
Kalimantannews.id, Parepare - Langit dan lumpur. Di Parepare, sebuah kota kecil di tepi laut yang selalu ramai dengan aroma asin dan dengus sapi dari pedalaman, pagi itu terasa lebih muram dari biasanya.
Di antara berkas perkara dan bisik warga, satu nama mendadak menjadi pembicaraan hangat HM, anggota DPRD Kota Parepare periode 2019–2024.
Bukan karena pidatonya di gedung dewan, melainkan karena sapi-sapi yang “menghilang” di kandang pribadinya.
Kejaksaan Negeri Parepare akhirnya menetapkan HM sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan dan penyaluran bantuan sapi di Dinas Pertanian, Kelautan, dan Perikanan tahun anggaran 2023. Kepala Kejari Parepare, Darfiah, menyampaikan dengan nada tegas namun getir.
“Penyidik telah menetapkan HM sebagai tersangka karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam kegiatan pengadaan dan penyaluran bantuan sapi tahun anggaran 2023," katanya
Kata sapi yang sejatinya simbol ketekunan dan kesabaran petani, kini menjadi bukti diam tentang kerakusan yang bersembunyi di balik meja kekuasaan.
Jejak di Balik Kandang
Awalnya, HM menggunakan posisinya untuk mengusulkan penerima bantuan. Ia menunjuk Kelompok Tani Ternak Lia’e, tapi kelompok itu dianggap tidak memenuhi syarat.
Maka, dengan kelincahan politis khas pejabat daerah, ia mengusulkan kelompok lain Tani Ternak Lawalane.
Dinas PKP pun menyalurkan 35 ekor sapi kepada kelompok itu. Tapi kisahnya tidak berhenti di situ.
Saat penyidik turun ke lapangan, fakta berbicara lebih lantang dari janji kampanye.
Dari 35 ekor sapi, hanya 16 yang benar-benar diserahkan ke kelompok. Sisa 19 ekor lenyap, dan ternyata ditemukan di kandang pribadi sang wakil rakyat.
Kepala Kejari Darfiah kembali menegaskan, “Seharusnya seluruh bantuan diserahkan kepada kelompok penerima, tetapi tersangka mengambil sebagian untuk kepentingan pribadi.”
Sapi-sapi yang seharusnya menjadi penolong ekonomi warga desa, justru menjadi simbol kerakusan.
Seekor demi seekor, bantuan rakyat berubah menjadi milik pribadi, dikandangkan di balik pagar rumah kekuasaan.
Suara dari Lumpur
Angka kerugian negara mungkin tampak kecil bagi sebagian orang Rp223.644.250. Tapi bagi petani yang hidup dari embun dan jerami, angka itu adalah hidup setahun penuh.
Sebuah harapan yang kini menguap di udara, tersisa hanya berita penahanan dan pasal-pasal hukum yang dibacakan dengan datar.
HM kini dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Ia ditahan di Lapas Kelas II A Parepare selama 20 hari untuk kepentingan penyidikan.
“Penahanan dilakukan untuk memperlancar proses penyidikan,” ujar Darfiah menutup keterangannya.
Namun, di luar ruang penyidikan, warga Parepare justru memperbincangkan hal lain luka kepercayaan.
“Kami ini dulu percaya dia karena katanya peduli petani,” kata seorang warga Lawalane yang enggan disebut namanya," kata dia.
“Tapi ternyata dia cuma peduli sapi yang bisa dikandangkan di rumahnya sendiri,” dia menambahkan. Kalimat itu menampar keras, lebih dalam dari angka di laporan audit.
Nurani yang Tersesat
Korupsi bukan hanya soal uang, tapi soal nurani yang tersesat di jalan kekuasaan.
Sapi-sapi itu kini menjadi saksi bisu bagaimana bantuan sosial bisa berubah menjadi ajang perburuan pribadi.
Dan Parepare, yang dulu dikenal dengan semangat gotong royongnya, mendadak kehilangan arah.
Fenomena ini bukan hal baru di negeri yang gemar menukar amanah dengan amplop dan bantuan ternak dengan loyalitas politik.
Kasus seperti HM adalah wajah kecil dari penyakit besar: mental feodal dalam demokrasi elektoral.
Di mana bantuan untuk rakyat hanya menjadi alat tukar kepercayaan politik lima tahunan.
Kejadian ini seolah mengingatkan: di balik setiap sapi yang tak sampai ke tangan petani, ada pemerintah yang lengah, sistem yang longgar, dan rakyat yang terlalu mudah percaya.
Parepare kini punya luka baru di daftar panjang catatan korupsi daerah. Tapi luka ini berbeda ia beraroma rumput basah dan kandang kosong.
Ketika seorang wakil rakyat memperlakukan bantuan ternak sebagai milik pribadi, maka sejatinya yang ia rampas bukan hanya uang negara, tapi kepercayaan yang sulit diperbaiki.
Ironisnya, HM adalah produk sistem politik yang sama yang kerap melahirkan “pahlawan kampung” sebelum menjelma “penggembala kepentingan”.
Ia lahir dari janji dan berakhir di jeruji sebuah pola yang terlalu sering diulang di berbagai daerah, seolah negeri ini kehabisan cara untuk belajar dari kesalahan.
Ada yang lebih tragis dari kehilangan sapi bantuan kehilangan rasa malu. Di Parepare, sapi kini bukan sekadar hewan ternak. Ia berubah menjadi simbol kehilangan moralitas publik.
Bayangkan 19 ekor sapi berdiri diam di kandang pribadi seorang pejabat, sementara di ujung lain kota, petani menatap padang rumput kosong menunggu bantuan yang tak pernah datang.
Mereka mungkin tak tahu nilai pastinya, tapi mereka paham: ada yang dicuri dari hidup mereka.
Di sebuah negeri yang semakin pintar menghitung kerugian, tapi semakin tumpul menakar kejujuran, kisah ini terasa seperti peringatan.
Bahwa korupsi tidak hanya merampas uang negara, tapi juga mencuri keyakinan bahwa pejabat bisa dipercaya.
Di antara suara lembu mengembik di pagi hari Parepare, terselip sebuah pertanyaan menggantung di udara sampai kapan kita terus memberi makan kerakusan dengan uang rakyat?