HUKUM MANDEK! Tangis Tikala di Gerbang Hukum, Kejati Sulsel Digertak Warga Tak Mau Dibungkam - Kalimantannews.id

HUKUM MANDEK! Tangis Tikala di Gerbang Hukum, Kejati Sulsel Digertak Warga Tak Mau Dibungkam

HUKUM MANDEK! Tangis Tikala di Gerbang Hukum, Kejati Sulsel Digertak Warga Tak Mau Dibungkam

HUKUM MANDEK! Tangis Tikala di Gerbang Hukum, Kejati Sulsel Digertak Warga Tak Mau Dibungkam
Kalimantannews.id, Tikala - Di Toraja Utara, ada sebuah desa bernama Tikala, tempat batu kubur leluhur berdiri kokoh sejak berabad-abad lalu.

Batu itu bukan sekadar tumpukan keras bisu, melainkan kitab terbuka dari generasi sudah berpulang. Namun, kini warisan itu terguncang oleh suara mesin tambang galian C.

Rabu, 1 Oktober 2025, ratusan warga Tikala menempuh perjalanan panjang menuju Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

Mereka datang bukan untuk bersuka cita, melainkan mengadukan luka. Mereka menggenggam satu kalimat yang menggema seperti genderang perang.

“Kalau mandek, kami ke Kejagung.”

Suara Rakyat Membara

Di halaman kantor Kejati Sulsel, suara orasi membelah udara. Calvin Tandiarrang, tokoh masyarakat Tikala, berdiri lantang.

Suaranya bergetar, bukan karena lemah, melainkan karena amarah yang tertahan terlalu lama.

“Kejati Sulsel lamban. Setelah turun ke lokasi, tak ada lagi kabar. Ini mencurigakan,” tegasnnya di depan massa.

Kalimat itu bagai tombak, menohok jantung aparat hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir rakyat.

Warga Tikala menuduh, Kejati hanya setengah hati dalam mengusut dugaan korupsi dan maladministrasi penerbitan izin tambang galian C.

Di balik orasi, ada rasa getir. Warga Tikala tahu, kasus ini bukan hanya soal tanah yang dikeruk. Ini adalah soal harga diri leluhur.

Hukum yang Mandek

Bagi masyarakat, hukum seharusnya berlari lebih cepat daripada kerusakan alam. Namun kenyataan di Sulsel berbeda.

Calvin mengingatkan, “Kasus ini bukan sekadar izin cacat. Ada situs kuburan batu, ada warisan leluhur kami di sana. Kalau tambang ini dibiarkan, habis sudah semuanya. Kami tidak akan tinggal diam.”

Pernyataan itu mengiris hati. Bayangkan, sebuah warisan budaya yang diakui dunia, bisa habis hanya karena selembar izin tambang.

Warga mencium aroma permainan. Mereka menduga, diamnya Kejati bukanlah kebetulan. Ada kongkalikong antara pemilik modal dan pejabat daerah.

Isu miring bahkan menyebut, ada oknum aparat yang ikut membekingi tambang. Di titik inilah, kepercayaan rakyat pada hukum goyah.

Mereka menyebut Kejati Sulsel berseberangan dengan Kejagung yang akhir-akhir ini gencar mengibarkan bendera perang melawan korupsi.

Budaya yang Terluka

Di balik semua ini, yang paling getir adalah nasib warisan budaya Toraja. Kuburan batu yang selama ini berdiri megah, bisa runtuh oleh ekskavator.

Di mata masyarakat, tambang bukan sekadar galian tanah, melainkan penggali luka sejarah.

Warga tahu, jika tambang dibiarkan, bukan hanya lingkungan yang rusak, tapi juga roh leluhur yang terhina.

Itulah mengapa mereka mendesak hukum agar tak hanya berpihak pada pasal-pasal, tapi juga pada nurani.

Calvin memperingatkan, jika Kejati terus berdiam, potensi konflik horizontal tak bisa dihindari.

“Kalau ini terus mandek, jangan salahkan kami bila muncul gesekan antarwarga,” ucapnya menegaskan.

Itu bukan ancaman kosong, melainkan jeritan rakyat yang kehilangan sabar.

Janji Terlalu Sering

Di sisi lain, Kejati Sulawesi Selatan mencoba bertahan. Kepala Seksi Penerangan Hukum, Soetarmi, menjawab dengan diplomasi lembut.

“Semua bukti sudah dikumpulkan. Pekan depan ditargetkan ekspose bersama Pak Kajati,” ujarnya menjelaskan.

Namun kata “pekan depan” terasa seperti pita lama yang diputar ulang. Warga Tikala sudah terlalu sering disuguhi janji yang tak pernah berubah jadi bukti. 

“Kami sudah terlalu sering mendengar janji. Kalau Kejati serius, buktinya mana?” Calvin menukas.

Jawaban itu membuat publik makin ragu. Apakah hukum benar-benar berjalan, atau hanya diparkir hingga kasus ini dilupakan?

Antara Rakyat dan Modal

Tambang galian C bukan sekadar aktivitas ekonomi. Di baliknya, ada jaringan modal, pejabat, dan aparat yang sering kali lebih kuat daripada suara rakyat.

Di Toraja, tambang ini ibarat pisau bermata dua. Ia memberi untung bagi segelintir, tapi menebas warisan budaya seluruh rakyat.

Di sinilah drama hukum dan keadilan dipertaruhkan. Bola kini berada di tangan Kejati Sulsel apakah ia akan menunjukkan tajinya sebagai penjaga keadilan.

Atau justru memperkuat stigma bahwa hukum di negeri ini hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kasus Tikala memberi pelajaran pahit tentang relasi kuasa, modal, dan hukum di Indonesia.

Kerusakan Lingkungan Nyata

Tambang galian C merusak sungai, menggerus lahan, dan meninggalkan cekungan-cekungan yang mematikan. Jika ini dibiarkan, generasi mendatang akan mewarisi tanah yang tak lagi subur.

1. Ancaman Budaya

Toraja bukan hanya soal pariwisata. Kuburan batu, rumah tongkonan, dan ritual adat adalah identitas. Kehilangan itu berarti kehilangan jati diri.

2. Krisis Kepercayaan

Mandeknya kasus tambang menambah daftar panjang ketidakpercayaan rakyat pada aparat hukum. Bila rakyat tak percaya lagi pada hukum, maka ruang bagi konflik terbuka lebar.

3. Keadilan yang Dipertaruhkan

Warga Tikala sedang menguji, apakah hukum di negeri ini masih bisa berpihak pada rakyat kecil, atau sekadar alat untuk melanggengkan kuasa modal.

Di ujung semua ini, suara warga Tikala menggema lebih keras daripada suara mesin tambang. Mereka menolak diam, menolak pasrah, menolak kalah.

Mereka datang ke Kejati Sulsel bukan hanya membawa tuntutan hukum, tapi juga air mata leluhur yang tak ingin dikubur dua kali.

Sejarah akan mencatat, apakah Kejati Sulsel berdiri di sisi rakyat atau di sisi modal. Dan rakyat, dengan segala luka dan tangisnya, sudah bersumpah," Kalau mandek, kami ke Kejagung.”

Formulir Kontak