
Jejak Harta Tersembunyi
Kalimantannews.id, Batam - Di balik kilau Batam Kepulauan Riau yang sibuk dengan deru investasi, terselip kisah yang membuat hukum sendiri tercekat.
Aznita Muznida binti Moerni Sidik, pengusaha properti yang namanya pernah harum, kini hanya tinggal kenangan.
Namun harta yang ia tinggalkan enam bidang tanah dan satu Jeep Mitsubishi Challenger 1997 justru jadi bara api.
Puluhan miliar rupiah nilainya, strategis letaknya. Dari Ruko Genta Plaza hingga Baloi Garden Baru, setiap bidang tanah bagai magnet sengketa.
Hartono, sang kuasa hukum yang dulu menjadi juru selamat Aznita, kembali muncul ke permukaan publik.
“Saya akan kejar hingga titik darah penghabisan,” ucapnya dingin, suara yang menembus riuh Batam Kepulauan Riau itu.
Ia bukan sekadar pengacara. Ia lelaki yang pernah menulis babak kemenangan besar menebus harta Aznita dari jeratan utang Bank Mandiri lewat jalur hukum berlapis dari Pengadilan Negeri Batam, Pengadilan Tinggi Pekanbaru, hingga Mahkamah Agung.
Perjanjian jasa hukum yang diteken 2018 memberi dia hak 50 persen atas semua aset yang berhasil diselamatkan.
Namun begitu, setelah Aznita berpulang pada 28 November 2021, teleponnya ke keluarga ahli waris sepi.
“Dari tahun 2022, komunikasi tak pernah dibuka,” keluhnya. Somasi pun melayang.
Tiga kali dua puluh empat jam, begitu batas waktu yang ia pasang bagi Kartini sang ibu dan Randy Cerry sang anak.
Hak yang Terabaikan
Hartono bicara tentang kepastian hukum, bukan sekadar harta. “Ini bukan sengketa pribadi,” tegasnya, menatap lembar perjanjian bernomor 10/KHHR/J/XII/2018. Baginya, itu bukan kertas. Itu kunci.
Isi perjanjian pun jelas. Semua biaya operasional perkara ditanggung Hartono, imbalannya setengah hasil.
Enam bidang tanah plus satu kendaraan, yang nilainya kini melonjak jadi puluhan miliar, adalah hasil jerih payahnya.
Namun sang pengacara kini seperti mengetuk pintu kosong. “Mereka menutup komunikasi,” ujarnya, menahan geram.
Daftar aset yang pernah ia rebut satu per satu masih rapi dalam catatannya:
- SHGB No.1688/Tiban Asri-Ruko Genta Plaza
- SHGB No.2630 & 3629/Tiban Asri-Perumahan Mukakuning Indah I
- SHGB No.886/Tiban Indah-Tiban Indah Permai
- SHGB No.37/Batu Selicin-Baloi Garden Baru
- SHGB No.00436-Jalan Pramuka, Tanjung Pinang
- Satu unit Jeep Mitsubishi Challenger 1997
Semua dulunya jadi jaminan utang, semua sudah “dibebaskan” lewat kemenangan hukum. Tapi kini, ahli waris menutup pintu.
Janji Hukum Digugat
Di sisi lain, Randy Cerry, anak kandung Aznita, singkat menanggapi. Ia mengakui darah yang mengalir di tubuhnya, tapi bungkam soal perjanjian. Kartini, sang ibu, juga diam seribu bahasa. Diam yang nyaring.
Hartono sudah menyiapkan langkah lanjutan. Gugatan wanprestasi, bahkan pidana penggelapan hak. Jalur perdata atau pidana, semua ia bentangkan.
Jika semua pintu tetap tertutup, pengadilan menjadi panggung berikutnya. “Eksekusi,” katanya datar, “adalah pilihan terakhir.”
Di Batam, kota yang berdiri di atas kesibukan dagang dan hiruk-pikuk investasi, kisah ini menjadi cermin getir.
Ini ketika kesepakatan hukum tak lagi dihormati, ketika warisan berubah jadi medan tempur, dan ketika suara hukum pun harus berteriak agar didengar.
Kisah sengketa harta Aznita Muznida bukan sekadar perebutan tanah dan kendaraan.
Ini potret rapuhnya penghormatan terhadap perjanjian. Hartono, yang merasa dirinya penjaga keadilan, kini berhadapan dengan tembok sunyi.
Sementara itu, tanah-tanah bernilai miliaran tetap berdiri, menunggu putusan pengadilan yang mungkin lebih dingin dari batu nisan.
Di Batam yang gemerlap, sebuah drama warisan memaksa kita merenung seberapa kokoh sebenarnya janji hukum, jika suara hati manusia diredam kepentingan harta.