
Tomy Winata Punya Uang, Tapi Siapa Bayar Kerusakan Lingkungan?
Kalimantannews.id, Kayong Utara - Di sebuah desa sunyi bernama Lubuk Batu, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat, alam sedang merintih.
Bukan karena hujan deras atau banjir bandang—melainkan juga karena ulah manusia yang lupa diri akan dosa.
Kali ini, bukan gurun pasir atau gunung es yang mengancam, melainkan cairan hitam pekat seperti aspal dan oli bekas yang mengalir dengan lancar menuju sungai.
Sungai Pinang Besar, dulunya adalah nadi kehidupan masyarakat sekitar. Tempat mandi, mencuci, bahkan memancing ikan. Kini, airnya tak lagi bening.
Bau busuk menyengat sekali di sana. Ikan-ikan pun sepertinya lebih memilih mati daripada hidup diracun itu.
Siapa Pelaku Utamanya?
Menurut informasi yang beredar dihimpun, serta bukti visual dari video kiriman warga, kotoran hitam tersebut diduga kuat berasal dari dua raksasa sawit: PT Cipta Usaha Sejati ( CUS ) dan PT Jalin Vaneo (JV).
Dua perusahaan raksasa itu yang diketahui dimiliki oleh salah satu pengusaha besar Tanah Air, Tomy Winata.
Ya, dialah sang investor legendaris, pemilik tangan emas dan dompet tebal, yang entah kenapa seringkali meninggalkan jejak hitam di belakang langkahnya.
Pada 8 Mei 2025, tepatnya di Kantor Manajemen Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT Jalin Vanio, sebuah pertemuan penting digelar.
Ini bukan rapat biasa. Ini adalah agenda monitoring atas Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Kayong Utara.
Dan hadir di sana adalah Ketua DPRD Kayong Utara, Surya Aditya , beserta sepuluh anggota Panitia Khusus (Pansus), antara lain: Kamiriluddin, Abdul Zamad, Ishak, Alias Sahroni, Syarif Rendy, Ansori, Abdul Rani, Ahmad Basir, Samsuni, dan Syaeful Hartadin.
Sebagai ketua DPRD, Surya Aditya menjelaskan tujuan mereka turun ke lapangan adalah untuk "mengecek kali ada yang kurang-kurang".
Entah apa arti frasa "kurang-kurang" dalam konteks ini—mungkin maksudnya adalah celah hukum, ketidakadilan, atau mungkin juga sekadar gaya bicara birokratis agar tidak kedengaran terlalu keras.
Namun, setelah diskusi dengan manajemen perusahaan, Surya Aditya menyimpulkan, “Alhamdulillah hari ini kami sudah diskusi sama perusahaan dapat jawaban yang memuaskan terkait macam-macam hal yang ada di perusahaan salah satunya tenaga kerja, kesenjangan tenaga kerja.”
Wow! Jadi masalah limbah belum disebut, tapi sudah alhamdulillah? Ketika ditanya soal limbah, Surya Aditya menjawab singkat.
“Sudah diperbaiki. Kami tetap ngecek dan ditegaskannya ini daerah saya jangan sampai tidak sesuai apa yang disampaikan.”
Maka, dengan satu kalimat saja, masalah pencemaran sungai seolah hilang begitu saja alis ditelan bumi sunyi.
Seakan-akan masalah lingkungan bisa diselesaikan dengan retorika manis dan ucapan syukur hanya sebagai umpatan.
Padahal, di luar sana, warga masih mencium bau busuk, melihat ikan mati, dan sungai mereka berubah warna.
Pansus DPRD Turun Lapangan, Tapi Hanya Untuk Angguk-Angguk?
Yang menjadi pertanyaan publik: apakah kunjungan Pansus DPRD ini benar-benar bertujuan untuk membela rakyat? Atau hanya formalitas untuk menandai agenda tahunan?
Berdasarkan informasi yang dihimpun, meskipun kunjungan dilakukan, namun tim investigasi tidak langsung turun ke lokasi pencemaran secara independen.
Mereka datang ke kantor perusahaan, diterima dengan senyum ramah dan kopi hangat, lalu mendengarkan paparan dari manajemen. Setelah itu, mereka menyimpulkan segalanya sudah beres.
Ironisnya, warga justru menunjukkan bukti berupa video yang memperlihatkan aliran limbah hitam keluar dari saluran buatan perusahaan langsung ke aliran sungai alami. Namun, semua itu seolah diabaikan.
Beberapa pihak juga ternyata mulai mencurigai adanya upaya penyembunyian fakta dari pihak perusahaan.
Apalagi, jika kasus ini terbongkar, maka bisa memicu investigasi internasional, mengingat kedua perusahaan ini terafiliasi dengan standar RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) .
Bayangkan, jika dua lembaga itu tahu bahwa perusahaan mereka ternyata mencemari sungai, pasti akan ada konsekuensi besar.
Termasuk penalti, pencabutan sertifikasi, hingga reputasi buruk pada pasar global nantinya sudah depan mata.
Investor Harus Diapresiasi, Tapi Jangan Sampai Nenek Moyang Menangis
Surya Aditya sendiri sempat mengingatkan, “Kita tidak anti dengan yang namanya orang berinvestasi, namun perlu kita jaga rambu-rambu aturan jangan sampai ditabrak sehingga meresahkan masyarakat.”
Sebuah kalimat yang indah. Sayangnya, kalimat itu mudah diucapkan, sulit direalisasikan. Investor boleh saja membawa uang, membuka lapangan kerja, dan membangun infrastruktur.
