Kasus Kriminalisasi Warga oleh PTPN IV Regional V Kalimantan Timur: Antara Hak Agraria dan Taring Perusahaan Negara Tidak Terbendung - Kalimantannews.id

Kasus Kriminalisasi Warga oleh PTPN IV Regional V Kalimantan Timur: Antara Hak Agraria dan Taring Perusahaan Negara Tidak Terbendung

Kasus Kriminalisasi Warga oleh PTPN IV Regional V Kalimantan Timur: Antara Hak Agraria dan Taring Perusahaan Negara Tidak Terbendung

Kasus Kriminalisasi Warga oleh PTPN IV Regional V di Kalimantan Timur: Antara Hak Agraria dan Taring Perusahaan Negara Tidak Terbendung
Intimidasi di Ladang Sawit: Saat Ibu Pertiwi Menangis di Pulau Kalimantan

Kalimantannews.id, Kabupaten Paser - Di tengah hutan Kalimantan yang semakin hari, semakin sunyi.

Itu bukan karena malam menjelma, tapi karena burung-burung berhenti berkicau—ada sebuah tragedi diam-diam sedang terjadi.

Bukan drama sinetron dibumbui cinta segitiga atau intrik politik ala layar kaca. Ini adalah kisah nyata tentang tanah, darah, dan air mata.

Tentang bagaimana sebagian dari kita masih percaya bahwa uang dan kuasa bisa menggantikan hak asasi manusia.

Di tengah-tengah semua itu, hadirlah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Regional V—dulunya dikenal sebagai PTPN XIII.

Entah kenapa perusahan plat merah ini lebih suka bermain polisi-polisian dengan rakyat kecil ketimbang fokus pada produksi minyak goreng untuk pasar domestik.

Ketika Hukum Jadi Senjata, Bukan Pelindung

Dalam dunia ideal, hukum adalah payung bagi mereka yang lemah. Tapi di ladang sawit Paser, Kalimantan Timur, hukum tampaknya telah menjadi pedang bermata dua sengaja diayunkan ke arah rakyat jelata. 

Dua orang warga Desa Lombok dan Pasir Mayang baru-baru ini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang dilaporkan oleh perusahaan sawit milik negara tersebut.

Kasus Kriminalisasi Warga oleh PTPN IV Regional V di Kalimantan Timur: Antara Hak Agraria dan Taring Perusahaan Negara Tidak Terbendung

Tersangka? Untuk apa? Bukan karena membakar hutan atau merampok truk CPO. Melainkan karena berani memperjuangkan tanah mereka.

Kedengaran seperti cerita dari abad pertengahan, bukan? Bony dari organisasi Sawit Watch menyebutkan betapa intensifnya tekanan yang dialami warga.

Kehadiran aparat kepolisian, pemanggilan saksi, patroli di permukiman, sampai pemeriksaan mendadak—semua ini jelas bukan suasana yang mengundang damai.

Ini adalah bentuk psikologis perang yang dimainkan secara halus, namun efektif membuat masyarakat takut melawan.

“Ini melemahkan semangat perjuangan,” ucapnya. Dan siapa yang bisa menyalahkan mereka? 

Bayangkan saja, setiap kali langkah Anda digerakkan oleh rasa ingin bertahan hidup dan memiliki tanah, tetiba ada surat panggilan polisi yang datang seperti angin badai di tengah malam.

Akar Konflik Iu Tanah Dirampas, Hati Pun Terluka

Menurut Bony, akar masalahnya adalah klaim lahan yang tidak disertai proses pembebasan yang sah. 

Ini bukan soal "siapa duluan" atau "siapa punya sertifikat". Ini soal pengabaian hak dasar masyarakat lokal dan adat telah hidup selama berabad-abad di atas tanah kini diklaim sebagai wilayah operasional perusahaan negara.

Jadi, mari kita luruskan satu hal: ini bukan sekadar konflik antara “warga” dan “perusahaan”. 

