
Sertifikat Bukan Cuma Kertas, Ia Jadi Pintu Rezeki di Tepian Sungai Kapuas
Kalimantannews.id, Kapuas Hulu - Di ujung utara Kalimantan Barat, jauh dari hiruk-pikuk kota besar, di tanah yang dibelah Sungai Kapuas nan megah, ada sebuah kisah yang tak banyak orang tahu.
Bukan tentang qari-qariah yang melantunkan ayat suci dengan merdu, bukan pula tentang panggung megah atau sorot lampu kamera.
Tapi tentang selembar kertas sertifikat tanah yang diam-diam mengubah hidup puluhan keluarga di Kapuas Hulu.
Ya. Di tengah gegap gempita MTQ ke-33 Tingkat Provinsi Kalimantan Barat yang digelar di Putussibau, 14-20 September 2025, ada satu stand yang tak sekadar jualan. Ia bercerita.
Ia bersaksi. Ia menangis haru dalam diam. Stand Kantor Pertanahan Kabupaten Kapuas Hulu.
Di sana, bukan brosur atau peta tanah yang dipajang. Tapi kain tenun Sidan yang warnanya seperti senja di tepi danau.
Sape kecil yang nadanya menggetarkan jiwa Dayak. Kopi Kropinka bubuk yang aromanya menggoda lidah sebelum sempat diseduh.
Asbak berbentuk trenggiling, hewan langka yang jadi simbol kearifan lokal yang dipahat dengan tangan penuh sabar.
“Ini bukan pameran dagang biasa,” ujar Dicky Zulkarnain, Kepala Kantor Pertanahan Kapuas Hulu, Selasa, 16 September 2025, matanya berbinar.
“Ini bukti bahwa reforma agraria bukan cuma program pemerintah. Ia napas hidup. Ia harapan. Ia masa depan,” ucapnya menambahkan.
Rakyat Pun Berdaya
Mari kita mundur sedikit. Tahun 2023. Saat program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) dan Redistribusi Tanah mulai digulirkan di pelosok Kapuas Hulu.
Bukan cuma mengukur batas tanah. Bukan cuma memberi nomor dan cap resmi. Tapi juga memberi pendampingan. Memberi akses. Memberi keberanian.
Melalui program Akses Reform, Kantor Pertanahan tak hanya jadi birokrat pencatat tanah. Mereka jadi fasilitator. Jadi mentor. Jadi teman ngobrol di bawah pohon rindang sambil minum kopi panas.
“Kami ajak mereka berpikir tanahmu sekarang legal. Apa yang bisa kau buat darinya?” kata Dicky, suaranya pelan tapi penuh keyakinan.
Dan jawabannya? Luar biasa. Ibu-ibu di Nanga Danau mulai menanam kunyit organik, lalu mengolahnya jadi bubuk instan yang dikemas cantik.
Remaja di Embaloh Hulu misalnya. Mereka belajar menenun sutra rajut, motifnya terinspirasi dari legenda nenek moyang.
Bapak-bapak di Putussibau Utara mengukir kayu jadi miniatur tameng Dayak, simbol keberanian yang kini jadi oleh-oleh wisatawan.
Semua produk itu dari syal tenun hingga kerupuk buah naga lahir dari tanah yang kini punya nama pemilik resmi.
Dari tanah yang dulu tak jelas statusnya, kini jadi jaminan usaha, jadi modal pinjaman, jadi pijakan untuk berdiri tegak.
Rasa dari Hati Borneo
Dan di MTQ 2025 ini, semua karya itu dipamerkan. Bukan sebagai pelengkap. Tapi sebagai inti cerita.
Bayangkan di antara lantunan merdu Al-Qur’an, di sela-sela lomba hafalan dan tartil, ada aroma bubur pedas yang menggugah selera.
Ada suara gemerincing gelas teh dari set teko keramik buatan tangan. Ada tawa anak-anak yang memegang miniatur sape, alat musik tradisional Dayak yang kini jadi mainan edukatif.
“Kami sengaja sajikan kuliner khas juga kerupuk basah dan bubur pedas,” kata Dicky menjelaskan lebih lanjut.
“Agar pengunjung tak hanya melihat, tapi merasakan. Merasakan semangat masyarakat sini. Semangat yang lahir dari tanah yang dulu terlantar, kini jadi sumber rezeki.”
