
Kalimantannews.id, Pulau Kalimantan - Ada aroma kebanggaan setiap kali Apple meluncurkan sesuatu yang “lebih cepat dari sebelumnya”.
Seolah dunia harus berhenti sejenak, memberi tepuk tangan pada Cupertino yang kembali menjual masa depan dalam bentuk aluminium dingin berwarna hitam angkasa.
Kini, namanya MacBook Pro 14 inci dengan chip M5 laptop yang katanya bisa bekerja tanpa lelah selama 24 jam, menjalankan AI 3,5 kali lebih cepat, dan mengubah ruang kerja jadi panggung keajaiban.
Tapi seperti biasa, di balik keajaiban itu selalu ada kisah lain kisah tentang keheningan, tentang manusia yang perlahan kehilangan perannya di balik layar yang semakin pintar.
Apple menyebutnya “kekuatan untuk berpikir bersama AI”. Namun, barangkali yang sebenarnya terjadi adalah kebiasaan kita membiarkan mesin berpikir untuk kita.
1. Mesin Cerdas, Pengguna Lelah
Chip M5 adalah jantung baru MacBook Pro, mengalirkan tenaga dari 16-inti Neural Engine yang mampu memproses bahasa alami, gambar, bahkan model pembelajaran mendalam tanpa jeda.
Apple menyebutnya “revolusi pemrosesan lokal” AI tak lagi bergantung pada cloud, semua berjalan di dalam perangkat.
Namun, di luar laboratorium marketing itu, para pengguna tahu: yang benar-benar lelah bukanlah chipnya, melainkan manusianya.
Seorang desainer di Jakarta bilang, “Laptop ini cepat sekali, tapi deadline tetap sama.
Malah, karena cepat, klien ingin lebih cepat lagi.” Di sinilah ironi Apple terasa: kecepatan menjadi jebakan.
Apple tak sekadar menjual laptop, tapi juga ritme hidup baru. Mereka menjual waktu, hanya untuk menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar.
2. Janji Baterai Seharian, Tapi Jiwa Tak Pernah Istirahat
Apple bangga menyebut daya tahan 24 jam sebagai tonggak baru. Tapi di dunia nyata, itu berarti kita bisa bekerja seharian tanpa alasan untuk berhenti.
“Laptop ini bikin aku lupa makan,” ujar seorang developer muda di Bandung yang sudah memakai MacBook M4.
“Sekarang M5 katanya bisa lebih lama lagi. Entah siapa yang butuh baterai 24 jam manusia saja tidak hidup sejauh itu tanpa jeda.”
Begitulah Apple memberi lebih banyak daya, agar kita bisa kehilangan lebih banyak istirahat.
Dalam ekosistem yang sempurna itu, waktu pribadi perlahan larut dalam notifikasi dan panggilan proyek.
Kita terjebak dalam ekosistem yang semakin mulus, tapi semakin menuntut. Dan mungkin, dalam keheningan malam yang diterangi logo apel bercahaya itu, tak ada yang benar-benar bebas lagi.
3. AI, atau Cermin dari Keletihan Kita
Neural Accelerator di setiap inti GPU kini bisa menjalankan model bahasa besar secara lokal fitur yang membuat Apple Intelligence terasa hidup di macOS Tahoe.
Live Translation, Smart Compose, otomatisasi pintasan: semua demi membuat hidup lebih efisien.
Namun di balik istilah megah itu, tersisa kegelisahan yang tak bisa diterjemahkan manusia makin sedikit berpikir.
Semuanya otomatis, semuanya disusun ulang, semuanya “lebih pintar dari sebelumnya”. Tapi siapa yang masih menulis puisi di layar 1600 nits?
Siapa yang masih menatap layar bukan untuk produktivitas, tapi untuk diam dan berpikir?
AI buatan Apple mungkin bisa menebak kata berikutnya, tapi tidak bisa menebak rasa rindu yang terselip di setiap huruf “halo” yang kita ketikkan.
Kecerdasan buatan tak punya empati, dan mungkin itu yang paling berbahaya ketika seluruh dunia kerja kita kini diukur oleh kecepatan.
