
Kalimantannews.id, Ketapang - Sabtu malam mestinya penuh warna. Gemerlap lampu, tawa anak-anak, aroma jajanan kaki lima, dan janji kebahagiaan sesaat di pasar malam “Indonesia Night Market”.
Tapi di lapangan Air Upas Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat Sabtu (18/10/2025) malam, langit justru runtuh dalam bentuk perosotan pelangi ambruk menimpa mimpi kecil para pengunjung.
Empat orang terluka. Dua di antaranya remuk tulang. Satu di antara mereka bahkan kru sendiri orang seharusnya menjaga, malah jadi korban kelalaian sistem.
Video viral menunjukkan detik-detik mengerikan, struktur logam dan terpal warna-warni itu roboh dari tengah, seperti boneka kertas kehujanan.
Anak-anak terjatuh. Orang tua berteriak. Pasar malam yang seharusnya jadi pelarian dari rutinitas, berubah jadi TKP atau tempat kejadian perkara.
Keramaian Jadi Bumerang
Menurut Kepala Desa Air Upas, Agus Purwanto, insiden terjadi sekitar pukul 20.00 waktu setempat, tepat di puncak keramaian malam pembukaan.
“Ada empat korban, dua mengalami patah tulang dan dua lainnya luka-luka. Seluruh korban sempat dirawat di Puskesmas Air Upas, kemudian dirujuk ke rumah sakit di Ketapang,” ujarnya, Minggu (19/10/2025).
Penanggung jawab acara, Akbari Alexander, mengakui antusiasme warga Kabupaten Ketapang itu melebihi perkiraan.
Wahana yang didesain untuk lima anak sekaligus, justru dipadati orang dewasa yang ingin foto-foto di puncak perosotan.
“Wahana itu sebenarnya diperuntukkan bagi anak-anak. Namun tadi ada orang tua yang ikut naik, bahkan beberapa pengunjung menaiki tangga atas untuk mengambil foto. Akibatnya, penyangga tidak kuat menahan beban,” katanya.
Kata-kata itu terdengar seperti pengakuan jujur, tapi juga pengakuan kegagalan. Karena jika benar wahana itu hanya untuk anak-anak, mengapa tidak ada pengawasan ketat?
Lalu, mengapa tidak ada pembatas fisik? Mengapa izin operasional diberikan tanpa audit teknis independen?
Izin Tak Menjamin Nyawa
Akbari bersikeras semua izin sudah dikantongi. Uji coba tiga hari dilakukan. Semua “aman”. Tapi nyatanya, aman di atas kertas tak selalu aman di lapangan.
Pasar malam ini direncanakan berlangsung hingga 21 November 2025, 35 hari penuh hiburan keluarga. Tapi di hari pertama saja, nyawa sudah jadi taruhan.
Polisi kini turun tangan. Polres Ketapang melalui Polsek Marau akan memanggil Akbari dan saksi-saksi.
“Langkah-langkah yang kami ambil adalah mengamankan lokasi kejadian, melakukan olah TKP, memanggil penanggung jawab wahana permainan untuk dimintai keterangannya serta saksi-saksi yang ada di TKP,” kata Kasi Humas Polres Ketapang, IPTU Niptah Alimudin.
Wahana ditutup sementara. Tapi pertanyaannya, berapa banyak “wahana pelangi” lain di pelosok Nusantara yang menunggu giliran ambruk?
Ini bukan sekadar kecelakaan. Ini cermin dari ekosistem hiburan rakyat yang abai pada standar keselamatan.
Pasar malam yang seharusnya jadi ruang rekreasi murah meriah sering kali jadi ladang uang tanpa regulasi ketat.
Tak ada sertifikasi struktur. Tak ada inspeksi berkala. Tak ada pelatihan darurat bagi kru lapangan. Yang ada hanya janji “seru”, “viral”, dan “instagramable”.
Padahal, menurut Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2018, setiap wahana permainan umum wajib memenuhi standar teknis keselamatan, termasuk beban maksimal, material tahan cuaca, dan sistem evakuasi.
Tapi, di daerah seperti Kabupaten Ketapang, aturan itu sering jadi hiasan dokumen bukan pegangan operasional.
Dari Ketapang untuk Indonesia
Insiden atau kasus besar di Air Upas bukan kasus tunggal. Tahun lalu, di Pasar Malam Surabaya, ayunan “Flying Chair” lepas dari porosnya.
Di Bandung, trampolin anak-anak kolaps karena rangka karatan. Di Makassar, bianglala mini terguling karena angin kencang dan tak ada rem darurat.
Yang menyedihkan adalah korban selalu rakyat kecil. Orang tua yang menabung seminggu demi bawa anak naik perosotan.
Anak-anak yang percaya dunia ini aman karena lampunya berwarna pelangi justru mengusik keceriaan plus keriangan bocah-bocah.
Sementara, pelaku jika tak ada korban jiwa cukup bayar biaya rumah sakit, pasang wajah prihatin, lalu buka lagi minggu depan di kota sebelah.
Akbari bilang siap tanggung jawab. Tapi tanggung jawab bukan hanya soal biaya pengobatan. Tanggung jawab adalah memastikan ini tak terulang.
Adalah transparansi total soal desain, material, dan kapasitas wahana. Adalah audit independen sebelum izin dikeluarkan.
Pemerintah desa dan kecamatan juga tak boleh lepas tangan. Memberi izin tanpa verifikasi teknis sama saja memberi izin untuk celaka.
Rakyat juga perlu belajar. Jangan biarkan antusiasme mengalahkan akal sehat. Jika wahana penuh, tunggu.
Jika anak-anak dipaksa berdesakan, protes. Jika struktur terlihat rapuh, laporkan. Karena hiburan tak boleh jadi kuburan.
Pasar malam adalah cermin semangat gotong royong, kreativitas lokal, dan kegembiraan sederhana menambah hiburan anyar.
Tapi, semangat itu harus juga dibangun di atas fondasi yang sangat kuat, bukan kayu lapuk dan baut karat.
Semoga empat korban di Desa Air Upas Kabupaten Ketapang pulih segera. Semoga tulang yang patah bisa sembuh.
Tapi, semoga juga luka sistemik ini juga tidak ditutup begitu saja dengan janji manis dan video klarifikasi.
Karena, pelangi sejati bukan yang warna-warni di malam hari saja, tapi muncul setelah hujan keadilan turun membasahi muka bumi ini.