Ini bukan sekadar pameran UMKM. Ini adalah narasi besar tentang keadilan agraria yang berwajah manusiawi.
Tentang bagaimana negara hadir bukan hanya dengan regulasi, tapi dengan empati. Dengan pendampingan.
Dengan keyakinan bahwa rakyat kecil pun bisa berdaya asal diberi pijakan yang kuat.
Bukan Hanya Peta
Apa yang dilakukan Kantor Pertanahan Kapuas Hulu adalah contoh sempurna dari “agraria berbasis manusia”.
Bukan sekadar bagi-bagi sertifikat. Tapi membangun ekosistem. Membangun rantai nilai. Membangun harga diri.
Dalam dunia jurnalistik feature, ini adalah “human interest” yang sempurna. Kita tak bicara angka berapa hektar tanah yang disertifikasi, berapa miliar rupiah nilai ekonominya.
Tapi kita bicara tentang Maria, ibu tiga anak yang kini punya usaha tenun Sidan dan bisa menyekolahkan anaknya sampai SMA.
Kita bicara tentang Pak Usman, pensiunan guru yang kini jadi pengrajin asbak arwana, dan tiap bulan punya penghasilan tambahan.
Ini adalah cerita tentang transformasi diam-diam. Tentang bagaimana kebijakan nasional yang sering dianggap kering dan birokratis bisa berubah jadi nyawa di akar rumput.
Dan MTQ? Ia menjadi panggung sempurna. Bukan hanya karena even ini besar, ramai, dan dihadiri pejabat tinggi.
Tapi karena MTQ adalah perayaan nilai-nilai spiritual dan sosial. Di mana agama, budaya, dan ekonomi bertemu dalam harmoni.
Ketika qari melantunkan Surah Ar-Rahman, di stand sebelah, seorang ibu tersenyum lebar karena kopi Kropinka-nya laris manis. Itu bukan kebetulan. Itu simbol.
Bahwa rezeki tak hanya datang dari langit, tapi juga dari tanah — tanah yang dikelola dengan hak, dengan ilmu, dengan cinta.
Lokal, tapi Universal
Bayangkan kamu berjalan di arena MTQ Putussibau. Udara lembab, aroma dupa dan rempah bercampur.
Suara rebana dan gendang mengalun. Lalu kamu berhenti di satu stand tak megah, tapi hangat.
Seorang nenek duduk di belakang meja, tangannya masih lincah menenun. Matanya tajam, tapi senyumnya lembut.
“Ini motif Nanga Manday,” katanya. “Dulu dipakai saat upacara adat. Sekarang jadi syal buat anak muda.”
Kamu sentuh kain itu. Lembut. Hangat. Penuh cerita. Di sebelahnya, seorang bocah laki-laki memegang miniatur sape. “Aku mau jadi pemain sape kayak kakek,” katanya polos.
Dan kamu sadar. Inilah Indonesia yang sesungguhnya. Bukan di gedung pencakar langit Jakarta.
Tapi di sini. Di Kapuas Hulu. Di mana tanah diberi hak, lalu melahirkan seni. Melahirkan usaha. Melahirkan mimpi.
Ketika Negara Hadir, Rakyat Pun Berbunga
Di penghujung hari, saat lentera MTQ mulai dinyalakan, dan lantunan ayat suci kembali berkumandang, stand Kantah Kapuas Hulu masih ramai.
Tak ada spanduk besar. Tak ada iklan berbayar. Cuma produk kecil yang penuh makna. Cuma senyum tulus para pengrajin. Cuma secangkir kopi Kropinka yang masih hangat di tangan pengunjung.
Tapi di situlah letak keajaibannya. Karena pembangunan sejati bukan diukur dari beton dan jalan tol. Tapi dari berapa banyak hati yang berubah.
Berapa banyak tangan yang kini berani bermimpi. Berapa banyak anak yang bisa sekolah karena ibunya punya usaha dari tanah warisan yang kini legal.
Kantor Pertanahan Kapuas Hulu tak cuma mengukur tanah. Mereka mengukur harapan. Dan di MTQ 2025 ini, mereka membuktikan ketika tanah diberi hak, rakyat pun berbunga.
Seperti bunga teratai di rawa Kapuas Hulu, tumbuh dari lumpur, tapi mekar dengan indah memanjakan mata melihatnya.