Kalimantannews.id, Kota Pontianak Kalimantan Barat - Hari itu, Sabtu sore di Aula Garuda, langit Kalimantan Barat tak hanya memantulkan jingga senja.
Di dalam gedung, gema tepuk tangan dan haru berpadu dalam satu ruang: pemutaran perdana film “Andai Ibu Bisa Terbang.”
Film berdurasi 20 menit ini bukan sekadar tontonan, tapi napas kecil dari sekumpulan anak muda Kalbar ingin terbang bersama mimpinya menembus awan tebal realitas dan tekanan hidup.
Di balik layar sederhana, ada semangat luar biasa. Di balik kamera seadanya, tersimpan niat besar untuk menyuarakan sesuatu yang sering terdiam kesehatan mental.
Film ini bagian dari program Gerakan Pemuda Sehat Menuju Indonesia Emas (Gema Emas) 2045), inisiatif Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kalbar.
Gema ini bukan jargon, tapi ajakan agar generasi muda menyentuh sisi terdalam dirinya tubuh, pikiran, dan jiwa yang seimbang.
“Film ini adalah bukti nyata bahwa anak muda Kalimantan Barat punya potensi besar di dunia kreatif,” tutur Kepala Disporapar Kalbar, Windy Prihastari, yang juga menjadi penanggung jawab produksi film itu.
Kalimat itu bukan sekadar apresiasi, tapi sebuah pengakuan. Bahwa kreativitas anak muda bukan lagi hiasan seremoni Sumpah Pemuda, melainkan denyut nadi baru bagi daerah yang ingin maju.
Windy Prihastari menambahkan, “Kita ingin generasi muda Kalbar tidak hanya aktif di dunia digital, tapi juga menyalurkan ide dan energinya dalam karya nyata yang membawa pesan positif.”
“Andai Ibu Bisa Terbang” mengangkat kisah seorang anak muda yang berjuang di antara impian dan tekanan hidup.
Cerita itu terasa dekat. Karena setiap dari kita, pada satu titik, pernah ingin menyerah, pernah ingin terbang tapi lupa bahwa sayap itu tumbuh dari luka yang kita rawat.
Film ini menggugah penonton untuk mengenali diri sendiri, memahami bahwa kesehatan mental bukan isu tabu, dan menyadari betapa besar perjuangan seorang ibu di balik setiap langkah anaknya.
“Filmnya sederhana, tapi pesannya dalem banget,” tutur Rika, salah satu penonton dari komunitas pemuda Pontianak.
“Bikin kita sadar kalau kesehatan mental itu penting, dan perjuangan seorang ibu itu luar biasa.”
Kesaksian itu bukan promosi. Itu suara jujur dari hati yang tersentuh. Di tengah derasnya arus media sosial dan tekanan hidup modern, karya seperti ini menjadi jeda ruang untuk menatap ke dalam.
Asa Harapan Menyala
Melalui Gema Emas 2045, Pemerintah Provinsi Kalbar tak hanya mendorong olahraga dan aktivitas fisik, tapi juga menggandeng kesenian sebagai sarana pemulihan batin.
Film, musik, dan budaya dijadikan jalan untuk menanamkan nilai hidup sehat dan produktif.
Windy Prihastari berharap program ini tak berhenti pada layar. “Kami ingin menjadikan Kalbar sebagai rumah kreatif bagi anak muda yang ingin berkarya dan berkontribusi."
"Kalau generasinya sehat secara fisik, mental, dan sosial, maka mimpi Indonesia Emas bukan hal yang mustahil,” ujarnya penuh keyakinan.
Kata rumah yang diucapkannya seolah menjadi metafora indah tempat di mana setiap ide pulang, setiap jiwa bertumbuh, dan setiap mimpi menemukan sayapnya.
Film ini mungkin berdurasi singkat, tapi efeknya panjang. Ia menumbuhkan percakapan baru di antara penonton muda tentang stres, tentang tekanan hidup, tentang keberanian berbicara.
Tentang betapa pentingnya berhenti sejenak, menatap ke dalam, dan mengakui bahwa kita semua rapuh, tapi tak sendiri.
Di tengah keterbatasan anggaran dan alat, tim muda Kalbar justru berhasil membuktikan bahwa kejujuran emosi lebih kuat dari megaproduksi.
Bahwa cerita kecil bisa menyentuh hati besar. Bahwa dari tanah Kalimantan, suara muda bisa bergema hingga jauh, membawa pesan tentang harapan dan penyembuhan.
Seusai film selesai, beberapa mata masih basah. Ada yang diam. Ada yang menatap layar kosong yang baru saja menayangkan kisah tentang seorang ibu dan anak yang berjuang melawan sepi.
Mungkin, di antara mereka, ada yang sedang menata ulang hidupnya. Ada yang sedang berdamai dengan masa lalu.
Ada yang baru sadar bahwa terbang bukan selalu tentang pergi jauh kadang, cukup dengan memaafkan diri sendiri.
Sumpah Pemuda tahun ini terasa berbeda di Kalimantan Barat. Bukan hanya tentang janji dan bendera, tapi tentang suara generasi yang mulai bicara dengan caranya sendiri.
Melalui kamera, naskah, dan musik, mereka menulis ulang arti sumpah sumpah untuk sehat, untuk peduli, untuk tidak diam.
Film “Andai Ibu Bisa Terbang” akhirnya menjadi simbol kecil dari pergeseran besar dari seremoni menuju empati, dari kebisingan menuju kesadaran.
Di akhir acara, ketika lampu-lampu Aula Garuda perlahan padam, satu kalimat tertinggal di udara “Kalbar punya sayapnya sendiri.”
Di bawah sayap itu, anak-anak muda terus belajar terbang membawa mimpi, membawa pesan, membawa harapan menuju Indonesia Emas 2045.
