Berkas Terbalik, Hati Publik Terkoyak, Kasus Sulfikar Membisu - Kalimantannews.id

Berkas Terbalik, Hati Publik Terkoyak, Kasus Sulfikar Membisu

Berkas Terbalik, Hati Publik Terkoyak, Kasus Sulfikar Membisu
Berkas Terbalik, Hati Publik Terkoyak, Kasus Sulfikar Membisu
Kalimantannews.id, Makasaar - Terulang. Di negeri yang menjunjung tinggi due process of law, urutan tanggal bisa menjadi nasib.

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, lembaga yang seharusnya menjadi penjaga formalitas hukum, justru menegur penyidik karena tergesa-gesa menulis masa lalu.

Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) diterbitkan 7 Oktober 2025, tetapi ajaibnya, berkas perkara Sulfikar sudah lebih dulu lahir 2 Oktober 2025.

Waktu, rupanya, bisa dilipat seperti kertas investigasi yang tergeletak di meja penyidik.

“Seharusnya SPDP dulu dikirim baru berkas perkara. Karena tidak sesuai ketentuan hukum acara, kami kembalikan untuk diperbaiki,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi hari ini.

Di luar sana, publik mengelus dada. Di dalam ruang rapat berlampu putih, hukum kembali dibaca dalam urutan yang salah bukan karena tak tahu, tapi karena terbiasa.

Kadir Wokanubun, Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, menatap lebih dalam dari sekadar kesalahan tanggal.

“Ini bukan kekeliruan administratif biasa,” katanya lugas.

Dalam hukum acara pidana, tanggal bukan sekadar angka, tapi tanda kehidupan perkara.
Ketika urutan terbalik, artinya proses hukum cacat sejak lahir.

Kadir mengingatkan, penyidik seolah tak belajar dari kasus Hamsul HS, rekan Sulfikar.
Hakim praperadilan sudah membatalkan penetapan tersangka Hamsul karena cacat formil.

Putusan Nomor 36/Pid.Pra/2025/PN Mks itu bahkan memerintahkan penerbitan SP3. Namun entah kenapa, kesalahan yang sama kembali disalin seperti template kesalahan institusional.

“Kasus Hamsul itu sudah jadi peringatan. Tapi kesalahan yang mestinya dicegah justru terulang,” ujarnya lirih namun tegas.

Di titik ini, kelalaian administratif bukan lagi salah ketik, melainkan gejala sistemik semacam lupa kolektif yang diwariskan turun-temurun di birokrasi penyidikan.

Perkara Pencucian Uang

Kasus Sulfikar bukan sekadar cerita tentang seorang tersangka pencucian uang. Ia adalah cermin rapuh bagaimana hukum di negeri ini kerap jatuh bukan karena kejahatan besar, tapi karena administrasi kecil.
Berkas yang mestinya jadi bukti justru berubah jadi kacau.

Sulfikar dan Hamsul awalnya diproses karena dugaan penggelapan dana kerja sama bisnis yang dilaporkan Jimmi, seorang pelapor yang mungkin tak pernah membayangkan kisahnya berubah menjadi drama prosedural.

Mereka divonis bersalah di PN Makassar pada 27 Juli 2022 melalui Putusan Nomor 582/Pid.B/2022/PN Mks, lalu dikuatkan di tingkat banding dan diperbaiki oleh Mahkamah Agung menjadi 3 tahun 6 bulan penjara lewat Putusan Nomor 191 K/Pid/2023.

Namun, di luar jeruji waktu itu, uang hasil kejahatan diduga masih berputar dalam bayangan.
Penyidik pun membuka bab baru: Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Sayangnya, bab itu justru tersandung di halaman pertama karena salah urut tanggal. Kini, berkas Sulfikar kembali ke tangan penyidik.

Seolah waktu diputar ulang, dan publik diminta percaya bahwa kesalahan hanyalah “perbaikan teknis.”

Namun seperti kata Kadir, “Kalau hal-hal mendasar seperti SPDP saja tidak ditaati, bagaimana publik percaya bahwa penanganan pencucian uang dilakukan serius?”

Hukum Tak Pernah Usai

Di tengah jargon “transparansi dan akuntabilitas,” publik disuguhi drama hukum yang lebih mirip teka-teki birokrasi.

Kesalahan sederhana, tapi fatal: tanggal yang salah bisa membatalkan seluruh upaya memberantas pencucian uang.

Ironi paling getir uang kotor bisa bersih di meja penyidik hanya karena urutan dokumen salah ketik.

ACC Sulawesi menutup kritiknya dengan nada getir namun tajam. “Kalau administrasi terus bermasalah, yang hilang bukan hanya berkas tapi legitimasi penegakan hukum,” tandas Kadir.

Kalimat itu menggema seperti doa yang tak sampai sebab yang mendengar mungkin sibuk menandatangani dokumen lain yang tanggalnya juga tak sinkron.

Tinta dan Integritas

Dalam hukum acara pidana, SPDP adalah napas pertama penyidikan. Tanpa itu, setiap berkas yang muncul lebih dulu seperti bayi yang lahir sebelum dikandung.

Artinya cacat sejak awal. Itulah sebabnya KUHAP menempatkan SPDP sebagai dasar legal penyidikan, bukan sekadar formalitas.

Namun, fenomena seperti ini tak berdiri sendiri. Berkas-berkas yang lahir sebelum waktunya adalah simbol keterburuan sistemik: tekanan target, ego institusi, dan minimnya supervisi etika.

Dalam konteks penegakan hukum TPPU, cacat administratif bisa menjadi celah yang dimanfaatkan oleh para pelaku untuk menggugurkan perkara di pengadilan.

Jika kasus ini dibiarkan, konsekuensinya bukan hanya pada Sulfikar, tapi pada citra institusi hukum yang kembali tercoreng.

Penegak hukum seolah lebih sibuk menyusun dokumen ketimbang memastikan keadilan. Di sanalah satire ini lahir tentang hukum yang kehilangan arah di tengah birokrasi yang gemar memutar kalender lebih dulu daripada berpikir jernih.

Keadilan Tersesat di Tanggal

Setiap tinta yang menandai tanggal di surat penyidikan seharusnya adalah simbol ketepatan, bukan kelalaian.

Namun, dalam kasus Sulfikar, tinta itu justru menulis kasus paling pahit. Bahwa hukum kita bisa jatuh hanya karena salah urut waktu.

Kasus ini bukan akhir, tapi pengingat bahwa keadilan tak pernah lahir dari dokumen yang terburu-buru,
melainkan dari kesadaran lembaga yang tahu kapan harus menulis dan kapan harus berhenti mengulang kesalahan yang sama.

Di ruang sunyi Kejati Sulsel, mungkin hanya gema suara Soetarmi yang tersisa. “Seharusnya SPDP dulu dikirim baru berkas perkara.”

Sebuah kalimat sederhana yang terdengar seperti ironi paling dalam dari republik hukum yang terus menulis sejarahnya dengan tinta yang terbalik.

Formulir Kontak