Tahta Nvidia Retak: TPU Mengetuk, Investor Kabur, Dunia AI Membeku Cemas Sunyi - Kalimantannews.id

Tahta Nvidia Retak: TPU Mengetuk, Investor Kabur, Dunia AI Membeku Cemas Sunyi

Tahta Nvidia Retak: TPU Mengetuk, Investor Kabur, Dunia AI Membeku Cemas Sunyi
Tahta Nvidia Retak: TPU Mengetuk, Investor Kabur, Dunia AI Membeku Cemas Sunyi
  • Drama gelap chip AI, TPU Google mengguncang, saham rontok, regulator mencengkeram, dan GPU menangis.

  • Nvidia kembali mengangkat dagu setinggi awan silikon dengan klaim bahwa GPU mereka masih satu generasi lebih maju dibanding chip AI Google Tensor/TPU.

  • Ini sebuah pernyataan muncul tepat ketika rumor beredar bahwa Meta sedang melirik TPU Google untuk sebagian beban kerja AInya.

  • Dominasi Nvidia selama ini tak tertandingi mulai terasa retak oleh spekulasi bahwa Google memiliki penantang serius dalam perang perangkat keras AI.

  • Secara teknis, GPU Nvidia tetap unggul dalam fleksibilitas mampu menjalankan pelatihan model besar, inferensi realtime, rendering grafis, hingga simulasi ilmiah.

  • TPU Google, yang merupakan ASIC terspesialisasi, memang dapat lebih cepat dalam tugas matriks khusus, tetapi kurang luwes terhadap perubahan beban kerja modern yang cepat. Nvidia menegaskan kekakuan TPU adalah kelemahan utama.

Kalimantannews.id, Pulau Kalimantan - Malam itu dingin. Bukan dingin server farm meletupkan hawa nitrogen cair di lorong pusat data, tetapi dingin yang menusuk seperti kabar buruk datang tanpa mengetuk.

Di Santa Clara, markas besar Nvidia berdiri megah, kaca-kacanya memantulkan cahaya lampu malam seperti istana modern mencoba tetap kokoh ketika badai rumor mengamuk dari segala arah.

Nvidia dulu berjalan bagai raja dunia silikon GPU-nya bukan sekadar chip, melainkan jantung dari setiap proyek ambisius manusia.

Model bahasa raksasa? GPU. Mobil otonom? GPU. Metaverse (yang kini mati suri)? GPU. Bahkan mimpi startup murahan belum jelas tujuannya? GPU juga.

Namun tahun ini, takdir mulai memperlihatkan sifatnya yang paling jahat: bahwa setiap raja, pada akhirnya, akan diuji oleh bayangannya sendiri.

Bayangan itu bernama TPU Google sebuah chip yang tidak juga berusaha cuma menjadi selebritas saja pamer.

Tetapi diam-diam mulai memakan pangsa hati para raksasa teknologi, seperti Meta, mulai bosan dicintai GPU  mahal, rakus daya, dan terlalu dominan seperti pasangan tak pernah mau kompromi.

Yang membuat luka ini semakin menganga? Investor besar mulai kabur. Regulator Amerika mengangkat palu larangan ekspor.

Kompetitor kecil menjelma monster. Pasar saham tiba-tiba berubah menjadi kuburan nilai perusahaan. Dari sinilah tragedi 2.500 kata ini dimulai.

Ketukan TPU di Pintu Istana

Tahta Nvidia Retak: TPU Mengetuk, Investor Kabur, Dunia AI Membeku Cemas Sunyi
Google, entitas raksasa dengan gudang uang tak terbatas, tidak pernah terbiasa menantang Nvidia secara frontal.

TPU Tensor Processing Unit lahir sebagai solusi internal, semacam chip rumahan yang dibuat untuk meredakan derita server yang kelelahan menangani operasi matriks raksasa dari model AI Google.

Namun beberapa tahun terakhir, TPU berubah. Ia mulai matang. Ia mulai gesit. Ia mulai bersinar bak matahari.

Yang paling mengerikan. Ia mulai dilirik tetangga. Ketika rumor Meta berniat memindahkan sebagian beban kerja AI ke TPU Google, itu bukan sekadar gosip pasar.

