
Hari itu, Senin, 1 September 2025, mahasiswa dari berbagai sudut kota kembali memenuhi pelataran Kantor DPRD Kalimantan Barat. Bukan sekadar datang, mereka membawa tuntutan, keresahan, dan harapan.
Di tengah denyut Kota Pontianak yang lembab dan gerah, semua mata tertuju pada Aloysius, Ketua DPRD Kalbar, dan Ria Norsan, Gubernur Kalbar, yang akhirnya turun langsung menyapa mereka.
Suara Rakyat Menggema
Siang itu, udara Pontianak terasa sarat dengan debu dan ketegangan. Spanduk-spanduk berwarna pudar, coretan tuntutan yang lahir dari kebingungan, dan suara toa yang serak menjadi saksi satu peristiwa generasi muda menolak diam.
“Aspirasi mahasiswa adalah suara nurani,” ucap Aloysius, dengan nada yang mencoba meredakan kegelisahan di wajah-wajah muda di hadapannya.
Bagi Aloysius, bukan perkara mudah mengatur alur komunikasi antara pemerintah dan mahasiswa. Namun, ia tahu satu hal: menolak mendengar hanya akan memperbesar jarak.
“Jam dua silakan demo, kita terima semua. Saya akan kondisikan kepemimpinan fraksi hadir,” katanya lirih, seolah mengafirmasi bahwa demokrasi tak boleh berjarak dari rakyatnya.
Di balik senyumnya, ada kesadaran bahwa Pontianak hari ini tak sama dengan kemarin.
Media sosial yang tak kenal tidur membuat satu kesalahan bisa berubah jadi bara, dan satu aba-aba bisa memicu ribuan langkah kaki.
Gubernur Ria Norsan Turun Menyapa
Tak lama kemudian, Ria Norsan, sang gubernur, turun langsung menemui massa aksi.
Tanpa pagar besi, tanpa helikopter kata-kata, dan tanpa barisan pengaman yang kaku. Norsan memilih berdiri di tanah yang sama dengan mahasiswa.
Wajahnya tenang, matanya teduh. Di sekelilingnya, massa aksi dari BEM Fisip Untan Pontianak menyambut dengan sorak lirih, seolah heran sekaligus lega melihat seorang gubernur mau membuka telinga, bukan sekadar memberi perintah.
“Mahasiswa ini sudah seperti anak-anak saya,” ucapnya, menatap satu per satu wajah di hadapannya. “Aspirasi mereka penting, demi Kalbar yang lebih baik.”
Kalimat sederhana, tetapi bergema panjang. Ada rasa ayah yang menepuk bahu anaknya, meyakinkan mereka bahwa suara mereka tidak hilang di jalan-jalan kota.
Dialog itu berjalan tanpa megafon, tanpa skenario, tanpa jarak antara kursi kekuasaan dan karpet aspal.
Sejenak, Pontianak menyaksikan simbol demokrasi yang jarang kita temui pejabat dan mahasiswa berdiri sejajar.
Aspirasi Jadi Janji
Demonstrasi hari itu tak hanya berakhir dengan orasi dan peluh. Ada sesuatu yang lebih mendalam janji untuk menindaklanjuti tuntutan mahasiswa hingga ke DPR RI. Aloysius berkomitmen, dan Ria Norsan memberi ruang musyawarah.
Namun, kita semua tahu, janji di negeri ini kerap jadi ritual. Apakah tuntutan ini akan menemukan jawabannya? Ataukah ia akan tenggelam di ruang-ruang rapat dengan pendingin udara dan kursi empuk?
Ria Norsan menutup dialognya dengan pesan sederhana. “Mari kita jaga Kalbar. Tetap arif, jangan terprovokasi hoaks. Kita wujudkan Kalbar yang aman, damai, tenteram, dan harmonis.”
Kata “harmonis” terasa lembut, tetapi Pontianak sore itu tahu bahwa harmoni bukan sekadar diam, melainkan mendengar, menanggapi, dan menindaklanjuti.
Aksi emonstrasi mahasiswa di Kota Pontianak kali ini memberi pelajaran penting tentang relasi kekuasaan dan rakyat.
Ruang Dialog Terbuka
Turunnya Ria Norsan dan sikap terbuka Aloysius adalah preseden baik. Demokrasi sehat lahir dari komunikasi, bukan represi.
Generasi Muda Sebagai Penentu Arah
Mahasiswa bukan sekadar pengkritik, tetapi penjaga akal sehat negeri. Suara mereka adalah barometer keberpihakan pemerintah.
Potensi Polarisasi
Di era digital, aspirasi mahasiswa bisa berubah menjadi gerakan sosial besar dalam hitungan jam. Pemerintah harus hadir bukan hanya meredakan, tetapi menyelesaikan akar masalah.
Demonstrasi Kota Pontianak adalah cermin ekosistem politik Kalbar hari ini panas, cair, tetapi penuh energi.
Ada tantangan besar, menjaga kepercayaan publik tanpa meredam keberanian mahasiswa.
Kota Pontianak perlahan sore. Matahari tenggelam di tepi Kapuas, dan suara mahasiswa pun mereda.
Di trotoar yang masih basah keringat, ada secarik janji yang tertinggal bahwa aspirasi tak boleh berhenti di pintu DPRD Kalbar.
Besok, mungkin jalanan kembali sunyi. Tetapi di hati mahasiswa, api itu tetap menyala api untuk didengar, diakui, dan diperjuangkan.