
Sindiran Poco dan Google pada desain iPhone 17 Pro menyingkap ironi: siapa sesungguhnya pencipta, siapa peniru? Publik jadi saksi drama kamera.
Kalimantannews.id, Pulau Kalimantan - Apple kembali mengundang gelombang sindiran tanpa hentinya.
Bukan karena performa, bukan pula karena ekosistem iOS yang terkunci, melainkan gara-gara sepotong besi dan kaca yang menempel di punggung iPhone 17 Pro: pulau kamera baru yang berbentuk palang membentang.
Apple menyebutnya revolusi estetika. Di ruang digital, netizen menyebutnya déjà vu. Dan di meja Poco, desain ini hanya dianggap fotokopi murahan dari dunia Android.
Sindiran itu datang lugas. Poco memamerkan F6 Pro—yang sejatinya hanyalah rebranding Redmi K70 Pro keluaran 2023 dengan kamera belakang memanjang. Pesannya jelas “Hei Apple, selamat datang di tahun 2023.”
Namun Poco bukanlah pionir sejati. Dunia Android sudah lebih dulu berani menabrak pakem.
OnePlus 8T Cyberpunk Edition, lahir tahun 2020, sudah menempelkan bilah kamera panjang di punggungnya. Jadi, bila Apple disebut “inovator,” publik hanya bisa terkekeh getir.
Sindiran Poco Google
Google pun tak mau kalah dalam pesta sindiran. Jauh sebelum peluncuran resmi iPhone 17 Pro, sebuah video Google Pixel meluncur di bulan Mei 2025, menyinggung Apple yang “terinspirasi” dari bilah kamera Pixel.
Mereka menyindir dengan elegan seolah ingin berkata: “Kalau mau meniru, lakukan dengan halus.”
Tapi tetap saja, bedanya hanya pada finishing. Google Pixel punya garis kamera yang tegas, futuristik, menyatu dengan identitasnya.
Sementara iPhone 17 Pro hadir seperti pencuri malam yang meninggalkan jejak kasar di kaca Ceramic Shield.
Di sini, publik disuguhi tontonan dua rival Android bergantian mengolok-olok Apple, bukan karena kecanggihan, tapi karena bentuk kotak hitam kecil yang menjadi identitas smartphone modern.
Kritik Rangka Unibody
Apple tentu mencoba menutup cela sindiran dengan jargon teknis. iPhone 17 Pro hadir dengan rangka unibody aluminium, ditemani kaca Ceramic Shield yang katanya lebih kuat dari baja. Tapi benarkah kekuatan ini menyelamatkan?
Sayangnya tidak. Seindah apa pun unibody itu dipoles, konsumen kelas menengah sudah muak melihat harga selangit tanpa perbedaan nyata dari generasi sebelumnya.
Kaca tetap kaca, mudah retak bila jatuh di jalanan beton. Dan di balik “perisai keramik” itu, dompet pengguna juga ikut retak.
Ironinya, Apple terus menekankan sisi desain, seolah-olah bentuk kamera yang memanjang mampu menebus kekecewaan pengguna atas fitur yang stagnan.
Padahal dunia tahu, kamera iPhone masih kalah berani dibanding kompetitor yang sudah lama bereksperimen dengan sensor periskop, zoom gila-gilaan, dan AI kamera yang lebih matang.
Kekurangan Produk
Bila ditarik benang merah, kelemahan iPhone 17 Pro begitu nyata:
- Desain kamera déjà vu. Bukan hal baru, hanya modifikasi dari apa yang sudah ada di Android sejak 2020.
- Harga selangit. Sementara Poco F6 Pro dan Pixel menawarkan bentuk serupa dengan harga jauh lebih ramah.
- Kaca Ceramic Shield rapuh. Klaim tahan banting hanyalah jargon, karena tetap rentan pecah.
- AI kamera belum secerdas pesaing. Kompetitor Android sudah lebih dulu menyajikan pemrosesan pintar yang lebih adaptif.
- Identitas desain kabur. Alih-alih memimpin tren, Apple kini terlihat seperti pengikut.
Sementara itu, Poco F6 Pro juga tidak bebas cela. Meski berani menyindir, ia hanyalah “bayangan” dari Redmi K70 Pro.
Tidak ada orisinalitas, hanya strategi branding ulang. Google Pixel pun punya dosa performa baterai yang sering jadi sorotan, serta distribusi pasar terbatas.
Jadi, siapa yang benar-benar unggul? Mungkin tak satu pun.
Pada akhirnya, sindiran Poco dan Google terhadap Apple hanyalah cermin retak dunia teknologi semua berebut tampil sebagai inovator, tapi pada saat yang sama saling menjiplak.
Konsumen jadi saksi permainan ironi di mana kamera bukan lagi alat dokumentasi, tapi simbol gengsi, sindiran, dan kompetisi palsu.
Apple mungkin masih menjual mimpi dengan harga premium, Poco menjual sindiran dengan harga murah, dan Google menjual ironi dengan gaya akademis.
Namun yang tertinggal hanyalah rasa getir di hati pengguna: teknologi modern semakin terasa seperti sandiwara di panggung pasar.