Itu adalah pengkhianatan halus, yang membuat Nvidia terdiam seperti suami yang diam-diam melihat istrinya chat intens dengan teman lama.

Meta adalah pelanggan emas. Meta adalah pembeli GPU kelas raksasa. Meta adalah tanda bahwa GPU Nvidia adalah jalan kebenaran di dunia AI.

Namun rumor itu terus menguat Meta ingin efisiensi. Meta ingin konsistensi. Meta ingin chip yang tidak membuat tagihan listrik pusat data meledak seperti mercusuar di tengah gurun.

Badai itu menghantam Nvidia tepat di jantungnya kepercayaan pasar. Mesin yang terlalu sangat banyak bicara.

Nvidia selalu membanggakan GPUnya luwes, serbaguna, bisa apa saja. Dari ray-tracing gim AAA hingga melatih GPT-5 menghabiskan energi setara satu kota kecil.

Namun di balik gemerlap itu ada kasus kelam:

1. GPU adalah raja serbaguna…

Tapi seperti raja, ia butuh istana besar rack, pendingin, daya besar, dev team yang hanya paham CUDA.

2. GPU bisa semua…

Tetapi kadang tidak sempurna untuk satu hal pun.

3. GPU fleksibel…

Namun ketergantungan pada CUDA membuat banyak perusahaan seperti berada dalam hubungan toksik mereka ingin pergi, tapi API sudah terlanjur mengikat jiwa.

4. GPU hebat untuk inferensi…

Tapi TPU sering lebih cepat, lebih hemat, lebih manis.

5. GPU itu mahal…

Terlalu mahal. Semahal biaya terapi psikologi untuk satu tim engineer yang stres gara-gara training model gagal terus.

Nvidia tahu itu semua. Google tahu itu semua. Pasar tahu itu semua. Namun selama ini semua diam. Hingga tahun ini, ketenangan itu pecah.

Datang Membawa Pisau Tajam

Tahta Nvidia Retak: TPU Mengetuk, Investor Kabur, Dunia AI Membeku Cemas Sunyi
Sementara GPU berkoar-koar seperti selebritas teknologi, TPU Google hadir sebagai biksu pendiam dengan kemampuan membelah gunung.

TPU v4, TPU v5e, TPU baru generasi selanjutnya—semuanya membawa satu pesan:
kecepatan tidak perlu panggung.

TPU lahir untuk operasi matriks. Funia AI adalah operasi matriks. Maka TPU seperti menemukan medan perangnya sendiri.

Chip yang tidak butuh validasi publik. Ia tidak butuh tampil di panggung GTC. Ia tidak butuh Jensen memakai jaket kulit dramatis.

Ia tidak perlu menakut-nakuti pasar dengan klaim “kami satu generasi lebih maju”. Ia hanya bekerja, bekerja, dan bekerja.

Namun TPU memiliki kekurangan getir. Ekosistem kecil (seperti desa terpencil yang hanya dikunjungi kerabat dekat).

Tidak fleksibel. Tidak cocok untuk model yang mood-nya berubah seperti remaja labil. Bergantung pada Google Cloud.

Developer sering merasa terjebak antara cinta dan keterasingan. Tetapi pasar mulai bosan pada GPU yang semakin rakus.

TPU menawarkan pelukan baru yang lebih hemat daya dan lebih murah. Pesaing dari neraka. Startup akselerator merangkak keluar dari kubur.

Ketika Nvidia sibuk menyandang mahkota dan TPU mulai mengetuk pintu, dari balik tanah muncul para pesaing dulu dianggap kecil, rapuh, dan tidak berbahaya.

1. Cerebras

Muncul membawa chip seukuran piring besar WSE 2 dan 3. Para engineer melihatnya dan berkata “Ini bukan chip. Ini papan catur kosmik.”

2. Graphcore

IPUnya dirancang seakan ingin membuktikan bahwa GPU itu kemarin sore. Meski perusahaan sempat goyah, mereka tetap berdiri seperti musuh anime belum mau mati.

3. Tenstorrent

Dipimpin Jim Keller, ahli arsitektur chip yang tidak pernah salah langkah.
RISC-V jadi senjata, AI jadi amunisi.

