Jejak Kayu Rapuh Menguji Kesabaran! Ketika Jembatan Renta Memanggil: Gotong Royong Embaloh Hulu Menjahit Asa Warga Banua Ujung - Kalimantannews.id

Jejak Kayu Rapuh Menguji Kesabaran! Ketika Jembatan Renta Memanggil: Gotong Royong Embaloh Hulu Menjahit Asa Warga Banua Ujung

Jejak Kayu Rapuh Menguji Kesabaran! Ketika Jembatan Renta Memanggil: Gotong Royong Embaloh Hulu Menjahit Asa Warga Banua Ujung

Jejak Kayu Rapuh Menguji Kesabaran! Ketika Jembatan Renta Memanggil: Gotong Royong Embaloh Hulu Menjahit Asa Warga Banua Ujung
Kalimantannews.id, Kapuas Hulu - Pagi itu, Kamis, 4 September 2025, udara Embaloh Hulu masih lembab oleh embun hutan Kalimantan Barat. 

Di ujung Desa Banua Ujung, berdiri sebuah jembatan kayu renta yang menjadi saksi bisu ribuan langkah warga setiap harinya. 

Jembatan ini bukan sekadar bentang papan dan tiang kayu, tapi nadi kehidupan yang menghubungkan dusun, pasar, sekolah, dan rumah sakit.

Namun, di balik fungsi vitalnya, jembatan ini sudah lama berteriak minta tolong. 

Papan-papannya retak, sebagian lapuk dimakan waktu, dan beberapa ruasnya menganga menantang siapa saja yang melintas. 

Setiap kali hujan mengguyur, warga harus memilih menyeberang sambil berdoa atau memutar jauh melewati jalan setapak yang tak kalah ekstremnya.

Lalu, datanglah inisiatif sederhana tapi penuh makna. Kapolsek Embaloh Hulu, AKP Rajiman, bersama jajarannya, menggagas gotong royong perbaikan jembatan. 

Tidak sendirian, ia mengajak Forkopimcam dan masyarakat setempat, memanggil kembali semangat kebersamaan yang perlahan nyaris hilang ditelan ego modernisasi.

Rasa Bersama Kian Mahal

Di era teknologi serba cepat, masyarakat kerap dimanjakan oleh aplikasi transportasi, e-wallet, dan layanan daring yang menawarkan kenyamanan instan. 

Namun, di Banua Ujung, hal paling sederhana yang mereka dambakan hanyalah jalan yang aman untuk dilewati.

Jembatan ini bukan sekadar kayu dan paku, tapi masa depan anak-anak di sana. Di tengah riuh deru mesin dan suara palu, ada tawa kecil anak-anak yang bermain di tepi sungai. 

Mereka berlari, sesekali melongok ke arah jembatan, seolah ingin memastikan jalur mereka ke sekolah tak lagi menjadi jalur taruhan nyawa.

Bagi mereka, gotong royong ini bukan sekadar aktivitas musiman. 

Ini tentang harga diri desa, tentang rasa memiliki yang sering kali hilang ketika pembangunan hanya datang dalam bentuk proyek tanpa ruh kebersamaan.

Rajiman pun bukan hanya datang membawa seragam dan kewenangan. Ia datang membawa harapan bagi warga. 

“Kami ingin jembatan ini kembali layak, karena ini urat nadi masyarakat. Kami tak bisa menunggu bantuan besar datang, kita harus bergerak sendiri,” katanya.

Kalimatnya sederhana, tapi getarannya menembus hati warga. Forkopimcam ikut turun tangan, bahu-membahu bersama tukang, pemuda, dan ibu-ibu desa yang menyiapkan logistik.

Inilah wajah asli pembangunan bukan tentang angka triliunan di APBN, melainkan kebersamaan manusia yang memutuskan untuk tak menunggu, tapi bergerak. 

Ada energi kolektif yang lahir di sana, sesuatu yang tak bisa digantikan oleh kecanggihan teknologi mana pun.

Pembangunan dan Janji

Kalau mau jujur, jembatan Banua Ujung bukan satu-satunya yang renta. Di banyak sudut Kapuas Hulu, persoalan infrastruktur masih menjadi lagu lama. 

PLN mati lampu, jalan rusak, akses pendidikan sulit, hingga internet yang sinyalnya kerap “malu-malu kucing”.

Ironisnya, di kota besar, pemerintah bicara soal transformasi digital dan kecerdasan buatan. 

Sementara di pelosok seperti Banua Ujung, warga masih bertanya-tanya apakah kecerdasan kebijakan pernah singgah di sini.

Namun, alih-alih merutuk nasib, warga memilih bergerak. Gotong royong ini adalah bentuk negara belum hadir penuh, rasa persatuanlah yang mengambil alih peran.

Inilah kisah tentang manusia yang melawan keterbatasan, bukan dengan protes panjang, tapi dengan palu, paku, dan semangat yang tak pernah padam.

Jembatan Menyambung Hati

Kini, papan-papan kayu baru mulai menutupi rongga jembatan yang lapuk. Tak semuanya sempurna, tapi setidaknya lebih kokoh. 

Anak-anak bisa melintas tanpa menggenggam doa setebal sebelumnya, dan ibu-ibu desa bisa kembali mengantar hasil kebun mereka ke pasar tanpa cemas terperosok.

Lebih dari sekadar perbaikan fisik, maka, gotong royong ini menjadi simbol penyambung hati antarwarga. 

Masyarakat yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing kini kembali duduk satu tikar, berbagi cerita, tawa, dan mimpi.

Di tengah dunia yang kian individualistis, Banua Ujung menunjukkan bahwa kebersamaan masih bisa diperjuangkan. 

Jembatan itu kini bukan sekadar lintasan, tapi monumen kecil dari harapan besar bagi warga Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat.

Formulir Kontak