
Di balik meja penuh kain Corak Insang, jajanan tradisional, dan kerajinan tangan, tersimpan kisah yang lebih dari sekadar jual beli.
Ia adalah cerita tentang pulang kampung, tentang rindu yang diikat dengan aroma kue cucur, dan tentang kebanggaan pada motif tenun yang tak lekang oleh zaman.
Rina (37), seorang warga Putussibau, berdiri lama di depan rak kain. Matanya berbinar, seakan menemukan potongan kenangan masa kecil.
"Saya tertarik dengan kain Corak Insang karena motifnya khas dan elegan. Selain itu, jajanan khas Kota Pontianak juga enak dan cocok untuk oleh-oleh," tuturnya, sambil tersenyum menahan rasa haru.
Di balik kalimat sederhana itu, tersimpan makna besar produk UMKM bukan sekadar barang dagangan, melainkan jembatan antara identitas dan kebanggaan.
Doa dan Dagangan
Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Kalbar ke-33 tahun ini bukan hanya perhelatan suara-suara merdu yang melantunkan ayat suci.
Di Kapuas Hulu, MTQ menjelma seperti pasar hati: ada doa, ada silaturahmi, ada pula etalase UMKM yang jadi saksi betapa ekonomi dan budaya bisa berjalan beriringan.
Sekda Provinsi Kalbar, Harisson, resmi membuka pameran itu. Turut hadir para pejabat, termasuk Bupati Kapuas Hulu, Fransiskus Diaan.
Namun di balik sambutan resmi dan prosesi protokoler, mata pengunjung lebih sering tertuju pada stand-stand yang berjejer.
Salah satunya, Stand Pontianak, yang seolah berbisik lirih. "Inilah wajah kota kami, inilah karya tangan rakyatnya."
UMKM Sebagai Nafas
Sekretaris Daerah Kota Pontianak, Amirullah, hadir langsung meninjau. Dalam setiap tatapan ke produk yang dipamerkan, terselip harapan agar UMKM tak sekadar bertahan, tapi berkembang dan berkompetisi.
"Stand ini diharapkan bisa menjadi etalase promosi produk UMKM Pontianak agar semakin dikenal masyarakat luas," kata Amirullah.
Kata “etalase” mungkin terdengar biasa. Namun bagi para pelaku UMKM, ia berarti panggung kehidupan.
Sebab dari kerajinan tangan, dari jajanan yang dibungkus dengan plastik sederhana, ada keluarga yang disekolahkan, ada dapur yang terus berasap, ada masa depan yang digantungkan.
Apa Itu Corak Insang?
Kota Pontianak punya warisan unik, kain Corak Insang. Bukan sekadar motif, ia adalah narasi sejarah yang dijahit dalam benang.
Motif ini dulu lahir dari inspirasi kehidupan sungai dan laut, yang memang jadi denyut nadi Kalimantan Barat.
Ketika Rina menyentuh kain itu, seolah ia menyentuh jati diri. Di sinilah letak keistimewaan produk lokal ia membawa cerita dan kebanggaan.
Tak berhenti di situ, jajanan tradisional seperti bingke, kerupuk ikan, dan aneka kue kering juga ikut meramaikan meja pameran.
Makanan yang sederhana, tapi menyimpan rasa “rumah”.
Antara Kata dan Aksi
Amirullah juga menegaskan bahwa pameran ini adalah bentuk nyata dukungan pemerintah terhadap UMKM.
"Dengan menampilkan produk dan kerajinan khas Pontianak, kita ingin memperkenalkan hasil-hasil kreasi pelaku UMKM Kota Pontianak," ucapnya.
Namun di balik dukungan itu, selalu ada pekerjaan rumah. Pelaku UMKM masih sering berhadapan dengan keterbatasan modal, akses pasar, hingga kemampuan digitalisasi.
Pameran seperti MTQ hanyalah salah satu pintu kecil untuk menembus pasar yang lebih luas.
Pertanyaannya, apakah setelah gemerlap lampu MTQ padam, produk-produk itu masih akan dicari, atau hanya menjadi kenangan manis di arena pameran?
MTQ bukan hanya soal lantunan ayat, tetapi juga ruang strategis untuk memamerkan potensi ekonomi kreatif.
Stand Kota Pontianak hadir bukan sekadar ikut serta, melainkan menyuguhkan wajah kota dari kain Corak Insang yang memesona, kerajinan tangan yang telaten, hingga kudapan yang membuat lidah betah berlama-lama.
Corak Insang, Identitas Tak Lekang Waktu
Produk unggulan ini bukan hanya kain, tetapi simbol yang meneguhkan jati diri Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat.
Setiap helai benangnya mengandung kisah, mengikat masa lalu dengan masa kini, dan menyulam harapan untuk masa depan.
Panggung MTQ mungkin hanya berlangsung beberapa hari, tetapi bagi UMKM, setiap produk yang terpajang adalah doa agar ada pembeli, agar ada yang membawa pulang sepotong Pontianak ke rumahnya.
Ketika malam tiba dan riuh pameran perlahan mereda, Stand Pontianak tetap berdiri.
Di balik kain yang tergantung rapi, di balik toples kue yang menunggu dibuka, ada pesan sederhana, Kota Pontianak hadir, dengan seluruh identitasnya, dengan seluruh kerendahan hatinya.
Ia bukan sekadar stand pameran. Ia adalah rumah kecil tempat rindu bertemu, tempat produk lokal berbicara tanpa suara.
Tempat ekonomi dan budaya berjalan beriringan. Dan mungkin, bagi sebagian orang, ia juga adalah alasan untuk pulang.