
Hari di mana segenap anak bangsa menengok ke belakang, merenungi sebuah bangkitnya kesadaran yang mengubah takdir negeri.
Budi Utomo, organisasi pelopor, bukan sekadar kumpulan pemuda, melainkan nyala api pertama yang menerangi jalan menuju Indonesia Merdeka.
Kini, 117 tahun kemudian, di tengah dunia yang semakin cair oleh teknologi, pertanyaannya menggelayut: Masihkah semangat Kebangkitan Nasional itu hidup? Ataukah ia hanya menjadi ritual tahunan yang kehilangan ruhnya?
Kilas Balik 1908: Ketika Bangsa Ini Mulai Bersuara
Tahun 1908 adalah titik balik. Di bawah cengkeraman kolonial Belanda, sekelompok pemuda STOVIA mendirikan Budi Utomo, organisasi modern pertama yang mengusung semangat kebangsaan.
Mereka bukan lagi melawan dengan bambu runcing, melainkan dengan pena, pemikiran, dan kesadaran kolektif.
Dr. Wahidin Soedirohoesodo, sang penggagas, bermimpi tentang pendidikan sebagai senjata. "Budi" (akal) dan "Utomo" (utama) menjadi filosofi: hanya dengan kecerdasanlah bangsa ini bisa merdeka.
Kawah Candradimuka Kesadaran Nasional
Budi Utomo adalah katalisator. Ia memicu lahirnya Sarekat Islam, Indische Partij, hingga akhirnya Sumpah Pemuda 1928.
Organisasi ini tidak hanya berjuang di bidang pendidikan, tetapi juga menjadi simbol bahwa perbedaan suku bukan penghalang persatuan.
Di Tengah Pusaran Tantangan Global
Tahun 2025 mengusung tema "Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat". Sebuah pesan yang relevan di tengah:
1. Disrupsi teknologi yang menggerus lapangan kerja tradisional.
2. Polarisasi politik yang mengancam kohesi sosial.
3. Ancaman krisis iklim yang membutuhkan solusi kolektif.
"Ingat, Harkitnas harus jadi momentum evaluasi: sudah sejauh mana kita membangun negeri?" tegas Yoggy Perdana Putra, Wakil Ketua DPRD Kota Pontianak.
Nasionalisme di Ujung Sangkalan Zaman
Politikus Gerindra asal Kecamatan Pontianak Utara ini menyuarakan:
"Nasionalisme sekarang bukan sekadar upacara bendera. Tapi bagaimana kita memastikan pembangunan merata, pendidikan terjangkau, dan toleransi tetap terjaga."
Yoggy Perdana Putra menambahkan, "Kita harus bangkit bersama. Tidak ada ruang untuk ego sektoral jika ingin Indonesia benar-benar kuat."
Sejarah adalah guru yang bisu, tetapi jejaknya selalu bersuara lantang. Di setiap 20 Mei, kita diajak mendengar kembali bisikan Budi Utomo: bahwa kebangkitan bukanlah destinasi, melainkan perjalanan.
Di pundak generasi sekarang, api itu harus terus menyala—diterjemahkan dalam karya, inovasi, dan persatuan.
Sebab, seperti kata Yoggy Perdana Putra, "Bangkit bukan sekadar seruan, tapi aksi nyata."