
Kalimatannews.id, Melawi - Dalam dunia pemberitaan kriminal, kecepatan informasi seringkali mengalahkan akurasi.
Kasus terbaru yang melibatkan oknum anggota Polres Melawi, berinisial MG, menjadi bukti nyata bagaimana narasi "penggerebekan spektakuler" dapat dengan mudah membanjiri ruang digital, sebelum versi resmi dari institusi berwenang sempat diklarifikasi.
Berita ini bukan sekadar laporan penangkapan, melainkan sebuah studi kasus tentang komunikasi krisis, transparansi penegakan hukum, dan upaya meluruskan disinformasi.
Gelombang pemberitaan awal mengenai "penggerebekan 5 kilogram sabu-sabu di Asrama Polres Melawi" memicu kehebohan publik.
Narasi ini menciptakan kesan aksi dramatis di dalam markas kepolisian sendiri, yang tentu sangat merusak citra.
Menanggapi hal ini, Humas Polres Melawi, Aiptu Samsi, turun tangan untuk meluruskan fakta dengan lugas dan tegas.
Bantahan Terhadap "Penggerebekan" dan Jumlah Sabu: Poin pertama yang ditekankan adalah penolakan terhadap istilah "penggerebekan" serta klaim penemuan 5 kilogram sabu. Aiptu Samsi, mewakili Kapolres, menyatakan dengan jelas.
“Tidak benar ada penggerebekan dengan barang bukti 5 kilogram sabu. Kami tidak pernah tahu berapa jumlah barang bukti yang diamankan, karena seluruh proses penanganan perkara ini ditangani langsung oleh Direktorat Narkoba Polda Kalbar,” kata Aiptu Samsi pada Sabtu, 18 Oktober 2025.
Ini bukan sekadar soal semantik, tetapi tentang menggambarkan proses yang sebenarnya profesional, terkoordinasi, dan jauh dari kesan kekacauan.
Dengan membantah jumlah 5 kg, Polres Melawi juga mencoba meredam sensasi berita yang telah beredar.
Proses "Penjemputan" yang Terkoordinasi: Narasi resmi yang diajukan adalah "penjemputan" berdasarkan koordinasi.
“Benar, MG merupakan anggota Polres Melawi. Namun perlu kami luruskan, tidak ada penggerebekan seperti yang diberitakan. Yang bersangkutan dijemput oleh tim Ditresnarkoba Polda Kalbar berdasarkan koordinasi pimpinan,” tegas Aiptu Samsi.
Kata "dijemput" dan "koordinasi pimpinan" sengaja dipilih untuk menegaskan bahwa tindakan ini adalah bagian dari prosedur hukum internal Polri dilakukan secara tertib dan saling menghormati komando.
Ini menunjukkan bahwa Polres Melawi tidak menutupi, tetapi justru memfasilitasi proses hukum.
Uraian Kronologi Masalah
Di balik klarifikasi yang dikeluarkan Humas, tersembunyi kronologi kasus yang justru lebih mencengangkan. Informasi dari Ditresnarkoba Polda Kalbar mengungkap bahwa kasus ini bermula dari kewaspadaan aparat Bea Cukai.
Semua bermula dari sebuah paket sunyi di sudut ruang ekspedisi Pontianak. Tak ada ledakan, tak ada kegaduhan hanya tatapan curiga petugas Bea Cukai Kalimantan Bagian Barat yang menembus lapisan kardus dan plastik bening.
Di dalamnya, bukan sekadar serbuk kristal, tapi serpihan masa depan yang hampir musnah.
Mereka menatap lama, dalam diam yang berat mengapa kejahatan kini bisa dikirim semudah paket belanja online?
Dari tangan-tangan yang seharusnya melindungi negeri, kini lahir bayangan yang mencemari sumpah suci.
Masalah ini menjadi tanda betapa rapuhnya garis batas antara hukum dan pelanggaran.
Pengiriman narkotika lewat jasa logistik bukan lagi trik asing ia menjelma menjadi luka bersama, memaksa sinergi antarinstansi bukan hanya formalitas, tapi bentuk nyata cinta pada bangsa yang sedang diuji kepercayaannya.
Dari satu paket mencurigakan itu, cerita panjang tentang kejatuhan, kejujuran, dan air mata di balik seragam pun dimulai.
Tim Subdit 1 Ditresnarkoba Polda Kalbar kemudian turun tangan. Mereka melakukan penyelidikan mendalam, termasuk memeriksa rekaman CCTV. Hasilnya, MG teridentifikasi sebagai pengirim paket tersebut.