4. Desain yang Tak Lagi Mengejutkan
Apple dulu dikenal dengan “wow factor” setiap peluncuran seperti pertunjukan sihir.
Tapi kini, MacBook Pro M5 hadir tanpa gebrakan desain. Masih dengan layar Liquid Retina XDR, kecerahan 1.600 nits, kamera 12MP Center Stage, dan enam speaker.
Semuanya indah, tapi tidak baru.
Di sinilah kritik paling lembut tapi menusuk untuk Apple Mereka makin sempurna, tapi makin membosankan.
Mereka telah mencapai puncak estetika, namun kehilangan jiwa eksperimentasi yang dulu membuat dunia berdebar.
MacBook kini seperti cermin memantulkan kejayaan masa lalu yang terus dipoles dengan angka-angka baru.
5. Daur Ulang yang Tak Menyentuh Nurani
Apple dengan bangga mengumumkan bahwa MacBook Pro kini dibuat dari 45% material daur ulang, termasuk 100% aluminium dan tanah jarang daur ulang. Mereka bahkan menegaskan bahwa produk ini “lebih hijau dari sebelumnya”.
Tapi seberapa hijau masa depan yang terus mendorong kita untuk membeli “yang lebih baru” setiap tahun?
Tak ada daur ulang yang benar-benar berkelanjutan bila budaya konsumsi masih berjalan tanpa jeda.
Laptop daur ulang tetap butuh energi untuk dibuat, dikirim, dan dijual dengan kampanye “go green” yang memanjakan nurani sementara.
Ironinya, kita membeli keberlanjutan untuk menenangkan rasa bersalah kita sendiri.
6. Harga dan Mitos Kemewahan
Dengan harga mulai $1.599, Apple kembali bermain di kelas eksklusif. Diskon pendidikan? Hanya 100 dolar. MacBook bukan sekadar alat kerja—ia simbol status.
Logo apel yang bercahaya di tengah ruang kafe tetap menjadi pernyataan sosial: bahwa pemiliknya “berbeda”.
Namun, eksklusivitas itu kini terasa kering. MacBook bukan lagi lambang kreativitas, melainkan tanda keterikatan pada sistem ekosistem tertutup.
Ketika port Thunderbolt 4 dipuji sebagai “fleksibel”, kita lupa bahwa fleksibilitas sejati adalah kebebasan berpikir sesuatu yang kini sulit diukur dalam gigahertz atau watt.
7. Kekurangan yang Tak Pernah Diucapkan
Apple tidak akan menyebut bahwa keyboard masih terasa panas saat rendering, atau pengisi daya 70W tidak disertakan di Uni Eropa.
Mereka juga tidak menyinggung fakta bahwa SSD dua kali lebih cepat berarti lebih cepat juga rusak bila overload.
Apple ingin semua terasa sempurna. Tapi di dunia nyata, kesempurnaan itu membuat pengguna kehilangan ruang untuk memperbaiki, bereksperimen, dan mengubah.
Tidak ada lagi ruang untuk “trial and error” karena semuanya sudah ditentukan di Cupertino.
8. Dunia yang Terlalu Cepat
MacBook Pro M5 adalah lambang dunia modern: cepat, efisien, dan melelahkan.
Kita memuja performa, tapi lupa bahwa kreativitas tumbuh dari kebosanan. Kita mengejar inovasi, tapi kehilangan kehangatan dari proses yang lambat.
Apple, dalam seluruh kejeniusannya, mungkin tak sadar bahwa ia telah menciptakan generasi yang tak lagi tahu cara berhenti.
Dalam 24 jam daya tahan baterai, mungkin kita telah kehilangan sesuatu yang lebih berharga: 24 jam waktu untuk menjadi manusia.
MacBook Pro M5 bukanlah produk buruk. Ia adalah mahakarya teknis yang nyaris sempurna tapi juga potret zaman.
Zaman ketika kecerdasan buatan mulai menggantikan perasaan manusia, ketika desain menjadi liturgi, dan ketika kemewahan diukur bukan dari rasa, melainkan dari daya tahan baterai.
Apple ingin membuat mesin yang semakin mirip manusia. Tapi mungkin, yang mereka buat justru manusia yang semakin mirip mesin.