4. SambaNova

RDU mereka sangat cocok untuk beban kerja LLM. Startup besar mulai mencicipinya.

Nvidia melihat semuanya. Nvidia menjadi semakin waspada. Karena mereka tahu sejarah Silicon Valley kerajaan bukan runtuh karena satu serangan besar, tapi ribuan tusukan kecil.

Kejatuhan paling menyakitkan bukan datang dari kompetitor. Bukan dari Google. Bukan dari TPU. Bukan dari startup misterius.

Tetapi dari orang-orang yang dulu berlutut sambil memuja grafik pendapatan Nvidia. SoftBank kabur duluan.

32 juta saham. Nilai ±$5,8 miliar. Dijual seperti menjual properti sebelum gempa besar. Peter Thiel Macro LLC ikut melarikan diri.

537.742 saham. 40 persen portofolio. Seakan berkata “Kami percaya padamu, tapi uang lebih harus diselamatkan.”

Hedge fund kecil ikut jual-bersih. Pasar mengerti pesan itu bahwa puncak valuasi tidak lebih dari ilusi senja yang perlahan hilang ditelan malam.

Begitu saham Nvidia jatuh 10 perse, pasar global panik. Dalam beberapa minggu, valuasi puncaknya hilang $800 miliar angka yang cukup untuk embeli 4 negara kecil.

Membangun 50 gigafactory. Membiayai 1.500 startup AI sampai mereka bangkrut. Atau membeli Twitter 30 kali lipat (jangan disebut ke Elon Musk).

Dari Washington AS datang kabar buruk larangan ekspor chip canggih ke China diperketat lagi. Nvidia terpaksa Merancang A800. Lalu H800. Lalu H20. Lalu menyesuaikannya lagi.

Setiap kali desain selesai, aturan berubah. Setiap kali aturan berubah, chip itu harus dibonsai ulang. Para engineer Nvidia menangis pelan. Bukan karena sedih, tetapi karena kelelahan spiritual.

Nvidia adalah Ferrari yang disuruh membuat sepeda ontel untuk pasar tertentu. Ketika ontel itu selesai dibuat, pemerintah berkata “Terlalu cepat. Pelankan lagi.”

GPU menjadi terlalu mahal. TPU terlalu eksklusif. Startup akselerator terlalu eksperimental. Investor terlalu panik.

Regulator terlalu agresif. Seluruh industri AI seperti rumah mewah yang temboknya mulai retak satu per satu.

Di tengah semua itu, Nvidia berdiri seperti raja tua yang mulai menyadari bahwa kejayaan panjangnya mungkin sedang menulis bab penutup.

Kekurangan GPU Nvidia (tanpa sensor)
  • Rakus daya setara lumba-lumba yang kehilangan arah.
  • Harga di luar nalar.
  • Membuat startup bangkrut bahkan sebelum peluncuran.
  • Ketergantungan CUDA menciptakan ekosistem penjara.
  • Tidak efisien untuk operasi matriks intens tertentu.
  • Memiliki performa berlebih yang sering tidak terpakai.

Kekurangan TPU Google
  • Ekosistem kecil.
  • Hanya cocok untuk Google Cloud.
  • Tidak multitalenta.
  • Kecepatan luar biasa hanya terlihat pada workload tertentu.
  • Dokumentasi kadang seperti teka-teki yang belum selesai.

Nvidia masih raja. GPU masih mendominasi. CUDA masih magnet. Pendapatan masih raksasa. Namun cerita ini adalah peringatan bahwa puncak bukan tempat tinggal, tetapi hanya tempat singgah.

Pasar bisa berubah. Investor bisa meninggalkan. Regulator bisa mengunci. Kompetitor bisa tiba-tiba mekar.

Pelanggan besar bisa mencari cinta baru bernama TPU. Dalam keheningan malam pusat data, GPU berdengung pelan.

Dentingnya seperti ratapan seorang raja yang tahu bahwa badai sedang mendekat. Bukan untuk menghancurkan tetapi untuk mengingatkan bahwa tidak ada dominasi abadi.

Formulir Kontak