WAHAI Bea Cukai! Edy Suhita Menantang Jakarta Soal Rokok Setengah Cukai, Ini Dia Biang Keroknya - Kalimantannews.id

WAHAI Bea Cukai! Edy Suhita Menantang Jakarta Soal Rokok Setengah Cukai, Ini Dia Biang Keroknya

 WAHAI Bea Cukai! Edy Suhita Menantang Jakarta Soal Rokok Setengah Cukai, Ini Dia Biang Keroknya

WAHAI Bea Cukai! Edy Suhita Menantang Jakarta Soal Rokok Setengah Cukai
Kalimantannews.id, Kapuas Hulu - Di tepian Sungai Kapuas yang panjangnya bak nadi raksasa Kalimantan Barat, aroma tembakau kerap menari di udara.

Di Jongkong, sebuah kecamatan perbatasan Indonesia-Malasyia yang menatap langsung negeri jiran Sarawak, asap rokok menjadi bahasa sehari-hari.

Namun di balik kepulan asap yang tampak biasa itu, terselip ironi setengah matang rokok setengah cukai produk yang sah di mata pasar, tapi membuat kas negara mengeluh panjang.

Adalah Edy Suhita. Dia merupakan pengusaha perbatasan yang akrab disapa Pak Akok, yang memecah kebisuan ini.

Dengan nada setajam bilah parang, Ketua DPK-APINDO Kapuas Hulu itu menuding persoalan cukai rokok setengah jadi sebagai “bom waktu” penerimaan negara.

“Isi 12 batang, cukainya cuma Rp10.325. Bandingkan dengan rokok 20 batang bercukai penuh Rp17.200,” ujarnya di Kapuas Hulu, 25 September 2025, matanya menyipit seolah mengukur kebocoran uang negara yang menguap bersama asap.

Negara Konoha Setengah Rasa

Fenomena rokok setengah cukai bukan sekadar perkara angka di kertas pajak. Ia menjelma paradoks kebijakan negara menagih setengah, tapi biaya sosial tetap utuh.

Sementara itu, pengusaha nakal bersorak pelan, dan masyarakat membeli dengan harga miring seperti topi mireng.

“Kalau dibiarkan, ini bukan sekadar selisih rupiah. Ini soal wibawa hukum, kepastian usaha, dan tentu saja, pendapatan negara yang seharusnya utuh,” lanjut Edy, suaranya serupa ombak Kapuas yang menampar perahu.

Jangan Hantam Mendadak

Namun, Ketua APINDO Kapuas Hulu Edy Suhita bukan tipe pengusaha yang hanya mengeluh. Ia menyiapkan skenario transisi.

“Biarkan stok cukai lama habis dulu. Setelah itu, per 2026, tetapkan cukai baru. Jangan memukul rata, agar pedagang dan pabrik kecil tak tumbang,” tegasnya.

Di mata dia, penertiban cukai bukan sekadar menambah kas negara. Ini soal keadilan dagang, agar mereka yang taat aturan tidak tersaingi oleh pemain setengah hati.

Suara dari Perbatasan

Kapuas Hulu, wilayah paling timur Kalimantan Barat, sering kali terasa jauh dari pusat kekuasaan Jakarta.

Namun justru dari perbatasan inilah kritik yang paling telanjang meluncur. Edy tahu, rokok yang melintas perbatasan Indonesia-Malaysia bukan sekadar barang dagangan ia simbol kekuatan ekonomi akar rumput.

Mengganti cukai secara brutal tanpa masa transisi bisa menyalakan bara harga rokok melonjak, penyelundupan meningkat, dan pabrik kecil gulung tikar. 

“Regulasi itu penting, tapi manusia di baliknya lebih penting,” gumam Edy, memandangi hutan belantara yang jadi saksi bisu.

Negara, Dengarlah...

Ketua APINDO Kapuas Hulu Edy Suhita meminta pemerintah pusat, terutama Kementerian Keuangan dan Bea Cukai, untuk bergerak.

“Ini soal keberlanjutan penerimaan negara. Jangan tunggu 2027 untuk menyesal,” desaknya soal kasus itu.

Ia paham betul kebijakan fiskal sering terperangkap birokrasi. Tapi baginya, perbatasan tak bisa menunggu. Asap rokok setengah cukai terus mengepul, mengaburkan garis hukum.

Ironi Setengah Jadi

Rokok setengah cukai adalah metafora kebijakan setengah hati.  Negara ingin pajak penuh, tapi memberi celah bagi produk setengah resmi.

Di warung-warung kayu Kapuas Hulu, ironi itu dijual per batang, dibakar, lalu dihembuskan ke langit Pulau Kalimantan.

Transisi yang diusulkan Ketua APINDO Kapuas Hulu Edy Suhita  ini juga bukan cuma sekadar tenggat waktu.

Ia undangan bagi pemerintah untuk menata ulang peta industri tembakau, antara kepentingan kesehatan, penerimaan pajak, dan realitas sosial ekonomi.

“Jangan sampai negara terlihat seperti pedagang ragu, setengah basah setengah kering,” pungkas Ketua APINDO Kapuas Hulu Edy Suhita menginagtkan keras.

Formulir Kontak