
Pria yang pernah dijatuhi vonis penggelapan itu kini berdiri di simpang jalan antara tinta hukum dan kesalahan tanggal.
Ya, kasusnya ini belum selesai hanya berputar di lingkaran birokrasi yang lebih puitis daripada prosedural.
Rabu, 15 Oktober 2025, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan mengembalikan berkas perkara dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atas nama Sulfikar kepada penyidik Ditreskrimum Polda Sulsel.
Alasannya? Bukan karena kurang bukti. Bukan pula karena ketiadaan unsur pidana. Tapi karena tanggalnya salah tulis.
“Berkas perkara TPPU atas nama Sulfikar tanggal 6 Oktober 2025 tidak dapat diinput dalam sistem CMS karena tanggal berkas mendahului tanggal SPDP,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, menahan nada getir birokrasi.
Dalam logika hukum, kesalahan administratif bisa berujung fatal. Dalam logika publik, itu hanya terdengar seperti lelucon pahit keadilan bisa tertunda karena salah menulis tanggal.
Kesalahan Terlihat Kecil
Di ruang ber-AC lembaga penegak hukum, tanggal bisa menentukan nasib seseorang.Sesuai Pasal 109 KUHAP, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) seharusnya lebih dulu dikirim sebelum berkas perkara diserahkan.
Namun, dalam kasus ini, SPDP baru diterbitkan 7 Oktober 2025, sementara berkas perkara dicatat 2 Oktober 2025 lima hari lebih cepat dari masa depan.
“Seharusnya SPDP dulu dikirim baru berkas perkara. Karena tidak sesuai ketentuan hukum acara, kami kembalikan untuk diperbaiki,” lanjut Soetarmi, dengan kalimat yang terdengar tenang tapi berisi ironi hukum yang dalam.
Di balik kekeliruan tanggal itu, publik membaca hal lain lemahnya manajemen perkara, rapuhnya sistem digital hukum, dan betapa “formil” kadang lebih penting daripada substansi.
Sulfikar, yang dulu divonis bersalah, kini menunggu nasibnya digantung oleh kesalahan administrasi yang bahkan tidak dia buat.
Ironi Bayang Lama
Kasus ini berawal dari laporan Jimmi, seorang pelapor yang menuding adanya penggelapan dana dalam kerja sama bisnis.
Dari sana, kisahnya bergulir menjadi perkara pidana dengan dua nama yang menonjol Sulfikar dan Hamsul HS.
Tahun 2022, Pengadilan Negeri Makassar memutus keduanya bersalah. Putusan Nomor 582/Pid.B/2022/PN Mks menegaskan hukuman penjara, diperkuat di tingkat banding, dan akhirnya dipadatkan oleh Mahkamah Agung menjadi tiga tahun enam bulan penjara (Putusan Nomor 191 K/Pid/2023, 13 Februari 2023).
Namun, seperti arus sungai yang selalu mencari celah, kasus itu tak berhenti di situ. Dari penggelapan, lahirlah tuduhan baru pencucian uang.
Uang hasil kejahatan, kata penyidik, dialihkan ke rekening lain, disamarkan melalui transaksi finansial yang rumit persis seperti kisah klasik: uang haram yang ingin tampak suci.
Lagi-lagi, Sulfikar terseret dalam babak lanjutan ini. Hanya kali ini, panggungnya bukan ruang pengadilan, melainkan sistem CMS kejaksaan yang menolak menerima berkas karena urutan tanggalnya salah.
Antara Nasib Administrasi
Sementara itu, rekan bisnisnya, Hamsul HS, melawan lewat jalur praperadilan. Dan, ajaibnya, menang.
Pada 30 September 2025, Pengadilan Negeri Makassar menyatakan penetapan tersangka terhadapnya tidak sah secara formil. Putusan Nomor 36/Pid.Pra/2025/PN Mks menjadi tiket keluar dari jerat hukum TPPU.
Hamsul bahkan sempat mengajukan peninjauan kembali, tapi ditolak oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 168 PK/Pid/2023.
Meski demikian, ia tetap bisa menghirup udara bebas lebih dulu dari Sulfikar berkat celah hukum yang selalu punya ruang untuk tafsir.
Sedangkan Sulfikar, lagi-lagi harus menunggu. Bukan karena bukti baru, bukan karena sidang tertunda tanpa kejelasan.
Tapi, karena dokumen perlu juga diperbaiki dengan dalih agar sistem komputer kejaksaan bisa menerima berkasnya.
Inilah absurditas yang, bila ditulis di novel, mungkin akan terdengar terlalu berlebihan namun di Indonesia, ini realitas harian.
Refleksi di Balik Drama
Kisah Sulfikar bukan sekadar soal satu orang yang tersandung hukum. Ini cermin panjang sistem penegakan hukum yang masih gagap antara formalitas dan keadilan substansial.
Bagaimana mungkin seorang tersangka TPPU harus menunggu keadilan karena file tak bisa diunggah ke sistem CMS hanya gara-gara tanggalnya lebih cepat lima hari?
Kita bisa tersenyum getir mendengarnya, tapi di balik tawa itu ada luka keterlambatan keadilan adalah bentuk lain dari penolakan keadilan itu sendiri.
Dalam demokrasi hukum yang sehat, kesalahan administratif seharusnya diperbaiki tanpa mengorbankan asas keadilan.
Namun di negeri ini, administratif seringkali menjadi tameng birokrasi bukan alat untuk memperbaiki kebenaran.
Hukum Terlalu Rumit
Sulfikar, yang kini kembali berstatus tersangka, menunggu kepastian nasibnya. Berkasnya kini “diperbaiki” agar dapat diterima kejaksaan.
Tapi publik tahu, di balik istilah perbaikan itu tersimpan potensi kompromi, intervensi, atau sekadar kelalaian.
Hukum seolah menjadi permainan kata dan tanggal—siapa yang cepat menulis, dia yang selamat.
Namun bagi terjebak di antara prosedur, hukum bisa berubah menjadi labirin setiap lorongnya mengulang administrasi sama, setiap pintunya menunda keadilan seharusnya tiba.
Di negeri ini, keadilan tak selalu jatuh karena putusan hakim. Kadang ia tersandung oleh kesalahan tanggal, format surat, atau sistem yang gagal “menginput berkas”.
Di baliknya, publik menonton, lagi-lagi dengan rasa lelah yang sama mengapa birokrasi begitu teliti pada hal kecil, tapi begitu lalai pada esensi keadilan?
Sulfikar hanyalah satu nama dari banyak kisah yang tak sempat ditulis ulang. Namun, kisahnya cukup untuk membuat kita paham: hukum di negeri ini tidak hanya butuh reformasi.
Akan tetapi, juga rasa malu karena membiarkan administrasi menggantung hidup seseorang di antara folder dan stempel.
Kasus ini belum selesai. Berkas masih berputar. Proses masih disebut “berjalan” terus menerus tanpa ada arah jelas.
Tapi di antara kalimat itu, ada getir yang tak terbantahkan sistem hukum kita kadang lebih setia pada prosedur daripada pada kebenaran.
Ketika keadilan menunggu diperbaiki karena salah tanggal, maka negeri ini sedang menulis puisi paling tragis tentang hukum.
Bahwa soal kebenaran bisa tertunda hanya karena seseorang salah mengetik angka di lembar administrasi.
Di negeri konoha yang gemar menunda, maka, keadilan selalu datang dengan tanda tangan yang salah tanggal.