Tapi jika dalam prosesnya mereka merusak lingkungan, mengabaikan hak-hak warga, dan bermain-main dengan regulasi, maka investasi itu tak ubahnya parasit yang menghisap darah tanah air.
Perusahaan kelapa sawit harus ingat: mereka tidak sedang berbisnis di lahan kosong itu tentunya tanggungjawab besar.
Mereka beroperasi di wilayah yang memiliki warisan budaya, ekosistem unik, dan masyarakat yang bergantung pada alam. Maka, tanggung jawab sosial dan lingkungan bukanlah opsi—itu adalah kewajiban.
Sawit Emas, Tapi Sungai Hitam: Antara Janji dan Realitas
Awalnya, hadirnya perusahaan sawit diharapkan membawa berkah bagi warga Lubuk Batu. Pembangunan, lapangan kerja, akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Tapi faktanya?
Warga kini hidup dalam ketakutan. Takut mencuci pakaian di sungai karena baunya menyengat setiap harinya.
Takut anak-anak bermain di dekat aliran air karena risiko kesehatan. Bahkan beberapa warga mulai mengeluh sakit kulit akibat kontak langsung dengan air yang tercemar.
Padahal, janji-janji manis saat awal operasional selalu dibarengi dengan kata "kesejahteraan", "pemberdayaan", dan "partisipasi masyarakat". Tapi kini, kata-kata itu tinggal kenangan.
Sementara itu, kalau pun perusahaan terus beroperasi tanpa henti, meski tuduhan pencemaran terus bergema.
Dan DPRD, yang seharusnya menjadi suara rakyat, justru tampak seperti sedang bermain sandiwara politik dengan skrip yang ditulis oleh perusahaan.
Perusahaan Klaim Bersih, Warga Tunjukkan Video Mengerikan
Salah satu warga, yang enggan disebutkan namanya berkata, “Saya lihat sendiri, Pak. Cairan hitam itu keluar dari pipa mereka, langsung masuk ke sungai. Katanya limbah sudah diolah, tapi kok ya seperti itu hasilnya?”
Video yang beredar menunjukkan aliran hitam pekat mengalir dari saluran drainase perusahaan, melewati pagar besi, dan masuk ke aliran sungai alami.
Tidak ada filter, tidak ada penjernihan. Hanya lubang pembuangan dan air yang membawa racun tiap saat.
“Mereka bilang sudah diproses, tapi hasilnya begini. Kalau begini terus, mau sampe kapan kami hidup di tengah bau busuk?” lanjut warga tersebut.
Kalimat Manis DPRD vs Bau Busuk Limbah Sawit
Setiap kali media menanyakan masalah lingkungan, para pejabat dan wakil rakyat selalu punya cara untuk menjawab dengan elegan.
Kata-kata seperti "sedang dalam proses evaluasi", "masih menunggu hasil laboratorium", atau "akan ditindaklanjuti" selalu menjadi andalan.
Sayangnya, kata-kata itu jarang diikuti dengan tindakan nyata. Mereka bicara tentang lingkungan, tapi tidak pernah benar-benar turun ke lapangan.
Mereka bicara tentang rakyat, tapi tidak pernah merasakan penderitaan rakyat. Dan inilah ironi terbesar: ketika wakil rakyat mengatakan "semua sudah diperbaiki", sementara rakyat masih hidup dalam kepulan bau busuk.
Tomy Winata Punya Uang, Tapi Siapa yang Bayar Kerusakan Lingkungan?
Tomy Winata, sebagai salah satu pemilik perusahaan ini, tentu tidak butuh simpati. Bukan sebalijnya derita.
Dia adalah pengusaha besar, dengan jaringan bisnis yang menyebar dari real estate, perkebunan, hingga layanan kesehatan.
Dia punya banyak uang, banyak pengacara, dan banyak cara untuk membungkam kritik pada rakyat di Kayong Utara.
Tapi yang tidak bisa dibeli dengan uang adalah kepercayaan publik. Dan kini, nama baiknya mulai ternoda oleh aroma limbah yang menusuk hidung.
Apakah Dia Peduli?
Mungkin tidak. Karena baginya, pencemaran sungai hanyalah "risiko operasional". Sedangkan warga yang hidup di sekitarnya? Hanya "biaya sosial" yang tak perlu dicatat dalam neraca laba rugi.
Surat Terbuka Untuk Wakil Rakyat
Kepada Yth. DPRD Kayong Utara,
Anda dipilih oleh rakyat untuk bersuara, bukan untuk diam. Anda diberi amanah untuk melindungi, bukan untuk menutup mata.
Anda duduk di kursi empuk karena jerih payah rakyat, bukan karena kemurahan hati pengusaha.
Jadi, tolonglah… jangan jadikan kunjungan kerja sebagai ajang silaturahmi santai. Jangan jadikan kata "Alhamdulillah" sebagai jawaban instan untuk segala masalah.
Jangan biarkan warga terus hidup dalam ketidakpastian, sementara perusahaan seenaknya membuang limbah.
Turunlah ke lapangan. Dengarkan suara warga. Lakukan tes laboratorium secara independen.
Tegakkan hukum tanpa pandang bulu. Jadilah wakil rakyat yang benar-benar berdiri di pihak rakyat.
Atau, jika tidak mampu melakukannya, maka izinkan kami bertanya: Siapa sebenarnya yang Anda wakili?
Masih percaya pada janji manis perusahaan? Masih yakin bahwa "semua sudah diperbaiki"?
Jika iya, silakan mandi di Sungai Pinang Besar. Biar tahu rasanya air limbah kelapa sawit milik Tomy Winata itu.