
Indeks Keterjangkauan iPhone yang dirilis Tenscope menyalakan alarm sosial dari Swiss ke India, jarak antara gaji dan gengsi terkuak begitu telanjang.
Di negara Swiss dan Luksemburg, hanya butuh tiga hari kerja untuk membawa pulang iPhone 17 Pro 256 GB.
Di Amerika Serikat, empat hari kerja sudah cukup. Namun di India, realitasnya bagai bumi dan langit 160 hari kerja delapan bulan penuh demi sepotong teknologi yang dipuja.
Filipina tak jauh beda dengan 101 hari, Vietnam 99 hari, dan Turki 89 hari.
Jurang Gaji Global
Indeks ini memang memakai harga ritel resmi AS, yakni USD 1.099. Namun angka itu hanya permukaan.
Perhitungan menggunakan pendapatan kotor, bukan bersih. Lihat Jerman gaji kotor rata-rata €4.700, tetapi gaji bersih hanya €2.950.
Artinya, iPhone 17 Pro di sana setara dua minggu gaji nyata. Data ini, kata Tenscope, sebaiknya dipandang sebagai panduan kasar tetapi bahkan panduan kasar sudah bikin kening berkerut.
Kesenjangan ini menampar kesadaran kita. Apple menjual mimpi premium, tapi di banyak negara, mimpi itu mahalnya menindas.
Pertanyaannya, siapa sih yang sebenarnya mampu membeli, dan siapa juga yang cuma bisa menatap etalase?
Demi Gengsi Digital
Apple selalu lihai memasarkan “inovasi” sebagai kebutuhan. Kamera lebih tajam, chip lebih cepat, layar lebih jernih.
Namun yang tak mereka promosikan fakta bahwa di sebagian besar Asia dan Afrika, iPhone adalah simbol ketidaksetaraan.
Masyarakat rela menabung berbulan-bulan, bahkan bertahun, demi ponsel yang mungkin tak jauh beda dari pendahulunya.
Kekurangan iPhone 17 Pro pun tak sebanding dengan label harganya. Desain nyaris stagnan, inovasi hanya kosmetik, dan ketergantungan pada ekosistem iOS memaksa pengguna membeli aksesori mahal.
Apple memoles citra eksklusif, padahal banyak fitur serupa tersedia di Android premium dengan harga separuh.
Gengsi Kuras Dompet
Di balik kilau titanium dan chip A19, iPhone 17 Pro menyimpan ironi kamera canggih tapi boros baterai, layar memukau tapi tetap rentan retak.
Pembaruan iOS rutin, tetapi ponsel lawas Apple sering dipaksa “lambat” lewat update yang membebani memori.
Semua ini adalah strategi bisnis memancing pengguna agar selalu merasa tertinggal. Apakah gengsi sepadan dengan upah 160 hari kerja? Di India, jawabannya pahit.
Di banyak negara berkembang, iPhone 17 Pro bukan lagi teknologi, tapi status sosial yang memisahkan kelas.
Apple mungkin tak peduli, karena antrean panjang tiap rilis tetap jadi pemandangan rutin.
Realita dan Pertanyaan Moral
Indeks Keterjangkauan iPhone bukan sekadar angka. Ia adalah cermin dunia ekonomi yang timpang, gaji yang tak setara, dan korporasi raksasa yang terus menebar mimpi.
Dari Zurich ke New Delhi, dari Berlin ke Manila, satu pertanyaan menggema: sampai kapan ponsel pintar jadi tolok ukur martabat?
Apple tentu akan menjawab dengan grafis penjualan, bukan refleksi sosial.
Namun bagi pekerja yang menabung berbulan-bulan, iPhone 17 Pro adalah paradoks: teknologi masa depan yang mempertebal jurang masa kini.