Suara Sejuk dari Tanjung Harapan: Emas, Luka, dan Napas Bertahan Hidup - Kalimantannews.id

Suara Sejuk dari Tanjung Harapan: Emas, Luka, dan Napas Bertahan Hidup

Suara Sejuk dari Tanjung Harapan: Emas, Luka, dan Napas Bertahan Hidup
Kisah tambang rakyat Tanjung Harapan, Kapuas Hulu. Bukan rakus, tapi napas bertahan hidup di tengah sempitnya kesempatan.
Kisah tambang rakyat Tanjung Harapan, Kapuas Hulu. Bukan rakus, tapi napas bertahan hidup di tengah sempitnya kesempatan.

Kalimantannews.id, Kapuas Hulu - Suara bertahan hidup. Di balik riuh dunia maya penuh prasangka, ada suara lirih dari tepian sungai di Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Suhaid, Kapuas Hulu Kalimantan Barat.

Suara yang tak berteriak, tapi menusuk dalam: suara rakyat kecil yang hanya ingin hidup.

Abok Yesy, tokoh masyarakat di desa itu, menatap kosong ke arah tanah yang setiap hari digali warganya.

Ia bukan penambang emas besar. Ia bukan juga pembela pelanggaran hukum. Ia hanyalah saksi hidup dari perjuangan rakyat kecil melawan kenyataan.

Ketika potongan video menuduh tambang emas rakyat di desanya dibekingi aparat, Abok merasa sesak.

“Itu tidak benar,” ujarnya tegas, tapi suaranya menyimpan lelah. “Kami tidak pernah berkoordinasi atau menerima perintah dari siapa pun. Ini murni inisiatif masyarakat”.

Narasi di media sosial secepat kilat menyebar, menyulut opini liar. Nama aparat disebut, tuduhan setoran rutin disebar tanpa bukti. Dalam hitungan jam, masyarakat Tanjung Harapan yang hidup sederhana diseret ke pusaran fitnah.

Padahal, tambang itu bukan tentang emas semata. Ia adalah simbol perlawanan terhadap lapar, terhadap hidup yang kian menghimpit.

Emas dan Luka

Bagi warga Tanjung Harapan, emas bukanlah kilau keserakahan. Ia adalah pelita yang redup di tengah gelapnya nasib.

“Orang tua tetap harus memberi makan anaknya. Menyekolahkan mereka. Menjaga dapur tetap berasap,” kata Abok lirih. Kalimat sederhana itu menggambarkan betapa tambang rakyat adalah urat nadi kehidupan, bukan ajang mencari kaya.

Harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja kian sempit, dan janji pembangunan tak selalu menyentuh desa-desa jauh di pedalaman Kalimantan Barat.

Maka, masyarakat menggenggam cangkul dan sekop, bukan karena mereka tak tahu risiko, tapi karena tak punya pilihan.

Tambang rakyat menjadi cermin getir sebuah realitas: negara yang kadang absen di tempat warganya paling butuh perhatian.

Mereka menambang dengan tangan sendiri, mengais butiran emas dari tanah leluhur, berharap bisa membawa pulang sekepal rezeki tanpa harus melawan hukum.

Namun, ketika fitnah datang, luka itu terasa lebih dalam dari pada kelelahan di bawah terik matahari.

“Video yang beredar itu tidak benar. Kami tak pernah berhubungan dengan siapa pun di Sejiram,” ujar Abok lagi, menegaskan. “Tuduhan itu mencemarkan nama baik dan sangat merugikan kami.”

Suara Abok terdengar seperti bisikan di tengah badai informasi. Tapi bagi warga Tanjung Harapan, kata-katanya adalah tameng terakhir dari martabat yang terus digerus oleh stigma.

Harapan yang Lelah

Tambang emas tanpa izin memang bukan cerita baru di pedalaman Kalimantan Barat. Namun di balik label “ilegal”, tersimpan kisah manusia yang mencoba bertahan. 
Mereka menggantungkan hidup pada serpihan harapan, di tanah sendiri yang terus mereka rawat dengan tenaga dan air mata.

Abok tidak menolak hukum. Ia justru berharap negara hadir dengan solusi yang manusiawi. “Kami menghormati hukum.

Tapi kami juga berharap diberi solusi, bukan sekadar sorotan,” ucapnya lembut.

Kalimat itu mengandung luka dan harapan dalam satu tarikan napas. Bahwa di balik pasal dan regulasi, masih ada ruang untuk empati.

Pemerintah, kata Abok, seharusnya tak hanya menertibkan, tapi juga membina. Warga desa butuh jalan keluar bukan vonis.

Mereka ingin diarahkan menuju legalitas, bukan ditinggalkan dalam ketakutan.

Bagi rakyat kecil, legalitas bukan sekadar tanda tangan di atas kertas. Ia adalah kesempatan untuk hidup lebih layak, tanpa merasa bersalah hanya karena ingin bertahan.

“Kami tidak minta dibenarkan, hanya dimengerti,” tutup Abok dengan nada damai. Kalimatnya menggema lembut di antara gemuruh mesin tambang sederhana yang terus berputar.

Mungkin, di situlah suara sejati dari Tanjung Harapan: suara yang tak ingin melawan, hanya ingin didengar. Suara yang tak mencari kekuasaan, hanya mencari kehidupan.

Napas Hidup di Tanah Dituduh

Kasus tambang rakyat di Desa Tanjung Harapan memperlihatkan wajah paradoks pembangunan di daerah.

Di satu sisi, pemerintah gencar menertibkan aktivitas pertambangan tanpa izin demi menjaga lingkungan dan hukum.

Namun di sisi lain, masyarakat desa justru menggali tanahnya sendiri untuk menghindari kelaparan.

Fenomena ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal kemanusiaan. Masyarakat di pedalaman sering kali terjebak dalam ruang abu-abu antara aturan dan kebutuhan. Mereka tidak menolak aturan, tapi tak mampu hidup tanpanya.

Tambang rakyat menjadi “napas terakhir” bagi mereka yang tertinggal dalam arus modernisasi.

Dalam banyak kasus, seperti di Kapuas Hulu, kegiatan ini muncul bukan karena keserakahan, tapi karena bertahan hidup menjadi satu-satunya pilihan.

Video viral yang menuding keterlibatan aparat justru memperkeruh suasana. Dalam ekosistem informasi digital cepat dan sering kali dangkal, masyarakat seperti Abok Yesy menjadi korban dari opini tanpa empati.

Di sinilah pentingnya pendekatan humanistik. Penegakan hukum tetap perlu dilakukan, tetapi dengan hati yang memahami konteks sosial.

Pemerintah bisa mengubah konflik menjadi kolaborasi, dengan menghadirkan program pembinaan dan legalisasi tambang rakyat secara bertahap.

Pemberdayaan, bukan penindasan. Pendampingan, bukan penangkapan.

Karena di balik setiap sekop tanah yang digali warga Tanjung Harapan, tersimpan doa agar dapur tetap berasap dan anak-anak tetap bersekolah. Itu bukan kejahatan, melainkan upaya bertahan hidup.

Dari sanalah “suara sejuk” itu datang bukan dari emas yang berkilau, tapi dari hati masih percaya pada harapan.

Formulir Kontak