Ini adalah pertarungan antara hak asasi manusia dan mesin birokrasi yang kadang lebih suka mengabdi pada kapital daripada pada rakyat.

Rakyat Terlibat Konflik

Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, bahkan menegaskan kalau konflik agraria ini bersifat sistemik. 

Data mereka mencatat bahwa sepanjang 2024, ada 1.126 komunitas masyarakat yang terlibat konflik dengan perkebunan sawit skala besar. 

Angka itu bukan hanya statistik. Di balik angka itu ada anak-anak yang kehilangan sawah nenek moyangnya. 

Ibu-ibu yang harus berjuang ekstra keras mencari nafkah, serta lansia yang tak lagi bisa tidur nyenyak karena ancaman ganti rugi yang tak pernah terealisasi.

Perusahaan Negara, Tapi Siapa Diwakili?

Yang menarik dan sangat ironisnya adalah perusahaan yang terlibat adalah milik negara.

 Artinya, secara logika, seharusnya ia bekerja demi kepentingan publik. Tapi kenyataannya? Masyarakat justru yang menjadi korban. Apakah ini yang disebut pembangunan? Atau justru penjarahan berkedok investasi?

Surambo menyarankan agar penyelesaian konflik dilakukan melalui dialog yang adil dan transparan, bukan dengan pendekatan represif. 

Namun, dalam praktiknya, dialog seringkali menjadi ritual formalitas belaka. 

Sementara itu, warga yang tidak paham hukum harus menghadapi proses hukum yang rumit, biaya tinggi, dan seringkali tidak adil.

“Mereka butuh pendampingan hukum,” kata Surambo. Dan benar juga. Jika masyarakat tidak diberikan akses informasi dan dukungan legal, maka mereka akan terus terjebak dalam lingkaran ketidakpastian hukum. 

Sebuah lingkaran yang sudah pasti menguntungkan pihak-pihak yang memiliki kuasa dan modal besar.

Saat Burung Berhenti Berkicau

Kalimat pembuka dari artikel ini bukan metafora biasa. “Burung-burung berhenti berkicau.” 

Itu adalah simbol kerusakan ekosistem, simbol hilangnya harmoni antara manusia dan alam. Tapi lebih dari itu, itu juga simbol kemapanan yang mulai retak.

Karena di mana ada ketidakadilan, di situ pasti akan ada resistensi. Entah dalam bentuk protes fisik, entah dalam bentuk suara dari organisasi sipil seperti Sawit Watch, entah dalam bentuk tulisan seperti ini.

Masalah agraria di sektor perkebunan sawit bukanlah isu baru. Tapi yang membedakan kasus ini dengan yang lain adalah fakta bahwa pelaku utama adalah perusahaan negara. 

Ini menunjukkan bahwa bahkan institusi yang seharusnya melindungi rakyat bisa menjadi predator jika tidak dikontrol dengan baik.

Menuju Titik Terang atau Masih Gelap?

Pertanyaannya sekarang bukan lagi “Siapa salah?” tapi “Bagaimana cara memperbaiki?”

Pertama, diperlukan reformasi struktural dalam pengelolaan lahan sawit. Regulasi agraria harus diperkuat, termasuk perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan lokal. 

Kedua, harus ada mekanisme mediasi yang independen dan netral. Dialog antara perusahaan dan warga tidak boleh dipandu oleh pihak yang berpihak pada kekuasaan. 

Ketiga, masyarakat harus diberikan akses pendidikan hukum dan dukungan pendampingan untuk memastikan mereka tidak mudah dikriminalisasi.

Keempat, media, NGO, serta masyarakat sipil harus terus mengawal kasus-kasus seperti ini secara jelas. 

Karena jika kita diam, maka burung-burung itu juga tidak hanya berhenti berkicau. Mereka akan punah. 

Seperti suara hati nurani yang mati tertelan oleh bisnis kelapa sawit yang tak berwajah manusia. Tapi, malapetaka bencana.

Formulir Kontak