
Kepemimpinan Bupati Satono dan Wakil Bupati Heroaldi Djuhardi Alwi yang dulu dielu-elukan dengan janji perubahan, kini menjadi sorotan.
Kalimantannews.id, Sambas - Sambas, Kalimantan Barat, di bawah langit yang menyimpan seribu keluh, Al Mizan berdiri.
Matanya basah, bukan karena angin sore, melainkan karena getir yang merayap ke relung hati gundah gula.
“Ada bau busuk di daerah ini,” bisiknya, lirih namun tegas, seolah setiap huruf ingin menampar telinga para pemegang kuasa.
Adalah Al Mizan. Ia pemerhati ekonomi dan sosial Kabupaten Sambas, tak lagi bisa menahan kekecewaan.
Kepemimpinan Bupati Satono dan Wakil Bupati Heroaldi Djuhardi Alwi yang dulu dielu-elukan dengan janji perubahan, kini menjadi sorotan.
Transparansi dan akuntabilitas? Baginya, kata itu masih sebatas slogan yang tergantung di spanduk rapuh.
Jalan Terjal Berdebu
Di desa-desa Sambas, jalan yang rusak seakan menjadi monumen kegagalan. Aspal mengelupas, lubang menganga seperti mulut menuntut janji.
Rakyat di sana menunggu, menahan sabar yang kian menipis. “Bagaimana pelayanan publik bisa bermutu bila jalannya saja tak sanggup menampung langkah?” tanya Al Mizan dengan nada getir.
Ia menyoroti kebutuhan rakyat yang terabaikan. Infrastruktur yang tak kunjung dibenahi, pelayanan publik yang jauh dari kata optimal, dan pengelolaan keuangan daerah yang masih tersaput kabut.
Bagi Al Mizan, semua itu adalah pertanda pemerintah daerah Kabupaten Sambas belum menunaikan tugasnya dengan baik dan benar.
Ini Suara Rakyat
“Pemimpin yang baik adalah yang mendengar dan merespons,” ujarnya pada Minggu, 21 September 2025.
Kata-kata itu bukan sekadar nasihat, tapi peringatan. Sebab, komunikasi antara pemimpin dan rakyat di Sambas bak sungai yang dangkal alirannya tersendat, pesan rakyat tak pernah tiba di hilir kebijakan.
Peringatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI beberapa waktu lalu seolah menjadi sirine keras yang diabaikan.
Transparansi dan akuntabilitas, kata KPK, bukan pilihan, melainkan kewajiban. Namun di Sambas, prinsip itu justru menguap, seperti kabut pagi yang hilang sebelum siang.
Sebuah Cermin Retak
Transparansi memungkinkan publik mengintip setiap keputusan, setiap rupiah yang keluar. Akuntabilitas memastikan setiap kebijakan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun cermin itu kini retak di Sambas. Apa yang terlihat hanya bayangan samar: janji yang tak pernah utuh, harapan yang patah sebelum mekar.
Al Mizan berdiri di tengah kabut ketidakpastian, suaranya menjadi gema yang mengguncang ruang kosong.
“Pemerintah harus berani membuka diri. Karena kepercayaan rakyat adalah modal yang tak ternilai,” dia menegaskan.
Menunggu Fajar Menyingsing
Rakyat Sambas kini menunggu. Menunggu fajar yang mungkin datang terlambat. Menunggu pemimpin yang benar-benar mendengar, bukan hanya berbicara di atas panggung.
Menunggu jalan-jalan kembali ramah pada tapak kaki. Menunggu pelayanan publik yang memanusiakan warga, bukan sekadar catatan di laporan tahunan.
Sementara itu, debu jalan tetap menari. Setiap hembusannya menjadi saksi bahwa janji politik tanpa transparansi hanyalah asap hilang sebelum sempat dihirup.
Di sudut kota, Al Mizan masih menatap, matanya basah, menyimpan doa agar Sambas tidak terus menjadi panggung janji yang tinggal kenangan.
Di bumi Sambas, rakyat tak butuh pidato panjang. Mereka hanya menagih yang sederhana, akuntabilitas dan transparansi.
Sebab, dari situlah kepercayaan tumbuh. Dan bila kepercayaan itu mati, maka seluruh janji yang pernah diucap tak lebih dari cerita berdebu yang terbawa angin.