Peluh Haru Bumi Borneo Barat: Darah Merah di Tanah Hijau, Bakti TNI Putussibau Menggugah Nurani Negeri - Kalimantannews.id

Peluh Haru Bumi Borneo Barat: Darah Merah di Tanah Hijau, Bakti TNI Putussibau Menggugah Nurani Negeri

Peluh Haru Bumi Borneo Barat: Darah Merah di Tanah Hijau, Bakti TNI Putussibau Menggugah Nurani Negeri

Peluh Haru Bumi Borneo Barat: Darah Merah di Tanah Hijau, Bakti TNI Putussibau Menggugah Nurani Negeri
Kalimantannews.id, Kapuas Hulu - Putussibau, Kalimantan Barat, di tanah basah yang selalu mencatat hujan dan suara hutan, merah darah menitik di Aula Alam Hana Kodim 1206/Putussibau.

Minggu, 21 September 2025, bukan sekadar angka di kalender. HUT ke-80 Tentara Nasional Indonesia atau TNI menjelma jadi panggung kemanusiaan.

Di bawah lampu putih dan aroma antiseptik, seratus dua puluh tujuh kantong darah mengalir dari lengan prajurit dan Persit—istri tentara yang setia mendampingi ke tabung-tabung yang akan menyambung napas banyak orang.

Namun, seperti selalu, di balik sorak sederhana ada catatan getir. Dari 300 orang yang hadir, 173 harus pulang dengan tangan kosong tensi terlalu tinggi. 

Tensi terlalu rendah, hemoglobin merosot, tubuh lelah baru dua bulan lalu mendonorkan, ibu menyusui, dan para perempuan yang sedang menstruasi. Syarat medis kerap lebih keras daripada semangat.

Denyut Nurani Negeri

Dandim 1206/Putussibau, Letnan Kolonel Armed Andreas Prabowo Putro, berdiri di depan mikrofon, suaranya menembus riuh kipas angin.

“Semoga kegiatan donor darah ini memudahkan pasien yang membutuhkan,” ucapnya lirih namun tegas, seperti perintah yang tak bisa ditolak.

Kata-kata itu bukan pidato seremonial belaka. Di RSUD Achmad Diponegoro, stok darah memang sering menipis.

Satu bulan terakhir, permintaan melonjak seperti air pasang, menampar kesadaran kita semua, seberapa sering kita menunda jadi pendonor?

TNI, yang kerap dipersepsi keras, hari itu jadi lengan kemanusiaan. Mereka mengajak masyarakat menyingkirkan ketakutan lama mitos jarum, takut pusing, trauma jarum suntik.

“Donor darah justru menyehatkan,” pesan sang Dandim. Sebuah ajakan sederhana yang seharusnya lebih nyaring daripada sirine ambulans di malam hari.

Merah Menyambung Hidup

Di sudut aula, deretan kursi plastik biru jadi saksi darah tak peduli pangkat. 

Dari prajurit muda hingga Persit berkerudung, dari Yonif 644/Walet Sakti hingga relawan PMI Kapuas Hulu, mereka menunggu dengan sabar.

Tetes demi tetes mengalir, bagaikan hujan rimba yang menumbuhkan kembali akar kehidupan.

Tapi angka tetap bicara: 127 kantong bukanlah panacea. Di luar sana, pasien anemia, korban kecelakaan, dan ibu melahirkan menunggu darah yang tak selalu tersedia.

Di negeri yang luas, pasokan darah seperti mimpi yang sering bocor di tengah malam.

Di Putussibau, kota kecil di hulu Kapuas tantangan itu terasa lebih pekat. Transportasi jauh, kesadaran masyarakat naik turun, dan rumah sakit kerap bekerja di ujung batas.

Ironi pun tak bisa dihindari. Negara ini kerap membangun monumen megah dan merayakan seremoni besar, namun stok darah untuk nyawa warganya masih seperti undian.

Apa artinya pesta militer jika di ranjang RSUD seseorang meregang nyawa menunggu tetesan merah? Pertanyaan yang menggantung, namun jarang dijawab tuntas oleh kebijakan.

Kodim 1206/Putussibau dan para prajuritnya hari itu menunjukkan wajah lain TNI bukan hanya seragam loreng dan derap senapan, melainkan nadi kemanusiaan.

Tapi, bukankah seharusnya ini bukan hanya tugas TNI? Bukankah setiap warga, setiap pejabat, setiap kota, punya kewajiban sama?

Panggilan dari Hulu Kapuas

Aksi donor darah ini hanyalah secuil dari perjuangan panjang menjaga stok darah nasional. Setiap tetes merah di Aula Alam Hana adalah pengingat bahwa kemanusiaan bukan sekadar slogan.

Dari Putussibau, pesan itu mengalir ke seluruh negeri, mari berhenti menunggu krisis, mari berhenti menunda.

Saat senja menutup langit Pulau Kalimantan bagian barat itu, 127 kantong darah disiapkan untuk perjalanan ke RSUD Achmad Diponegoro.

Di luar, Sungai Kapuas mengalir tenang, seolah membawa pesan: kehidupan tak menunggu.

Di ulang tahunnya yang ke-80, TNI memberi hadiah bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk nyawa orang lain.

Di tanah hutan yang hijau, darah merah menegaskan satu hal: kita semua penjaga kehidupan. Jangan biarkan angka-angka di rumah sakit terus menjadi kabar duka.

Formulir Kontak