Kisah Lapas Parepare, 100 Kilogram Edamame Dipanen dari Lahan 300 Meter Persegi - Kalimantannews.id

Kisah Lapas Parepare, 100 Kilogram Edamame Dipanen dari Lahan 300 Meter Persegi

Kisah Lapas Parepare, 100 Kilogram Edamame Dipanen dari Lahan 300 Meter Persegi
Di tanah seluas 300 meter persegi milik Lapas Parepare, Sulawesi Selatan, di antara jeruji dan pengawasan ketat, sebentuk ironi sedang bertumbuh.
Kalimantannews.id, Parepare - Bukan sekadar kacang edamame, melainkan simbol harapan yang disemai oleh tangan-tangan yang oleh hukum disebut “Warga Binaan”. 

Di Lapas Parepare, Sulawesi Selatan, tanaman premium itu justru menemukan ruang hidupnya—seakan menggugat di mana sebenarnya makna kemerdekaan?

“Kegiatan seperti ini tidak hanya menjadi sarana pembinaan, tetapi juga memberi nilai tambah dan keterampilan nyata,” tutur Kepala Lapas Kelas IIA Parepare, Marten pada Jumat, 17 Oktober 2025 kepada Kalimantannews.id. 

Kalimat itu terdengar mulia, tapi di baliknya tersimpan pertanyaan mendasar: apakah ini sekadar program instan, atau benar-benar upaya memutus mata rantai stigma bahwa narapidana hanya bisa pasif?

Edamame, komoditas yang kerang jadi primadona restoran Jepang, justru dipanen di lingkungan yang jauh dari gemerlap dunia luar.

Sekitar 100 kilogram hasil panen itu bukan sekadar angka. Ia adalah cerita tentang 15 orang yang selama dua bulan belajar menaklukkan tanah, menggantikan peluru dengan pupuk, dan mengubah hukuman jadi harapan.

Ini Lahan Bernyawa

Mereka menyebutnya “program kemandirian”, tapi sesungguhnya ini lebih dari itu. Ini adalah ruang di mana narapidana diajak berdialog dengan bumi.

Di bawah bimbingan petugas, Warga Binaan diajari dari nol olah lahan, tanam, rawat, hingga panen dan kemas. Proses yang tidak instan, tetapi penuh makna.

“Budidaya edamame ini sejalan dengan program Asta Cita Presiden Republik Indonesia dan 13 Program Akselerasi Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan,” Marten menegaskan. 

Kalimat resmi itu, meski berbau birokratis, punya roh bahwa pembinaan produktif adalah jalan keluar dari sekadar menghitung hari di balik tembok.

Tapi, ada yang juga menarik dari data yang disampaikan lahan hanya 300 meter persegi, hasil 100 kilogram.

Sebuah pencapaian yang mungkin kecil bagi industri pangan, tapi sangat bermakna bagi mereka yang terlibat.

Sebagian hasilnya untuk dapur Lapas, sebagian lagi dijual ke masyarakat. Inilah bentuk nyata bahwa mereka masih bisa memberi, bukan hanya menerima.

Asa Menuai Makna

Panen edamame di Lapas Parepare bukan sekadar urusan kacang dan kilogram. Ini tentang bagaimana sebuah lembaga pemasyarakatan mencoba menjawab tantangan zaman bahwa penjara harus jadi tempat memulihkan, bukan sekadar mengurung.

“Dengan semangat kerja sama dan produktivitas, Lapas Kelas IIA Parepare terus berkomitmen menciptakan lingkungan pembinaan konstruktif, mandiri, dan berdaya guna,” kata Marten menutup pernyataannya.

Kalimat itu, jika dihayati, adalah sebentuk pengakuan, bahwa narapidana punya potensi yang bisa dikembalikan kepada masyarakat.

Ke depan,  di Lapas Parepare, Sulawesi Selatan, tumbuh.memperluas lahan dan menambah komoditas cabai, tomat, kangkung.

Sebuah langkah diversifikasi yang cerdas, sekaligus kritik halus pada sistem yang selama ini kerap abai pada pemberdayaan narapidana.

Tapi, yang paling menyentuh justru ada pada hal yang tak terucap, bahwa di balik statistik dan program, ada manusia yang belajar lagi mempercayai kehidupan.

Mereka yang pernah salah, kini diajak memahami arti bertanggung jawab pada sesuatu yang hidup tanaman yang membutuhkan perhatian, kesabaran, dan kasih sayang.

Lapas Parepare berhasil menciptakan narasi tandingan bahwa di balik tembok, ada ruang untuk pertumbuhan.

Edamame, yang biasanya identik dengan kuliman mewah, justru ditanam oleh tangan-tangan yang dianggap “terbelenggu”.

Ini adalah satire halus terhadap sistem yang sering lupa bahwa narapidana adalah bagian dari potensi bangsa.

Program ini patut diapresiasi, namun perlu dikritisi apakah keterlibatan WBP benar-benar voluntary dan edukatif, atau sekadar tenaga murah?

Jika ini murni pembinaan, maka aspek pemberian keterampilan berkelanjutan dan sertifikasi harus jadi perhatian.

Dampak Jangka Panjang

Keberhasilan kecil ini juga bisa jadi model bagi Lapas lain. Tapi, tantangan terbesarnya adalah konsistensi.

Apakah program serupa akan bertahan ketika terjadi rotasi pimpinan? Dan yang terpenting, apakah keterampilan ini benar-benar bisa menjadi bekal WBP setelah bebas?

Laporan ini hanya menyebut angka 100 kilogram dari lahan 300 meter persegi.

Secara agronomi, ini cukup baik. Tapi, tidak ada data tentang berapa nilai ekonomisnya, bagaimana mekanisme distribusi.

Lalu, apakah WBP dapat bagian dari hasil penjualan. Transparansi dalam hal ini akan memperkuat nilai pemberdayaan.

Kegiatan seperti ini tidak hanya menjadi sarana pembinaan, tetapi juga memberi nilai tambah dan keterampilan nyata bagi warga binaan agar siap kembali ke masyarakat, kata Marten.

“Budidaya edamame ini sejalan dengan program Asta Cita Presiden Republik Indonesia dan 13 Program Akselerasi Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan,” ucap Marten.

Dengan semangat kerja sama dan produktivitas, Lapas Kelas IIA Parepare terus berkomitmen menciptakan lingkungan pembinaan konstruktif, mandiri, dan berdaya guna.

Di Lapas Parepare, edamame lebih dari sekadar kacang. Ia adalah metafora: bahwa di tanah yang paling gersang sekalipun, harapan bisa tumbuh jika ada kemauan untuk menanam.

Justru di balik jeruji, kita belajar arti kemerdekaan yang sesungguhnya bukan tentang bebas dari fisik, tapi tentang kemampuan untuk mencipta.

Formulir Kontak