
Kalimantannews.id, Sambas - Sambas, sebuah kabupaten di tepi utara Kalimantan Barat, berdiri seperti rumah tua yang catnya mengelupas.
Dari jalan-jalan yang berlubang, rakyat memandang langit yang sama setiap hari langit janji tanpa tindak.
Di antara debu dan lubang, roda sepeda motor terguncang. Jalan rusak bukan sekadar pemandangan, tapi ancaman keselamatan yang setiap hari ditelan pasrah.
“Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi keselamatan,” suara Uray Guntur Saputra, mantan anggota DPRD, bergema pada Minggu, 21 September 2025 di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Kritiknya lahir bukan dari kemarahan pribadi, melainkan cinta pada tanah kelahiran.
Ia tahu, jalan-jalan yang tak kunjung diperbaiki adalah nadi yang tersumbat. Bagaimana ekonomi mengalir bila nadi sendiri tak berfungsi?
Ekonomi Lemah Lesu
Pasar rakyat tetap buka setiap pagi, namun dagangan tak seramai dulu. Harga naik, daya beli turun, dan senyum pedagang seperti langit sore yang mendung.
Ekonomi Sambas, kata Uray Guntur Saputra, seperti perahu tua yang oleng di arus deras tanpa ada kejelasan yang pasti.
Pemerintah berdalih keterbatasan anggaran, namun rakyat melihat pos-pos belanja tak penting tetap disulap jadi pesta angka.
Kritik bukan racun. “Kritik itu vitamin,” ucap Uray Guntur Saputra, mengingatkan bahwa suara rakyat tak boleh dikecilkan seperti nyamuk di telinga pejabat.
Tapi sering kali, kritik dianggap seperti badai dihindari, bukan dipelajari. Ketika demokrasi dijalankan dengan telinga tertutup, rakyatlah yang paling menanggung lelah.
Ingat! Ini Uang Rakyat
Uray Guntur Saputra menegaskan, “Pejabat itu digaji dari uang rakyat. Kalau tak siap dikritik, jangan jadi pejabat publik.”
Kalimat itu menampar halus. Publik tak menuntut keajaiban, hanya konsistensi.
Visi dan misi yang dulu digembar-gemborkan kini terasa seperti poster pudar di dinding kantor.
Janji Sambas Maju tinggal jargon, tak lebih dari slogan kosong. Rakyat menunggu, tapi menunggu tak akan membangun jembatan atau menambal jalan.
Di setiap kampung, cerita serupa bergema ibu-ibu menyeberang jalan rusak dengan hati waswas, anak-anak berjalan kaki menempuh sekolah dengan sandal jepit yang terkoyak.
Di malam hari, lampu jalan mati, dan gelap menjadi teman setia. Sementara itu, ruang rapat pemerintah tetap terang benderang oleh proyektor dan wacana.
Ingat juga, bahwa Sambas bukan kota tanpa harapan. Ia hanya butuh pemimpin yang berani mendengar, berani berbenah.
Dialog bukan kelemahan, kritik bukan ancaman. Seperti vitamin, kritik menyehatkan bila ditelan dengan kesadaran.
Uray Guntur Saputra mengingatkan kembali, “Kita ingin Sambas benar-benar maju, bukan sekadar slogan kosong. Itu hanya bisa tercapai jika pemimpin berani mendengar, berdialog, dan berbenah.”
Kini bola ada di tangan Pemda Kabupaten Sambas. Apakah mereka akan terus menutup telinga, atau membuka hati demi rakyat yang menunggu jalan pulang tanpa lubang dan janji yang benar-benar ditepati?
Sambas menunggu. Rakyatnya tak ingin sekadar menulis sejarah kekecewaan. Mereka ingin menulis kisah perubahan, bukan dengan tinta air mata, melainkan langkah nyata.