Kalimantannews.id, Kapuas Hulu - Langit Kapuas Hulu siang itu tampak beda, tapi bara di halaman Kantor Kejaksaan Negeri terasa menyala.
Bau plastik terbakar bercampur aroma alkohol, menembus udara lembab yang membawa kesunyian tak terucapkan.
Pada Selasa, 9 September 2025, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kapuas Hulu memusnahkan barang bukti perkara pidana umum bukti nyata kisah kelam, tumpukan tragedi, dan masa depan yang pernah tergelincir.
Di halaman kantor sederhana itu, satu per satu saksi berdiri dalam keheningan aparat kepolisian, pejabat pengadilan, dinas kesehatan, hingga undangan yang tak bersuara.
Semua menyaksikan bagaimana 179 bungkus sabu seberat 112,07 gram, 5 butir ekstasi, 35 unit ponsel, minuman beralkohol, alat hisap narkoba, pakaian, rokok, bahkan sebilah senjata api semua lenyap jadi abu, diblender, atau dipotong.
Kepala Kejaksaan Negeri Kapuas Hulu, Samsuri, berdiri tenang, tapi suaranya menyimpan getir.
“Kondisi seperti ini sangat mengkhawatirkan,” katanya, lirih namun tegas. “Generasi muda kita sedang diintai ancaman.”
Pernyataannya bukan sekadar peringatan, tapi seruan batin yang menggema di antara riuh api. Setiap gram sabu yang terbakar adalah cerita patah tentang masa depan yang hilang.
Setiap ponsel yang dihancurkan menyimpan percakapan rahasia, janji palsu, dan mimpi yang tak pernah sampai.
Bayang Gelap Narkoba
Kapuas Hulu, kabupaten di ujung Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia, selama ini bukan hanya tentang hutan rimba dan sungai yang tenang.
Ada arus gelap yang mengalir diam-diam, membawa racun ke pori-pori masyarakatnya.
Perbatasan adalah gerbang ganda satu sisi peluang ekonomi, sisi lain lorong rawan peredaran narkotika.
Kajari Samsuri mengungkapkan fakta yang menohok. “Kasus terakhir di perbatasan jumlahnya fantastis,” ujarnya, menegaskan betapa seriusnya ancaman ini.
Barang bukti narkotika dari jalur darat, sungai, bahkan lintas negara tak lagi bisa dianggap sepele.
38 perkara narkotika dan 23 perkara pidana lainnya dalam satu periode adalah alarm keras bagi semua pihak.
Namun, di balik data itu, ada wajah-wajah yang jarang terlihat anak muda yang tergelincir, keluarga yang kehilangan, dan kampung-kampung kecil yang diam-diam patah.
Setiap gram narkoba yang masuk ke Kapuas Hulu bukan sekadar statistik, melainkan luka sosial yang tak bisa ditambal hanya dengan hukum.
“Pemusnahan barang bukti ini bukan sekadar prosedur,” jelas Adam Putrayansyah, Kasi Intel Kejari Kapuas Hulu.
“Ini bentuk pertanggungjawaban kami, sekaligus bukti bahwa penegakan hukum dijalankan maksimal dan transparan,” dia menambahkan.
Seruan Menjaga Generasi
Upacara pemusnahan ini adalah ritual simbolis sekaligus pesan tegas perang melawan narkoba tak bisa ditangani aparat hukum saja.
Kejaksaan, kepolisian, pengadilan, dan dinas kesehatan hadir bersama bukan sekadar formalitas, melainkan ajakan kolaborasi.
Adam Putrayansyah menegaskan kembali, “Melalui pemusnahan ini, kami ingin menunjukkan bahwa aparat penegak hukum bekerja sungguh-sungguh. Tapi keberhasilan hanya akan berarti jika masyarakat ikut melawan.”
Di balik api dan suara blender yang memusnahkan barang bukti, ada peringatan yang jauh lebih besar.
Narkotika bukan hanya soal hukum, tapi soal nasib generasi Kapuas Hulu. Ancaman ini menyelinap lewat jalur perdagangan, menjalar lewat pertemanan, bahkan masuk lewat layar ponsel.
Kapuas Hulu yang tenang bisa berubah jadi medan pertempuran senyap. Tidak ada sirine, tidak ada peluru, tapi ada korban anak-anak muda yang tak pernah kembali dari jalan gelapnya.
Oleh karena itu, Kejaksaan Negeri Kapuas Hulu mengajak semua pihak orang tua, guru, tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh elemen masyarakat menjaga pintu-pintu kecil yang kerap dilupakan.
Perbatasan bukan sekadar garis di peta, melainkan pintu masuk masa depan. Menutupnya dari racun narkoba adalah tanggung jawab bersama.
Pemusnahan barang bukti ini sesungguhnya lebih dari sekadar kegiatan rutin Kejaksaan. Ia adalah potret benturan antara hukum dan realita sosial.
Sebanyak 61 perkara pidana dalam satu periode menggambarkan satu fakta getir Kapuas Hulu bukan sekadar daerah perbatasan, melainkan gerbang tarik-menarik antara perdagangan legal dan arus gelap narkotika.
Jika angka 112,07 gram sabu terdengar kecil, maka dampaknya tak bisa diremehkan.
Di balik setiap gram, ada jejaring yang tersembunyi, ada pasar yang luas, ada generasi yang rentan.
Bahkan, pemusnahan ini menjadi momen refleksi apa yang kita lakukan setelah barang bukti dimusnahkan?
Apa cukup memutus jalur distribusi tanpa memutus akar masalahnya?
Sebab, narkotika bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal pendidikan, lapangan pekerjaan, dan pendampingan psikologis.
Tanpa memperbaiki sisi-sisi ini, api yang membakar barang bukti hari ini bisa padam, tapi bara persoalan akan tetap menyala di bawah permukaan.
