak akan sembuh.
Tapi setidaknya, langkah Kejaksaan kali ini membuka kembali luka lama yang selama ini disembunyikan dengan plester bernama “administrasi”.
Semoga dari Kapuas Hulu, negeri ini belajar satu hal, obat terbaik untuk bangsa yang sakit adalah kejujuran.