Isi paket, berdasarkan informasi Polda, adalah "lima klip plastik transparan berisi serbuk kristal yang diduga narkotika jenis sabu dengan berat bruto 523 gram."
Angka 523 gram ini sangat kontras dengan pemberitaan awal 5 kilogram, menunjukkan betapa besar distorsi informasi yang terjadi.
Dengan bukti yang kuat, Ditresnarkoba Polda Kalbar melakukan langkah profesional dengan berkoordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan Polres Melawi.
Baru setelah itu, tim menjemput MG di Polres Melawi. Proses ini menggambarkan tata krama institusi dan penghormatan terhadap rantai komando, sebuah detail penting yang hilang dalam pemberitaan sensasional.
Kasus MG ini, meski melibatkan satu oknum, memiliki implikasi yang dalam bagi institusi Kepolisian Republik Indonesia, khususnya Polres Melawi.
Respon Kapolres Melawi, AKBP Harris Batara Simbolon, patut dicatat. Ia tidak mencari pembenaran atau membela anggota.
Sebaliknya, dengan tegas menyatakan “Kami sangat menyesalkan adanya dugaan keterlibatan anggota dalam kasus narkoba. Tidak ada toleransi bagi pelanggaran hukum, apalagi yang merusak citra institusi.”
Pernyataan ini adalah pesan kuat kepada publik dan internal bahwa Polri serius dalam membersihkan barisannya (Polri Bersih).
Dengan menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada Polda, Kapolres menunjukkan komitmen pada objektivitas dan tidak ingin ada intervensi.
Pernyataan “Kami di Polres Melawi mendukung penuh setiap proses hukum dan menyerahkan seluruh penanganannya ke Polda” adalah bentuk sikap institusi yang ideal dalam menangani kasus internal.
Alih-alih menutup-nutupi, mereka memilih transparansi dengan membiarkan unit yang lebih tinggi dan berwenang (Polda) yang menangani. Ini dapat meminimalisir tuduhan pengaburan fakta atau main hakim sendiri.
Kasus ini menjadi pengingat bagi publik dan media untuk lebih kritis dalam menyikapi informasi yang beredar cepat, terutama yang melibatkan institusi sensitif seperti kepolisian.
Istilah "penggerebekan" dan "5 kilogram" memiliki daya pikat berita yang tinggi, namun seringkali tidak akurat.
Kredibilitas jurnalistik diuji untuk memverifikasi informasi sebelum menyebarluaskannya, dengan selalu merujuk pada sumber resmi dan pihak yang berwenang.
Kasus oknum polisi MG adalah sebuah mosaik yang terdiri dari dua bagian besar upaya institusi meluruskan disinformasi dan fakta tentang proses penegakan hukum yang berjalan secara prosedural.
Di satu sisi, Polres Melawi aktif membentuk narasi yang benar melalui klarifikasi publiknya.
Di sisi lain, Ditresnarkoba Polda Kalbar bekerja berdasarkan bukti dan prosedur yang jelas, mulai dari temuan Bea Cukai hingga penjemputan terkoordinasi.
Yang tersisa adalah sebuah harapan. Meski aksi oknum ini mencoreng wajah institusi, respon tegas dan transparan dari pimpinan justru dapat memulihkan kepercayaan publik.
Ini membuktikan bahwa mekanisme internal kontrol dalam Polri masih berfungsi.
Kini, langkah MG bukan lagi langkah seorang penegak hukum, melainkan langkah seorang manusia yang sedang menanggung beban kesalahan, entah karena khilaf, entah karena godaan yang menelan nurani.
Namun satu hal pasti, hukum harus tetap berjalan, meski yang duduk di kursi pemeriksaan adalah orang berseragam yang dulu bersumpah menjaga keadilan.
Proses hukum terhadapnya bukan sekadar urusan administrasi atau laporan resmi. Ia adalah ujian nurani bagi institusi apakah Polri masih berani menatap cermin dan berkata: “Kami bersih.”
Karena keadilan sejati tak mengenal pangkat, tak tunduk pada jabatan, dan tak gentar pada seragam.
Kasus ini bukan lagi tentang seorang MG, melainkan tentang cahaya yang ingin kembali dinyalakan di tubuh Polri.
Tentang perjuangan untuk membersihkan diri dari bayangan narkoba dan noda kepercayaan publik, yang mungkin butuh waktu panjang untuk disembuhkan.
Bila ada yang patut diingat dari kisah ini, itu adalah harapan kecil yang masih tersisa bahwa di balik tangisan dan rasa malu.
Institusi ini masih bisa menebus dirinya, dengan satu langkah sederhana, menegakkan kebenaran, meski terhadap sesama sendiri.